Monday, January 20, 2020
Bedog Si Cepot produk Galonggong dengan simeut meuting model ikan dan perah tanduk kepala harimau |
Sa(r)wa{wir(a) ning teuteupaan ma telu ganggaman palain: Ganggaman di sang prabu ma: pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris Raksasa pina (h)ka dewanya, ja paranti maehan sagala. Ganggaman sang wong tani ma kujang, baliung, patik, kored, sadap.Detya pina (h) ka dewanya, ja paranti nhgala kikicapeun iinumeun. Ganggaman sang pandita ma: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina (h) ka dewanya, ja paranti kumeureut sagala. Nya mana teluna ganggaman palain deui di sang prebu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sarean (ana), eta ma panday tanya. …(Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris). Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang Tani ialah: kujang (kujang panyacar bentuknya seperti sabit atau congkrang), baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu. Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prabu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi.
Golok atau Bedog bagi urang Sunda, seperti pada suku lainnya merupakan perkakas/alat yang penting untuk kehidupan sehari-hari. Golok sebagai alat yang dibuat dari besi dibuat untuk menghadapi kesulitan atau bahaya baik yang disebabkan oleh faktor musuh dari etnis lain atau faktor alam seperti mempertahankan diri dari serangan binatang buas, membuka ladang, memotong kayu, juga untuk membuat peralatan lainnya. Saking pentingnya Golok di Sunda merupakan Ganggaman Sang Prabu (senjata raja) seperti yang tertulis dalam Koropak 630 (Sanghiyang Siksa Kandang Karesian) di atas, yang naskahnya ditulis taun 1518 M (1440 Saka), pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja/ Prabu Siliwangi penguasa Pakuan Pajajaran (1482-1521 M), “Ganggaman di sang prabu ma: pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris”.
Untuk bermacam-macam keperluan itulah, orang Sunda paling banyak menghasilkan Golok dengan berbagai jenis dan kegunaannya berbeda dengan etnis lainnya yang hanya beberapa jenis.
Penulis sempat terperangah mendengar penjelasan dari Kang Eep, pemilik kios penjualan golok dan pandai besi “Pusaka Rama” di Panyocokan Ciwidey Kabupaten Bandung. Beliau mengatakan pada penulis ketika berkunjung ke kiosnya taun 90-an, “Golok Sunda mah paling banyak ragamnya, ada yang disebut Golok Paut Nyere (perhatikan golok untuk menyadap pohon enau/peso sadap), Jepangan (mirip bentuk Katana, Pedang Samurai Jepang), Sonten Bening, Hamalan, Bedog Petok/ Gula Sabeulah atau yang terkenal dengan sebutan Bedog Si Cepot (tokoh punakawan putra Lurah Semar Badranaya yang wajahnya merah dan terkenal bodoran dan falsafahnya yang nakal tapi masuk akal), selain itu ada Ujung Turun/Candung (lihat Golok orang Baduy Dalam atau Golok Patimura ujungnya turun bukan naik seperti lainnya), Salam Nunggal, Jambe Sabeulah, Simeut Pelem (mirip badan belalang) dan lain-lain”. Sedangkan seni bilahannya ada yang “diruncang” (perhatikan Golok Cibatu, bilahan tengahnya disodet menjorok ke dalam) dan “dijegong” sebaliknya dari diruncang, seperti bilahan pisau Rambo.
Golok Cibatu model Paut Nyere dengan bilahan yang Diruncang |
Ini baru pengetahuan seorang pandai (pembuat golok), belum pandai lainnya yang tersebar di wilayah Jawa Barat. Selain itu Sarangka/sarung golok dan perah/pegangan golok beserta ukirannya yang termasuk ke wilayah Maranggi pun banyak jenisnya. Ada yang disebut Jengkol Sahulu, Mear, Mantri Calik (biasanya dipakai dalam dunia persilatan, bedog Jawara, ujung perah/pegangannya bisa dikaitkan ke jari kelingking/telunjuk supaya bisa dipermainkan/diputar-putar), yang lainnya Lutung Moyan dan Bogo Nolol.
Di daerah Banten perah/pegangan golok ini selain Jengkol Sahulu juga ada bentuk Balingbing/belimbing, Jebug (pinang) Sapasi (seperti belahan pinang), jenis mamanukan (burung) dan bentuk wawayangan. Sedangkan hiasan atau tambahan pada sarung golok atau sarangka ada nama-namanya tersendiri seperti sompal, simeut meuting (untuk memasukan tali), peper. Bahannya ada yang dari akar pohon jawar, asem, kanyere, kayu duren, kayu reunghas untuk sarangka, ada juga yang dari tanduk kerbau, tanduk sapi dan sebagainya, tergantung pesanan.
Di Tatar Sunda (Jabar-Banten) juga banyak daerah yang menghasilkan golok terkenal dan ampuh, seperti Golok Cibatu (Sukabumi), Golok Galonggong (Tasikmalaya) serta Golok Ciomas Pandeglang-Banten dengan Golok Ciomasnya yang mistis dan legendaris. Golok ini konon bisa diberdirikan dan memberikan rasa aman dan wibawa kepada pemegangnya, serta bisa meredakan hawa nafsu sehingga kalau pemegangnya bertemu musuh atau begal tidak usah mencabut golok, lawan dan begal pun akan pergi dengan damai.
Keistimewaan Golok Ciomas yang pertamakali dibuat oleh Ki Cangkuk ini karena dibuat secara khusus melalui ritual pada bulan Maulud dan ditempa khusus oleh palu godam Si Denok, pusaka peninggalan Kesultanan Banten. Bahan yang digunakan pun dari besi khusus yang ada di Desa Pondok Kahuru dan Bojong Honje peninggalan jaman Kesultanan Banten yang terkubur di daerah Ciomas serta air yang digunakan untuk merendamnya pun harus berasal dari Ciomas. Sementara itu pandai besi yang mengerjakan golok berwafak huruf-huruf Arab, gambar Sultan Hasanuddin dan Harimau itu harus dalam keadaan bersuci, berwudhu.
Golok Baduy Luar, perhatikan urat/wafaknya di tengah bilahannya |
Untuk pemegang golok atau yang ingin memiliki golok Ciomas ini pun tidak mudah. Selain harganya lumayan mahal, jutaan dan harus dipesan khusus pada bulan Maulud. Selain itu harus berakidah tidak boleh riya, ujub, takabur, murtad, musyrik dan sum'ah serta tiap bulan Maulud (12 Rabiul Awal, Maulud Nabi) harus dimandikan.
Satu lagi Golok terkenal dari daerah Banten yaitu Golok Daenci dari Kanekes Baduy. Daenci/Jaro Daenci (almarhum) adalah nama seorang pandai besi yang terkenal dari Batu Beulah pada zamannya hingga sekarang golok berpamor (orang sana menyebutnya Sulangkar) yang terkenal ketajamannya dan mistis ini pembuatannya diteruskan oleh anak-cucu Jaro Daenci. Hanya harus hati-hati karena banyak tiruannya, yang dibuat oleh orang-orang dari luar daerah Baduy, tapi kalau jeli akan kelihatan pamor/sulangkar, urat-urat Golok daenci yang asli menyatu dengan bilahannya karena hasil tempaan bukan digerinda. Selain Batu Beulah, pandai besi lainnya di Baduy Luar adalah Cisadane. Letak Gosali (tempat bekerja pandai) tersebut tidak jauh dari Batu Beulah tapi pengunjung bisa juga membeli Golok Daenci yang asli dari Cibeo (salah satu kampung Baduy Dalam) atau malah di Bandung dari orang-orang Baduy Saba Kota (yang biasa nyaba/bepergian ke kota sambil jualan hasil kerajinan Baduy dan Madu) seperti Pak Dalis (Olot Darma), Sarpin, Jasid Putra dan yang lainnya, dengan harga yang sedikit mahal tentunya.
Selain itu di daerah Limbangan Garut pun ada Bedog ampuh dan mistis peninggalan Pajajaran yaitu Ki Dongkol dan Ki Rompang yang pada tahun 65-an sempat direbut tokoh DI (Darul Islam) Karto Suwiryo dari tangan salah satu ajengan di sana. Sayang golok tersebut kini tak tahu dimana rimbanya. Juga Betawi dengan Golok Bang Jampang dan Golok Si Pitungnya yang sakti (sebagaimana diketahui si Pitung berguru ke daerah Menes – Banten).
Sejarah
Logam tembaga, perunggu, dan besi telah dikenal di kawasan Asia Tenggara diperkirakan sejak 1000-500 SM. Selain itu migrasi bangsa Yunan (Indocina) ke kepulauan Nusantara sekitar tahun 1500 SM pun mewarnai kebudayaan Nusantara dengan membawa kebudayaan tembaga, perunggu, dan besi mereka, yang dikenal dengan kebudayaan Dongson.
Pada Zaman Besi di Indonesia banyak dihasilkan benda-benda untuk peralatan hidup dan senjata berupa tombak, mata panah, cangkul, sabit, dan mata bajak. Tetapi karena sifat besi yang mudah berkarat walau cukup banyak, peninggalan benda-benda tersebut tidak banyak ditemukan. Baru pada masa undagi/perundagian
Di Sunda sendiri dari artefak-artefak masa perundagian yang ditemukan teknologi logamnya telah maju. Apalagi pada masa kerajaan-kerajaan dulu, Sunda adalah sentral budaya pada masa Tarumanagara (358 M), sekian abad berikutnya barulah berpindah ke Jawa Tengah dan Timur dengan demikian keberadaan seni tempa logam pun sangat maju terutama pada masa Kerajaan Sunda (669 M). Hingga akhirnya tidak lagi Berjaya karena desakan dua kerajaan besar Sriwijaya dari Barat dan Singasari dari Timur terutama dengan adanya Ekspedisi Pamalayu (1289 M) oleh Kertanegara ke Sunda hingga Sumatera, berdampak pula pada para Empu Tanah Sunda yang terpaksa hijrah keluar wilayah Pasundan menuju Jawa Tengah, Jawa Timur dan ada yang menyeberang ke Sumatera bahkan ke suluruh nusantara (Untoro, 1979: 80).
Golok Ciomas yang Mistis |
Golok Ciwidey Model Simeut Pelem |
Golok Daenci Baduy Dalam model Ujung Turun |
Golok Galonggong model Jepangan |
Golok / Peso Rajang yang artistik, untuk nyiksik/mengerat daun Tembakau |
Sebut saja Empu Mercukunda, beliau adalah Empu Sunda yang terkenal dan sudah sangat tua yang pindah dan mengembangkan seni tempa di Sumatera dan mengabdi di istana Pagaruyung (Untoro, 1979: 80). Sedangkan Empu Manca putra beliau pindah ke Tuban – Jawa Timur dan karena keahliannya yang hebat diberi anugerah Gosali oleh penguasa setempat di muara sungai Bengawan Solo, dulu merupakan wilayah “Watan Mas” bekas Kerajaan Medang Kamulan. Disinilah bertahun-tahun beliau mengembangkan seni tempanya hingga banyak melahirkan murid dan anak-anaknya yang terkenal sebagai pembuat senjata yang hebat, hingga menyebar ke Madura dan Bali.
Ada catatan yang menarik dan bisa dijadikan bukti sejarah betapa kebudayaan tempa termasuk pembuatan keris, golok dan sebagainya dikembangkan oleh empu-empu Sunda ke seluruh nusantara. Syahdan ketika Pajajaran Runtuh (1579 M) ada 800 keluarga pandai besi pindah ke Majapahit. Setelah Majapahit Sirna mereka pindah ke berbagai pulau di Nusantara.
Menurut Serat Kanda, ada nama-nama Empu di Majapahit, seperti: Empu Sombro dan Empu Kenang putra Empu Kuwung. Pada penuturan lain Empu Sombru maupun Empu Kuwung muncul sebagai Ki Ajali guru pandai besi Ciung Wanara (Sang Manarah salah seorang raja dari dinasti Kerajaan Galuh yang menjadi tokoh cerita pantun Ciung wanara yang terkenal), dengan berguru kepada beliau Ciung Wanara bisa membuat senjata sakti dengan tangan dan ludahnya tanpa peralatan (lihat Babad Pakuan Gesang dan Babad Tanah Jawi).
Ini bukan isapan jempol sebab menurut ahli tosan aji dan kolektor keris di Jawa ciri khas senjata/keris Pajajaran/Sunda ada bekas jari-jari tangan di bilahannya. Dan coba perhatikan di bagian belakang bilahan Golok Ciomas yang asli dekat pegangannya selain cap inisial nama pembuatnya juga ada cap jempol tangan dan penulis mendengar tahun 80-an di Ciwidey masih ada pandai besi yang menghaluskan golok dengan cara dihempit /diselipkan di ketiaknya setelah di bakar di perapian. Ada lagi cerita Olot Yaman/Salim (almarhum) orang Baduy Saba Kota, cucu Ayah Arceu (sesepuh, perwakilan orang Kanekes karena fasih berbahasa Indonesia) ini pada suatu hari ketika berdagang ke daerah Banten diuji kesaktiannya oleh orang sana, dengan berpura-pura akan membeli Golok, tapi aneh bin ajaib ketika dipegang dan diusap oleh orang tersebut dengan disaksikan oleh teman-temannya yang sedang duduk santai di gardu ronda, golok tersebut jadi terkulai lemas seperti plastik. Menurut sobat penulis yang sekarang jadi Tetua di Kasepuhan Banten Kidul, itulah ilmu Panglubaran. “Waduh Pa..kaget kami tah..bet golok jadi leuleus kieu..mangkaning golok titipan nu batur jualeun. (Waduh Pa saya sampai kaget melihat golok lemas seperti plastik begitu, ditambah golok ini titipan orang untuk saya jual)” kenangnya. Tapi untung katanya dia diwarisi bapaknya ilmu “Panghudangan” (untuk membangunkan golok). Setelah diusap, golok tersebut kembali keras seperti sediakala. Cag. (Asep GP)***
Golok Sunda yang Mistis dan Legendaris
Posted by
Tatarjabar.com on Monday, January 20, 2020
Bedog Si Cepot produk Galonggong dengan simeut meuting model ikan dan perah tanduk kepala harimau |
Sa(r)wa{wir(a) ning teuteupaan ma telu ganggaman palain: Ganggaman di sang prabu ma: pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris Raksasa pina (h)ka dewanya, ja paranti maehan sagala. Ganggaman sang wong tani ma kujang, baliung, patik, kored, sadap.Detya pina (h) ka dewanya, ja paranti nhgala kikicapeun iinumeun. Ganggaman sang pandita ma: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina (h) ka dewanya, ja paranti kumeureut sagala. Nya mana teluna ganggaman palain deui di sang prebu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sarean (ana), eta ma panday tanya. …(Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris). Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang Tani ialah: kujang (kujang panyacar bentuknya seperti sabit atau congkrang), baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu. Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prabu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi.
Golok atau Bedog bagi urang Sunda, seperti pada suku lainnya merupakan perkakas/alat yang penting untuk kehidupan sehari-hari. Golok sebagai alat yang dibuat dari besi dibuat untuk menghadapi kesulitan atau bahaya baik yang disebabkan oleh faktor musuh dari etnis lain atau faktor alam seperti mempertahankan diri dari serangan binatang buas, membuka ladang, memotong kayu, juga untuk membuat peralatan lainnya. Saking pentingnya Golok di Sunda merupakan Ganggaman Sang Prabu (senjata raja) seperti yang tertulis dalam Koropak 630 (Sanghiyang Siksa Kandang Karesian) di atas, yang naskahnya ditulis taun 1518 M (1440 Saka), pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja/ Prabu Siliwangi penguasa Pakuan Pajajaran (1482-1521 M), “Ganggaman di sang prabu ma: pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris”.
Untuk bermacam-macam keperluan itulah, orang Sunda paling banyak menghasilkan Golok dengan berbagai jenis dan kegunaannya berbeda dengan etnis lainnya yang hanya beberapa jenis.
Penulis sempat terperangah mendengar penjelasan dari Kang Eep, pemilik kios penjualan golok dan pandai besi “Pusaka Rama” di Panyocokan Ciwidey Kabupaten Bandung. Beliau mengatakan pada penulis ketika berkunjung ke kiosnya taun 90-an, “Golok Sunda mah paling banyak ragamnya, ada yang disebut Golok Paut Nyere (perhatikan golok untuk menyadap pohon enau/peso sadap), Jepangan (mirip bentuk Katana, Pedang Samurai Jepang), Sonten Bening, Hamalan, Bedog Petok/ Gula Sabeulah atau yang terkenal dengan sebutan Bedog Si Cepot (tokoh punakawan putra Lurah Semar Badranaya yang wajahnya merah dan terkenal bodoran dan falsafahnya yang nakal tapi masuk akal), selain itu ada Ujung Turun/Candung (lihat Golok orang Baduy Dalam atau Golok Patimura ujungnya turun bukan naik seperti lainnya), Salam Nunggal, Jambe Sabeulah, Simeut Pelem (mirip badan belalang) dan lain-lain”. Sedangkan seni bilahannya ada yang “diruncang” (perhatikan Golok Cibatu, bilahan tengahnya disodet menjorok ke dalam) dan “dijegong” sebaliknya dari diruncang, seperti bilahan pisau Rambo.
Golok Cibatu model Paut Nyere dengan bilahan yang Diruncang |
Ini baru pengetahuan seorang pandai (pembuat golok), belum pandai lainnya yang tersebar di wilayah Jawa Barat. Selain itu Sarangka/sarung golok dan perah/pegangan golok beserta ukirannya yang termasuk ke wilayah Maranggi pun banyak jenisnya. Ada yang disebut Jengkol Sahulu, Mear, Mantri Calik (biasanya dipakai dalam dunia persilatan, bedog Jawara, ujung perah/pegangannya bisa dikaitkan ke jari kelingking/telunjuk supaya bisa dipermainkan/diputar-putar), yang lainnya Lutung Moyan dan Bogo Nolol.
Di daerah Banten perah/pegangan golok ini selain Jengkol Sahulu juga ada bentuk Balingbing/belimbing, Jebug (pinang) Sapasi (seperti belahan pinang), jenis mamanukan (burung) dan bentuk wawayangan. Sedangkan hiasan atau tambahan pada sarung golok atau sarangka ada nama-namanya tersendiri seperti sompal, simeut meuting (untuk memasukan tali), peper. Bahannya ada yang dari akar pohon jawar, asem, kanyere, kayu duren, kayu reunghas untuk sarangka, ada juga yang dari tanduk kerbau, tanduk sapi dan sebagainya, tergantung pesanan.
Di Tatar Sunda (Jabar-Banten) juga banyak daerah yang menghasilkan golok terkenal dan ampuh, seperti Golok Cibatu (Sukabumi), Golok Galonggong (Tasikmalaya) serta Golok Ciomas Pandeglang-Banten dengan Golok Ciomasnya yang mistis dan legendaris. Golok ini konon bisa diberdirikan dan memberikan rasa aman dan wibawa kepada pemegangnya, serta bisa meredakan hawa nafsu sehingga kalau pemegangnya bertemu musuh atau begal tidak usah mencabut golok, lawan dan begal pun akan pergi dengan damai.
Keistimewaan Golok Ciomas yang pertamakali dibuat oleh Ki Cangkuk ini karena dibuat secara khusus melalui ritual pada bulan Maulud dan ditempa khusus oleh palu godam Si Denok, pusaka peninggalan Kesultanan Banten. Bahan yang digunakan pun dari besi khusus yang ada di Desa Pondok Kahuru dan Bojong Honje peninggalan jaman Kesultanan Banten yang terkubur di daerah Ciomas serta air yang digunakan untuk merendamnya pun harus berasal dari Ciomas. Sementara itu pandai besi yang mengerjakan golok berwafak huruf-huruf Arab, gambar Sultan Hasanuddin dan Harimau itu harus dalam keadaan bersuci, berwudhu.
Golok Baduy Luar, perhatikan urat/wafaknya di tengah bilahannya |
Untuk pemegang golok atau yang ingin memiliki golok Ciomas ini pun tidak mudah. Selain harganya lumayan mahal, jutaan dan harus dipesan khusus pada bulan Maulud. Selain itu harus berakidah tidak boleh riya, ujub, takabur, murtad, musyrik dan sum'ah serta tiap bulan Maulud (12 Rabiul Awal, Maulud Nabi) harus dimandikan.
Satu lagi Golok terkenal dari daerah Banten yaitu Golok Daenci dari Kanekes Baduy. Daenci/Jaro Daenci (almarhum) adalah nama seorang pandai besi yang terkenal dari Batu Beulah pada zamannya hingga sekarang golok berpamor (orang sana menyebutnya Sulangkar) yang terkenal ketajamannya dan mistis ini pembuatannya diteruskan oleh anak-cucu Jaro Daenci. Hanya harus hati-hati karena banyak tiruannya, yang dibuat oleh orang-orang dari luar daerah Baduy, tapi kalau jeli akan kelihatan pamor/sulangkar, urat-urat Golok daenci yang asli menyatu dengan bilahannya karena hasil tempaan bukan digerinda. Selain Batu Beulah, pandai besi lainnya di Baduy Luar adalah Cisadane. Letak Gosali (tempat bekerja pandai) tersebut tidak jauh dari Batu Beulah tapi pengunjung bisa juga membeli Golok Daenci yang asli dari Cibeo (salah satu kampung Baduy Dalam) atau malah di Bandung dari orang-orang Baduy Saba Kota (yang biasa nyaba/bepergian ke kota sambil jualan hasil kerajinan Baduy dan Madu) seperti Pak Dalis (Olot Darma), Sarpin, Jasid Putra dan yang lainnya, dengan harga yang sedikit mahal tentunya.
Selain itu di daerah Limbangan Garut pun ada Bedog ampuh dan mistis peninggalan Pajajaran yaitu Ki Dongkol dan Ki Rompang yang pada tahun 65-an sempat direbut tokoh DI (Darul Islam) Karto Suwiryo dari tangan salah satu ajengan di sana. Sayang golok tersebut kini tak tahu dimana rimbanya. Juga Betawi dengan Golok Bang Jampang dan Golok Si Pitungnya yang sakti (sebagaimana diketahui si Pitung berguru ke daerah Menes – Banten).
Sejarah
Logam tembaga, perunggu, dan besi telah dikenal di kawasan Asia Tenggara diperkirakan sejak 1000-500 SM. Selain itu migrasi bangsa Yunan (Indocina) ke kepulauan Nusantara sekitar tahun 1500 SM pun mewarnai kebudayaan Nusantara dengan membawa kebudayaan tembaga, perunggu, dan besi mereka, yang dikenal dengan kebudayaan Dongson.
Pada Zaman Besi di Indonesia banyak dihasilkan benda-benda untuk peralatan hidup dan senjata berupa tombak, mata panah, cangkul, sabit, dan mata bajak. Tetapi karena sifat besi yang mudah berkarat walau cukup banyak, peninggalan benda-benda tersebut tidak banyak ditemukan. Baru pada masa undagi/perundagian
Di Sunda sendiri dari artefak-artefak masa perundagian yang ditemukan teknologi logamnya telah maju. Apalagi pada masa kerajaan-kerajaan dulu, Sunda adalah sentral budaya pada masa Tarumanagara (358 M), sekian abad berikutnya barulah berpindah ke Jawa Tengah dan Timur dengan demikian keberadaan seni tempa logam pun sangat maju terutama pada masa Kerajaan Sunda (669 M). Hingga akhirnya tidak lagi Berjaya karena desakan dua kerajaan besar Sriwijaya dari Barat dan Singasari dari Timur terutama dengan adanya Ekspedisi Pamalayu (1289 M) oleh Kertanegara ke Sunda hingga Sumatera, berdampak pula pada para Empu Tanah Sunda yang terpaksa hijrah keluar wilayah Pasundan menuju Jawa Tengah, Jawa Timur dan ada yang menyeberang ke Sumatera bahkan ke suluruh nusantara (Untoro, 1979: 80).
Golok Ciomas yang Mistis |
Golok Ciwidey Model Simeut Pelem |
Golok Daenci Baduy Dalam model Ujung Turun |
Golok Galonggong model Jepangan |
Golok / Peso Rajang yang artistik, untuk nyiksik/mengerat daun Tembakau |
Sebut saja Empu Mercukunda, beliau adalah Empu Sunda yang terkenal dan sudah sangat tua yang pindah dan mengembangkan seni tempa di Sumatera dan mengabdi di istana Pagaruyung (Untoro, 1979: 80). Sedangkan Empu Manca putra beliau pindah ke Tuban – Jawa Timur dan karena keahliannya yang hebat diberi anugerah Gosali oleh penguasa setempat di muara sungai Bengawan Solo, dulu merupakan wilayah “Watan Mas” bekas Kerajaan Medang Kamulan. Disinilah bertahun-tahun beliau mengembangkan seni tempanya hingga banyak melahirkan murid dan anak-anaknya yang terkenal sebagai pembuat senjata yang hebat, hingga menyebar ke Madura dan Bali.
Ada catatan yang menarik dan bisa dijadikan bukti sejarah betapa kebudayaan tempa termasuk pembuatan keris, golok dan sebagainya dikembangkan oleh empu-empu Sunda ke seluruh nusantara. Syahdan ketika Pajajaran Runtuh (1579 M) ada 800 keluarga pandai besi pindah ke Majapahit. Setelah Majapahit Sirna mereka pindah ke berbagai pulau di Nusantara.
Menurut Serat Kanda, ada nama-nama Empu di Majapahit, seperti: Empu Sombro dan Empu Kenang putra Empu Kuwung. Pada penuturan lain Empu Sombru maupun Empu Kuwung muncul sebagai Ki Ajali guru pandai besi Ciung Wanara (Sang Manarah salah seorang raja dari dinasti Kerajaan Galuh yang menjadi tokoh cerita pantun Ciung wanara yang terkenal), dengan berguru kepada beliau Ciung Wanara bisa membuat senjata sakti dengan tangan dan ludahnya tanpa peralatan (lihat Babad Pakuan Gesang dan Babad Tanah Jawi).
Ini bukan isapan jempol sebab menurut ahli tosan aji dan kolektor keris di Jawa ciri khas senjata/keris Pajajaran/Sunda ada bekas jari-jari tangan di bilahannya. Dan coba perhatikan di bagian belakang bilahan Golok Ciomas yang asli dekat pegangannya selain cap inisial nama pembuatnya juga ada cap jempol tangan dan penulis mendengar tahun 80-an di Ciwidey masih ada pandai besi yang menghaluskan golok dengan cara dihempit /diselipkan di ketiaknya setelah di bakar di perapian. Ada lagi cerita Olot Yaman/Salim (almarhum) orang Baduy Saba Kota, cucu Ayah Arceu (sesepuh, perwakilan orang Kanekes karena fasih berbahasa Indonesia) ini pada suatu hari ketika berdagang ke daerah Banten diuji kesaktiannya oleh orang sana, dengan berpura-pura akan membeli Golok, tapi aneh bin ajaib ketika dipegang dan diusap oleh orang tersebut dengan disaksikan oleh teman-temannya yang sedang duduk santai di gardu ronda, golok tersebut jadi terkulai lemas seperti plastik. Menurut sobat penulis yang sekarang jadi Tetua di Kasepuhan Banten Kidul, itulah ilmu Panglubaran. “Waduh Pa..kaget kami tah..bet golok jadi leuleus kieu..mangkaning golok titipan nu batur jualeun. (Waduh Pa saya sampai kaget melihat golok lemas seperti plastik begitu, ditambah golok ini titipan orang untuk saya jual)” kenangnya. Tapi untung katanya dia diwarisi bapaknya ilmu “Panghudangan” (untuk membangunkan golok). Setelah diusap, golok tersebut kembali keras seperti sediakala. Cag. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Sae
ReplyDelete