Home
» Sosial Politik
» Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2024 Melonjak 14,7 Persen, Kekerasan Berbasis Gender Online Tertinggi di Ruang Publik
Sunday, December 7, 2025
Dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2025, Komnas Perempuan menyelenggarakan konsolidasi masyarakat sipil dan pemerintah daerah untuk memperkuat kolaborasi dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender di Jawa Barat. Kegiatan bertajuk “Kita Punya Andil, Kembalikan Ruang Aman” berlangsung di Hotel Golden Flower, Jl. Asia Afrika No. 15–17 Kota Bandung, Jumat (5/12/2025).
Peringatan 16 HAKTP di Jabar telah dimulai sejak 3 Desember dan akan ditutup melalui kegiatan publik pada Car Free Day Kota Bandung. Agenda ini diharapkan memperluas edukasi publik sekaligus memberikan dukungan moral bagi para penyintas dan keluarga mereka.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat lonjakan signifikan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2024 meningkat 14,7 persen dibanding tahun sebelumnya dengan total 33.097 kasus, dan kekerasan berbasis gender online menjadi bentuk kekerasan tertinggi di ruang publik.
Anggota Komnas Perempuan Daden Sukendar yang hadir saat itu mengungkapkan bahwa kekerasan berbasis gender online yang kini dalam regulasi disebut sebagai Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) masih mendominasi laporan masyarakat.
Di ranah publik, kata Deden, laporan paling banyak adalah Kekerasan Berbasis Gender Online atau KSBE. Di ranah privat, kekerasan seksual pun sama, masih menunjukkan angka yang tinggi.
![]() |
| Anggota Komnas Perempuan, Daden Sukendar (Foto Asep GP) |
Deden berpendapat dengan adanya lonjakan kasus ini menunjukkan penanganan kekerasan terhadap perempuan belum berjalan optimal, meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Menurut Daden, lahirnya UU TPKS menjadi tonggak penting perlindungan korban karena mengatur secara komprehensif, tidak hanya soal korban, tetapi juga hak pelaku, termasuk rehabilitasi. Namun, implementasinya di lapangan masih belum maksimal.
“Masih banyak aparat penegak hukum dan masyarakat yang belum sepenuhnya memahami pentingnya penerapan UU TPKS. Di beberapa daerah, penanganan kasus masih merujuk pada KUHP lama,” ujarnya.
Komnas Perempuan pun terus mendorong agar UU TPKS dapat diterapkan secara penuh dan merata di seluruh wilayah Indonesia agar korban memperoleh perlindungan hukum yang jelas dan berpihak.
Deden juga mengatakan, “Kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dibebankan kepada satu pihak saja. Harus ada kerja bersama melalui kolaborasi pentahelix antara akademisi, dunia usaha, masyarakat sipil, pemerintah, media, dan aparat penegak hukum,” tegasnya.
Komnas Perempuan juga menegaskan komitmennya untuk terus mendampingi para korban, penyintas, serta keluarga agar tidak merasa sendirian dalam memperjuangkan keadilan.
Data lengkap kekerasan terhadap perempuan ini dapat diakses publik melalui Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan sebagai bahan evaluasi nasional terhadap implementasi kebijakan perlindungan korban.
Menurut Daden, lahirnya UU TPKS menjadi tonggak penting perlindungan korban karena mengatur secara komprehensif, tidak hanya soal korban, tetapi juga hak pelaku, termasuk rehabilitasi. Namun, implementasinya di lapangan masih belum maksimal.
“Masih banyak aparat penegak hukum dan masyarakat yang belum sepenuhnya memahami pentingnya penerapan UU TPKS. Di beberapa daerah, penanganan kasus masih merujuk pada KUHP lama,” ujarnya.
Komnas Perempuan pun terus mendorong agar UU TPKS dapat diterapkan secara penuh dan merata di seluruh wilayah Indonesia agar korban memperoleh perlindungan hukum yang jelas dan berpihak.
Deden juga mengatakan, “Kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dibebankan kepada satu pihak saja. Harus ada kerja bersama melalui kolaborasi pentahelix antara akademisi, dunia usaha, masyarakat sipil, pemerintah, media, dan aparat penegak hukum,” tegasnya.
Komnas Perempuan juga menegaskan komitmennya untuk terus mendampingi para korban, penyintas, serta keluarga agar tidak merasa sendirian dalam memperjuangkan keadilan.
Data lengkap kekerasan terhadap perempuan ini dapat diakses publik melalui Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan sebagai bahan evaluasi nasional terhadap implementasi kebijakan perlindungan korban.
![]() |
| Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AKB Pemprov Jabar, Anjar Yusdinar (Foto Asep GP) |
Sementara itu, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AKB Pemprov Jabar, Anjar Yusdinar, S.STP., M.Si., menyampaikan bahwa Jabar menghadapi kompleksitas persoalan sosial yang berkaitan erat dengan beban populasi terbesar di Indonesia. Tantangan seperti stunting, tingginya angka perceraian, hingga perkawinan anak masih memerlukan kerja kolaboratif lintas sektor.
“Tantangannya tidak bisa diselesaikan pemerintah sendiri. Kita harus bergerak bersama dengan pendekatan pentahelix: akademisi, pemerintah, dunia usaha, komunitas, dan media,” katanya.
Anjar juga menegaskan, media memiliki peran strategis dalam edukasi publik dan pencegahan kekerasan melalui pemberitaan yang sensitif gender.
DP3AKB Jabar turut meneguhkan komitmen memastikan pemenuhan hak-hak korban, mulai dari pemulihan fisik dan pendampingan psikologis hingga pendampingan hukum. Ia mengingatkan bahwa penanganan kasus tetap berlandaskan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
“Tidak boleh ada penyelesaian kasus kekerasan seksual di luar proses pengadilan. Aturannya sudah jelas,” tegasnya.
Anjar juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas aparat penegak hukum di tingkat kabupaten/kota agar perspektif perlindungan korban dapat semakin seragam. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
December 07, 2025
CB Blogger
Indonesia“Tantangannya tidak bisa diselesaikan pemerintah sendiri. Kita harus bergerak bersama dengan pendekatan pentahelix: akademisi, pemerintah, dunia usaha, komunitas, dan media,” katanya.
Anjar juga menegaskan, media memiliki peran strategis dalam edukasi publik dan pencegahan kekerasan melalui pemberitaan yang sensitif gender.
DP3AKB Jabar turut meneguhkan komitmen memastikan pemenuhan hak-hak korban, mulai dari pemulihan fisik dan pendampingan psikologis hingga pendampingan hukum. Ia mengingatkan bahwa penanganan kasus tetap berlandaskan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
“Tidak boleh ada penyelesaian kasus kekerasan seksual di luar proses pengadilan. Aturannya sudah jelas,” tegasnya.
Anjar juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas aparat penegak hukum di tingkat kabupaten/kota agar perspektif perlindungan korban dapat semakin seragam. (Asep GP)***
Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2024 Melonjak 14,7 Persen, Kekerasan Berbasis Gender Online Tertinggi di Ruang Publik
Posted by
Tatarjabar.com on Sunday, December 7, 2025
Dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2025, Komnas Perempuan menyelenggarakan konsolidasi masyarakat sipil dan pemerintah daerah untuk memperkuat kolaborasi dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender di Jawa Barat. Kegiatan bertajuk “Kita Punya Andil, Kembalikan Ruang Aman” berlangsung di Hotel Golden Flower, Jl. Asia Afrika No. 15–17 Kota Bandung, Jumat (5/12/2025).
Peringatan 16 HAKTP di Jabar telah dimulai sejak 3 Desember dan akan ditutup melalui kegiatan publik pada Car Free Day Kota Bandung. Agenda ini diharapkan memperluas edukasi publik sekaligus memberikan dukungan moral bagi para penyintas dan keluarga mereka.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat lonjakan signifikan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2024 meningkat 14,7 persen dibanding tahun sebelumnya dengan total 33.097 kasus, dan kekerasan berbasis gender online menjadi bentuk kekerasan tertinggi di ruang publik.
Anggota Komnas Perempuan Daden Sukendar yang hadir saat itu mengungkapkan bahwa kekerasan berbasis gender online yang kini dalam regulasi disebut sebagai Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) masih mendominasi laporan masyarakat.
Di ranah publik, kata Deden, laporan paling banyak adalah Kekerasan Berbasis Gender Online atau KSBE. Di ranah privat, kekerasan seksual pun sama, masih menunjukkan angka yang tinggi.
![]() |
| Anggota Komnas Perempuan, Daden Sukendar (Foto Asep GP) |
Deden berpendapat dengan adanya lonjakan kasus ini menunjukkan penanganan kekerasan terhadap perempuan belum berjalan optimal, meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Menurut Daden, lahirnya UU TPKS menjadi tonggak penting perlindungan korban karena mengatur secara komprehensif, tidak hanya soal korban, tetapi juga hak pelaku, termasuk rehabilitasi. Namun, implementasinya di lapangan masih belum maksimal.
“Masih banyak aparat penegak hukum dan masyarakat yang belum sepenuhnya memahami pentingnya penerapan UU TPKS. Di beberapa daerah, penanganan kasus masih merujuk pada KUHP lama,” ujarnya.
Komnas Perempuan pun terus mendorong agar UU TPKS dapat diterapkan secara penuh dan merata di seluruh wilayah Indonesia agar korban memperoleh perlindungan hukum yang jelas dan berpihak.
Deden juga mengatakan, “Kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dibebankan kepada satu pihak saja. Harus ada kerja bersama melalui kolaborasi pentahelix antara akademisi, dunia usaha, masyarakat sipil, pemerintah, media, dan aparat penegak hukum,” tegasnya.
Komnas Perempuan juga menegaskan komitmennya untuk terus mendampingi para korban, penyintas, serta keluarga agar tidak merasa sendirian dalam memperjuangkan keadilan.
Data lengkap kekerasan terhadap perempuan ini dapat diakses publik melalui Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan sebagai bahan evaluasi nasional terhadap implementasi kebijakan perlindungan korban.
Menurut Daden, lahirnya UU TPKS menjadi tonggak penting perlindungan korban karena mengatur secara komprehensif, tidak hanya soal korban, tetapi juga hak pelaku, termasuk rehabilitasi. Namun, implementasinya di lapangan masih belum maksimal.
“Masih banyak aparat penegak hukum dan masyarakat yang belum sepenuhnya memahami pentingnya penerapan UU TPKS. Di beberapa daerah, penanganan kasus masih merujuk pada KUHP lama,” ujarnya.
Komnas Perempuan pun terus mendorong agar UU TPKS dapat diterapkan secara penuh dan merata di seluruh wilayah Indonesia agar korban memperoleh perlindungan hukum yang jelas dan berpihak.
Deden juga mengatakan, “Kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dibebankan kepada satu pihak saja. Harus ada kerja bersama melalui kolaborasi pentahelix antara akademisi, dunia usaha, masyarakat sipil, pemerintah, media, dan aparat penegak hukum,” tegasnya.
Komnas Perempuan juga menegaskan komitmennya untuk terus mendampingi para korban, penyintas, serta keluarga agar tidak merasa sendirian dalam memperjuangkan keadilan.
Data lengkap kekerasan terhadap perempuan ini dapat diakses publik melalui Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan sebagai bahan evaluasi nasional terhadap implementasi kebijakan perlindungan korban.
![]() |
| Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AKB Pemprov Jabar, Anjar Yusdinar (Foto Asep GP) |
Sementara itu, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AKB Pemprov Jabar, Anjar Yusdinar, S.STP., M.Si., menyampaikan bahwa Jabar menghadapi kompleksitas persoalan sosial yang berkaitan erat dengan beban populasi terbesar di Indonesia. Tantangan seperti stunting, tingginya angka perceraian, hingga perkawinan anak masih memerlukan kerja kolaboratif lintas sektor.
“Tantangannya tidak bisa diselesaikan pemerintah sendiri. Kita harus bergerak bersama dengan pendekatan pentahelix: akademisi, pemerintah, dunia usaha, komunitas, dan media,” katanya.
Anjar juga menegaskan, media memiliki peran strategis dalam edukasi publik dan pencegahan kekerasan melalui pemberitaan yang sensitif gender.
DP3AKB Jabar turut meneguhkan komitmen memastikan pemenuhan hak-hak korban, mulai dari pemulihan fisik dan pendampingan psikologis hingga pendampingan hukum. Ia mengingatkan bahwa penanganan kasus tetap berlandaskan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
“Tidak boleh ada penyelesaian kasus kekerasan seksual di luar proses pengadilan. Aturannya sudah jelas,” tegasnya.
Anjar juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas aparat penegak hukum di tingkat kabupaten/kota agar perspektif perlindungan korban dapat semakin seragam. (Asep GP)***
“Tantangannya tidak bisa diselesaikan pemerintah sendiri. Kita harus bergerak bersama dengan pendekatan pentahelix: akademisi, pemerintah, dunia usaha, komunitas, dan media,” katanya.
Anjar juga menegaskan, media memiliki peran strategis dalam edukasi publik dan pencegahan kekerasan melalui pemberitaan yang sensitif gender.
DP3AKB Jabar turut meneguhkan komitmen memastikan pemenuhan hak-hak korban, mulai dari pemulihan fisik dan pendampingan psikologis hingga pendampingan hukum. Ia mengingatkan bahwa penanganan kasus tetap berlandaskan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
“Tidak boleh ada penyelesaian kasus kekerasan seksual di luar proses pengadilan. Aturannya sudah jelas,” tegasnya.
Anjar juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas aparat penegak hukum di tingkat kabupaten/kota agar perspektif perlindungan korban dapat semakin seragam. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)

.jpg)
.jpg)






No comments :
Post a Comment