Home
» Seni Budaya
» NEO Theatre Indonesia Sukses Gelar Teater Kontemporer “Dekonstruksi Minimalis Teks Dramatik Kapai-Kapai” Karya Arifin C. Noer
Sunday, November 16, 2025
![]() |
| Teater Kontemporer Dekonstruksi Minimalis Teks Dramatik "Kapai-Kapai (Arifin C. Noor) dipentaskan NEO Theater Indonesia di IFI Bandung, 12-13/11/2025 (Foto: Asep GP) |
Hal itu terlihat dari membludaknya penonton yang memenuhi Auditorium IFI Bandung, Jalan Purnawarman No. 32 Kota Bandung, selama dua hari pagelaran (12–13 November 2025) mulai pukul 19.30 WIB.
Acara yang diinisiasi NEO Theatre Indonesia ini didukung Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) RI, Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dalam Program Penciptaan Karya Kreatif Inovatif Dana Indonesiana 2025, bekerja sama dengan Institut Français Indonesia (IFI) Bandung dan Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan ISBI Bandung.
Pertunjukan teater yang disutradarai Fathul A. Husein, berdurasi satu jam lebih lima menit ini, didukung para aktor: Retno Dwimarwati (Rektor ISBI Bandung), Yani Mae, Hendra Permana, Muhamad Nur Rozzaq, Fellycha Yuliwanda Aletika, Xena Nursyifa, dan Salma Najiyah. Penari oleh Aulia Rachma dan Ardelia Manarina Faihaa Azhaar, vokalis & dalang oleh Sumartana, penata artistik & pimpinan pentas oleh Ade II Syarifuddin, penata busana & perancang grafis oleh Dita Rosmaritasari, penata rias oleh Mardaleni Muchtar, penata musik & suara oleh Isep Sepiralisman, penata lampu oleh Zamzam Mubarok, penata pentas oleh Ali Nurdin, Oki Suhendra, dan Mang Iwey. Dokumentasi foto & video oleh Herfan Rusando, Ade Daryana, dan Nietzani Adama Mahatma.
![]() |
| Unsur Sintren dimasukan (Foto: Asep GP) |
Usai pertunjukan pada malam kedua (terakhir, Kamis, 13/11/2025), dilanjutkan dengan diskusi di tempat yang sama. Menghadirkan pembicara: Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto (Guru Besar Filsafat Seni FF UNPAR dan ahli metafor), Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang (Guru Besar Seni Rupa FSRD ITB dan ahli semiotika), dan Fathul A. Husein (sutradara pertunjukan), dan dipandu oleh Dr. Ipit Saefidier Dimyati.
Fathul A. Husein, sebagai penulis teks pertunjukan dan sutradara juga pimpinan NEO Theatre Indonesia, mengatakan pertunjukan bertajuk “Dekonstruksi Minimalis KAPAI-KAPAI” ini merupakan sebuah pertunjukan teater kontemporer menggunakan tafsir dekonstruksi dan transformasi teks; dari teks dramatik (dramatic text), ke teks pertunjukan (performance text), dan ke mise en scène.
![]() |
| Wayang Kulit Pantura ( Foto: Asep GP) |
Tentu saja, kata Fathul, pertunjukan ini berdasarkan lakon asli “Kapai-kapai” sebagai teks dramatik karya dramawan Indonesia, Arifin C. Noer (1941–1995).
Inti lakon “Kapai-kapai” (ditulis pada tahun 1970) mengisahkan perjuangan hidup tokoh utamanya, Abu, seorang tokoh yang terpinggirkan dan hidup dalam kemiskinan material dan moral. Kisah ini berpusat pada pencarian Abu untuk menemukan “Cermin Tipu Daya”, sebuah cermin ajaib yang selalu diceritakan ibunya, Emak, dalam dongeng. Dalam dongeng Emak, seorang pangeran dan putri hidup bahagia dan terhindar dari bahaya dan malapetaka berkat “Cermin Tipu Daya”. Abu sangat terpengaruh oleh kisah tersebut dan percaya bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan jika ia menemukan “Cermin Tipu Daya”, yang menurut Emak berada di “Ujung Dunia”.
![]() |
| Tokoh Emak yang diperankan Rektor ISBI Bandung, Retno Dwimawarti, sedang membelah semangka, simbol porak-porandanya kehidupan (Foto: Asep GP) |
Perjalanan dan penderitaan Abu dalam melakoni hidup yang penuh kesulitan dan kerja keras sebagai buruh, namun ia terus memendam mimpi-mimpi fantastis tentang “Cermin Tipu Daya”. Ia bahkan mengajak istrinya, Iyem, dalam perjalanan panjang dan sangat berat (sesungguhnya “perjalanan spiritual”) mencari “Ujung Dunia” (kematian). Pada akhirnya, setelah melewati berbagai lika-liku kehidupan dan penderitaan, Abu konon menemukan “Cermin Tipu Daya” justru manakala ajalnya tiba.
“Moral cerita yang hendak disampaikan melalui lakon ini: kisah surealis yang menggambarkan harapan, ilusi, dan perjuangan umat manusia dan kemanusiaan dalam mencari kebahagiaan sejati, jati diri, yang sering kali hanyalah fantasi yang tak mungkin tercapai dalam kenyataan,” jelas Fathul.
![]() |
| Berjuang melawan kemiskinan moral dan materil (Foto: Asep GP) |
Pertunjukan teater kontemporer ini, kata Fathul, menekankan pendekatan tafsir dekonstruksi dan transformasi teks berdasarkan lakon “Kapai-kapai” karya dramawan Indonesia, Arifin C. Noer (1941–1995). Lakon dengan beberapa bagian penting dan verbalitas tekstual (dialog dan arahan pengarang) di dalamnya, semata-mata dipinjam untuk menjadi lebih sebagai “peristiwa” pertunjukan daripada sekadar dominasi narasi verbal (kata-kata).
“Tema asli lakon tentang nasib kaum marginal yang miskin dan sengsara sebagai korban yang tak terelakkan (baca: harus diciptakan) dari kekuasaan era industrialisasi dan kemajuan, modernitas dalam cengkeraman gurita raksasa kapitalisme, melalui konsep pertunjukan ini ditransformasikan menjadi kekuatan dramatis, simbolisme gestur/gerak, surealisme imajinatif yang dijalin dengan musikalitas minimalis dan tembang-tembang tradisional (yang aslinya lebih berfungsi sebagai mantra) untuk menandai kelam dan getirnya kehidupan, tentang peniadaan jati diri manusia dan kemanusiaan, yang menjadi pesan inti lakon,” paparnya.
![]() |
| (Foto: Asep GP) |
Selain itu, kata Sutradara Fathul, intertekstualitas dengan kearifan filsafat Timur, seperti Lao Tzu, juga merasuk ke dalam jiwa pertunjukan kontemporer ini. Idiom bentuk seni teater tradisional yang “dipinjam” melalui pertunjukan ini setidaknya adalah teater tradisional Tarling (mengandung unsur drama, musik, dan lagu), Sintren (mengandung unsur tari, musik, dan mitos bidadari), dan Wayang Kulit (teater boneka bayang-bayang yang lumrahnya berlandaskan pada kearifan kisah Ramayana atau Mahabharata), di mana ketiga jenis teater tradisional tersebut terutama diambil dari sumber wilayah pesisir utara Jawa Barat.
Bertolak dari lakon “Kapai-kapai”: bagaimana sebuah lakon (dramatic text) dipahami, ditafsirkan, dan ditransformasikan ke atas panggung menjadi performance text dengan menerapkan sebuah pendekatan strategi & siasat pemanggungan yang terkonsep secara kokoh dan mumpuni (mise en scène).
![]() |
| Disambut baik pihak IFI Bandung (Foto: Asep GP) |
“Keseluruhan teks lakon asli hanya diambil sekitar sepertiganya saja dari keseluruhan teks lakon, sebelum kemudian mendapat persentuhan intertekstualitas dari beberapa entitas teks dan konteks dari luar yang merasuk ke dalam teks asli tersebut,” pungkas Fathul.
Proses eksplorasi dan latihan pertunjukan teater kontemporer telah diundang pula dalam rangka workshop pertunjukan (performance workshop) oleh LASALLE College of the Arts, Singapura, 13–14 Oktober (bertempat di Kampus LASALLE), dan oleh Fakulti Seni Kreatif Universiti Malaya (UM), Kuala Lumpur, pada 16–18 Oktober (bertempat di Kampus UM). Hasilnya telah menciptakan suatu kolaborasi kecil dan ditampilkan di sana dengan melibatkan beberapa mahasiswa yang terpilih dari proses singkat workshop.
Tapi intinya, kata Fathul, “Ini bukan terlalu teaternya, bukan terlalu ngobrol-ngobrolnya (diskusi), tapi yang penting silaturahimnya, nilai silaturahimnya, pertemuan langsung kita sesama manusia. Kita bahkan banyak dipertemukan lagi dengan teman lama di pagelaran ini. Semoga teater tetap punya kehidupan yang lebih baik ke depannya,” harapnya.
Pertunjukan yang Penuh Simbol dan Sarat Makna Kehidupan
Sementara itu, Rektor ISBI Bandung, Retno Dwomarwati, yang dalam pertunjukan tersebut memerankan tokoh Emak, mengatakan pada wartawan: ISBI ikut mengisi auditorium IFI sebagai ruang pertunjukannya demi meraih publik yang baru. Di samping itu, di IFI juga sudah lama tidak ada pertunjukan teater, sudah jarang. Selain itu, gedung pertunjukan di kampus ISBI Bandung yang satu-satunya itu penuh tiap hari, dipakai ujian (resital) Prodi Teater hingga 25 November 2025.
Menanggapi dimasukkannya teater tradisional Tarling (gitar–suling dari Cirebon), Sintren (perempuan perawan dimasukkan ke kurungan ayam, lalu berubah dandanannya menjadi bidadari), dan Wayang Kulit semuanya dari Pantura (pantai utara) Jawa Barat, “Sebetulnya kalau ISBI tetap saja, bagaimana membaca tradisi dengan cara-cara baru. Sedangkan Arifin C. Noer orang Pantura kental dan semua naskah-naskahnya juga membaca Pantura dengan sangat baik. Nah mungkin Pak Fathul juga karena orang Pantura, jadi dia bisa menangkap semua esensi ke-Panturaan-nya lewat elemen artistik yang ada pada pertunjukan ini,” jelas Retno.
![]() |
| Bincang-bincang usai pagelaran ( Foto: Asep GP) |
Retno juga menerangkan perannya sebagai Emak; bisa saja Emak itu sebagai simbol Ibu Pertiwi, atau pelindung, dsb. “Jadi sebetulnya di sini Tuhan itu menampakkan dengan waktu. Sang Kelam itu mungkin ada takdir, ada waktu; sementara Emak itu adalah orang yang memelihara kehidupan ini,” kata Retno.
Ditanya edukasinya untuk mahasiswa, menurut Retno mereka bisa mempelajari pertunjukan teater yang sarat simbol-simbol yang berguna untuk mengenal budaya tradisi dan warna-warni kehidupan ini.
“Sebetulnya pertunjukan ini penuh dengan simbol. Jadi nanti bisa dipelajari bagaimana Sintren yang sudah jarang dipertunjukkan di Bandung itu, kita jadi tahu bahwa Sintren itu adalah proses ritual yang membangunkan penari untuk trance (kesurupan, kemasukan ruh). Itu menghubungkan antara dunia bawah dengan dunia atas. Jadi itu yang akan disampaikan di sini; bagaimana kurung ayam itu juga berarti dunia, dan semangka (yang dibelah-belah sama Emak) pun bisa berarti kehidupan di dunia ini yang memang sudah porak-poranda. Jadi pembacaan-pembacaan seperti itu memang dihadirkan oleh Pak Fathur,” terangnya.
![]() |
| Para pemeran pagelaran (Foto: Asep GP) |
Jadi intinya, pelajaran/tema moral yang mau disampaikan dari pertunjukan teater ini adalah bahwa sebenarnya manusia harus dekat dengan Tuhan, karena Dialah yang bisa membolak-balikkan manusia. Jadi ketika tadi Si Kelam berbicara bahwa Tuhanlah yang mulai menciptakan kemudian Dia juga yang memporak-porandakan, berarti semua manusia itu hidup atas dasar kehendak Tuhan.
“Jadi bagaimana kesalehan Arifin C. Noer dapat dibaca di sini. Kemudian Pak Fathur mengangkat gaya-gaya Arifin C. Noer yang sangat memperdulikan rakyat kecil, itu juga lahir di sini. Bagaimana orang yang sudah tidak ada harapan kemudian tetap bangkit (tetap tenang karena ada Cermin Tipu Daya — dalam hal ini mungkin Kotak Pandora). Jadi selalu ada harapan walaupun kita terpuruk sangat parah dalam kondisi kehidupan ini. Toh harapan itu selalu ada, dan kita terus berjuang untuk mendapatkan harapan itu, semoga,” demikian pungkas Bu Rektor. (Asep GP)***
NEO Theatre Indonesia Sukses Gelar Teater Kontemporer “Dekonstruksi Minimalis Teks Dramatik Kapai-Kapai” Karya Arifin C. Noer
Posted by
Tatarjabar.com on Sunday, November 16, 2025
![]() |
| Teater Kontemporer Dekonstruksi Minimalis Teks Dramatik "Kapai-Kapai (Arifin C. Noor) dipentaskan NEO Theater Indonesia di IFI Bandung, 12-13/11/2025 (Foto: Asep GP) |
Hal itu terlihat dari membludaknya penonton yang memenuhi Auditorium IFI Bandung, Jalan Purnawarman No. 32 Kota Bandung, selama dua hari pagelaran (12–13 November 2025) mulai pukul 19.30 WIB.
Acara yang diinisiasi NEO Theatre Indonesia ini didukung Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) RI, Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dalam Program Penciptaan Karya Kreatif Inovatif Dana Indonesiana 2025, bekerja sama dengan Institut Français Indonesia (IFI) Bandung dan Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan ISBI Bandung.
Pertunjukan teater yang disutradarai Fathul A. Husein, berdurasi satu jam lebih lima menit ini, didukung para aktor: Retno Dwimarwati (Rektor ISBI Bandung), Yani Mae, Hendra Permana, Muhamad Nur Rozzaq, Fellycha Yuliwanda Aletika, Xena Nursyifa, dan Salma Najiyah. Penari oleh Aulia Rachma dan Ardelia Manarina Faihaa Azhaar, vokalis & dalang oleh Sumartana, penata artistik & pimpinan pentas oleh Ade II Syarifuddin, penata busana & perancang grafis oleh Dita Rosmaritasari, penata rias oleh Mardaleni Muchtar, penata musik & suara oleh Isep Sepiralisman, penata lampu oleh Zamzam Mubarok, penata pentas oleh Ali Nurdin, Oki Suhendra, dan Mang Iwey. Dokumentasi foto & video oleh Herfan Rusando, Ade Daryana, dan Nietzani Adama Mahatma.
![]() |
| Unsur Sintren dimasukan (Foto: Asep GP) |
Usai pertunjukan pada malam kedua (terakhir, Kamis, 13/11/2025), dilanjutkan dengan diskusi di tempat yang sama. Menghadirkan pembicara: Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto (Guru Besar Filsafat Seni FF UNPAR dan ahli metafor), Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang (Guru Besar Seni Rupa FSRD ITB dan ahli semiotika), dan Fathul A. Husein (sutradara pertunjukan), dan dipandu oleh Dr. Ipit Saefidier Dimyati.
Fathul A. Husein, sebagai penulis teks pertunjukan dan sutradara juga pimpinan NEO Theatre Indonesia, mengatakan pertunjukan bertajuk “Dekonstruksi Minimalis KAPAI-KAPAI” ini merupakan sebuah pertunjukan teater kontemporer menggunakan tafsir dekonstruksi dan transformasi teks; dari teks dramatik (dramatic text), ke teks pertunjukan (performance text), dan ke mise en scène.
![]() |
| Wayang Kulit Pantura ( Foto: Asep GP) |
Tentu saja, kata Fathul, pertunjukan ini berdasarkan lakon asli “Kapai-kapai” sebagai teks dramatik karya dramawan Indonesia, Arifin C. Noer (1941–1995).
Inti lakon “Kapai-kapai” (ditulis pada tahun 1970) mengisahkan perjuangan hidup tokoh utamanya, Abu, seorang tokoh yang terpinggirkan dan hidup dalam kemiskinan material dan moral. Kisah ini berpusat pada pencarian Abu untuk menemukan “Cermin Tipu Daya”, sebuah cermin ajaib yang selalu diceritakan ibunya, Emak, dalam dongeng. Dalam dongeng Emak, seorang pangeran dan putri hidup bahagia dan terhindar dari bahaya dan malapetaka berkat “Cermin Tipu Daya”. Abu sangat terpengaruh oleh kisah tersebut dan percaya bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan jika ia menemukan “Cermin Tipu Daya”, yang menurut Emak berada di “Ujung Dunia”.
![]() |
| Tokoh Emak yang diperankan Rektor ISBI Bandung, Retno Dwimawarti, sedang membelah semangka, simbol porak-porandanya kehidupan (Foto: Asep GP) |
Perjalanan dan penderitaan Abu dalam melakoni hidup yang penuh kesulitan dan kerja keras sebagai buruh, namun ia terus memendam mimpi-mimpi fantastis tentang “Cermin Tipu Daya”. Ia bahkan mengajak istrinya, Iyem, dalam perjalanan panjang dan sangat berat (sesungguhnya “perjalanan spiritual”) mencari “Ujung Dunia” (kematian). Pada akhirnya, setelah melewati berbagai lika-liku kehidupan dan penderitaan, Abu konon menemukan “Cermin Tipu Daya” justru manakala ajalnya tiba.
“Moral cerita yang hendak disampaikan melalui lakon ini: kisah surealis yang menggambarkan harapan, ilusi, dan perjuangan umat manusia dan kemanusiaan dalam mencari kebahagiaan sejati, jati diri, yang sering kali hanyalah fantasi yang tak mungkin tercapai dalam kenyataan,” jelas Fathul.
![]() |
| Berjuang melawan kemiskinan moral dan materil (Foto: Asep GP) |
Pertunjukan teater kontemporer ini, kata Fathul, menekankan pendekatan tafsir dekonstruksi dan transformasi teks berdasarkan lakon “Kapai-kapai” karya dramawan Indonesia, Arifin C. Noer (1941–1995). Lakon dengan beberapa bagian penting dan verbalitas tekstual (dialog dan arahan pengarang) di dalamnya, semata-mata dipinjam untuk menjadi lebih sebagai “peristiwa” pertunjukan daripada sekadar dominasi narasi verbal (kata-kata).
“Tema asli lakon tentang nasib kaum marginal yang miskin dan sengsara sebagai korban yang tak terelakkan (baca: harus diciptakan) dari kekuasaan era industrialisasi dan kemajuan, modernitas dalam cengkeraman gurita raksasa kapitalisme, melalui konsep pertunjukan ini ditransformasikan menjadi kekuatan dramatis, simbolisme gestur/gerak, surealisme imajinatif yang dijalin dengan musikalitas minimalis dan tembang-tembang tradisional (yang aslinya lebih berfungsi sebagai mantra) untuk menandai kelam dan getirnya kehidupan, tentang peniadaan jati diri manusia dan kemanusiaan, yang menjadi pesan inti lakon,” paparnya.
![]() |
| (Foto: Asep GP) |
Selain itu, kata Sutradara Fathul, intertekstualitas dengan kearifan filsafat Timur, seperti Lao Tzu, juga merasuk ke dalam jiwa pertunjukan kontemporer ini. Idiom bentuk seni teater tradisional yang “dipinjam” melalui pertunjukan ini setidaknya adalah teater tradisional Tarling (mengandung unsur drama, musik, dan lagu), Sintren (mengandung unsur tari, musik, dan mitos bidadari), dan Wayang Kulit (teater boneka bayang-bayang yang lumrahnya berlandaskan pada kearifan kisah Ramayana atau Mahabharata), di mana ketiga jenis teater tradisional tersebut terutama diambil dari sumber wilayah pesisir utara Jawa Barat.
Bertolak dari lakon “Kapai-kapai”: bagaimana sebuah lakon (dramatic text) dipahami, ditafsirkan, dan ditransformasikan ke atas panggung menjadi performance text dengan menerapkan sebuah pendekatan strategi & siasat pemanggungan yang terkonsep secara kokoh dan mumpuni (mise en scène).
![]() |
| Disambut baik pihak IFI Bandung (Foto: Asep GP) |
“Keseluruhan teks lakon asli hanya diambil sekitar sepertiganya saja dari keseluruhan teks lakon, sebelum kemudian mendapat persentuhan intertekstualitas dari beberapa entitas teks dan konteks dari luar yang merasuk ke dalam teks asli tersebut,” pungkas Fathul.
Proses eksplorasi dan latihan pertunjukan teater kontemporer telah diundang pula dalam rangka workshop pertunjukan (performance workshop) oleh LASALLE College of the Arts, Singapura, 13–14 Oktober (bertempat di Kampus LASALLE), dan oleh Fakulti Seni Kreatif Universiti Malaya (UM), Kuala Lumpur, pada 16–18 Oktober (bertempat di Kampus UM). Hasilnya telah menciptakan suatu kolaborasi kecil dan ditampilkan di sana dengan melibatkan beberapa mahasiswa yang terpilih dari proses singkat workshop.
Tapi intinya, kata Fathul, “Ini bukan terlalu teaternya, bukan terlalu ngobrol-ngobrolnya (diskusi), tapi yang penting silaturahimnya, nilai silaturahimnya, pertemuan langsung kita sesama manusia. Kita bahkan banyak dipertemukan lagi dengan teman lama di pagelaran ini. Semoga teater tetap punya kehidupan yang lebih baik ke depannya,” harapnya.
Pertunjukan yang Penuh Simbol dan Sarat Makna Kehidupan
Sementara itu, Rektor ISBI Bandung, Retno Dwomarwati, yang dalam pertunjukan tersebut memerankan tokoh Emak, mengatakan pada wartawan: ISBI ikut mengisi auditorium IFI sebagai ruang pertunjukannya demi meraih publik yang baru. Di samping itu, di IFI juga sudah lama tidak ada pertunjukan teater, sudah jarang. Selain itu, gedung pertunjukan di kampus ISBI Bandung yang satu-satunya itu penuh tiap hari, dipakai ujian (resital) Prodi Teater hingga 25 November 2025.
Menanggapi dimasukkannya teater tradisional Tarling (gitar–suling dari Cirebon), Sintren (perempuan perawan dimasukkan ke kurungan ayam, lalu berubah dandanannya menjadi bidadari), dan Wayang Kulit semuanya dari Pantura (pantai utara) Jawa Barat, “Sebetulnya kalau ISBI tetap saja, bagaimana membaca tradisi dengan cara-cara baru. Sedangkan Arifin C. Noer orang Pantura kental dan semua naskah-naskahnya juga membaca Pantura dengan sangat baik. Nah mungkin Pak Fathul juga karena orang Pantura, jadi dia bisa menangkap semua esensi ke-Panturaan-nya lewat elemen artistik yang ada pada pertunjukan ini,” jelas Retno.
![]() |
| Bincang-bincang usai pagelaran ( Foto: Asep GP) |
Retno juga menerangkan perannya sebagai Emak; bisa saja Emak itu sebagai simbol Ibu Pertiwi, atau pelindung, dsb. “Jadi sebetulnya di sini Tuhan itu menampakkan dengan waktu. Sang Kelam itu mungkin ada takdir, ada waktu; sementara Emak itu adalah orang yang memelihara kehidupan ini,” kata Retno.
Ditanya edukasinya untuk mahasiswa, menurut Retno mereka bisa mempelajari pertunjukan teater yang sarat simbol-simbol yang berguna untuk mengenal budaya tradisi dan warna-warni kehidupan ini.
“Sebetulnya pertunjukan ini penuh dengan simbol. Jadi nanti bisa dipelajari bagaimana Sintren yang sudah jarang dipertunjukkan di Bandung itu, kita jadi tahu bahwa Sintren itu adalah proses ritual yang membangunkan penari untuk trance (kesurupan, kemasukan ruh). Itu menghubungkan antara dunia bawah dengan dunia atas. Jadi itu yang akan disampaikan di sini; bagaimana kurung ayam itu juga berarti dunia, dan semangka (yang dibelah-belah sama Emak) pun bisa berarti kehidupan di dunia ini yang memang sudah porak-poranda. Jadi pembacaan-pembacaan seperti itu memang dihadirkan oleh Pak Fathur,” terangnya.
![]() |
| Para pemeran pagelaran (Foto: Asep GP) |
Jadi intinya, pelajaran/tema moral yang mau disampaikan dari pertunjukan teater ini adalah bahwa sebenarnya manusia harus dekat dengan Tuhan, karena Dialah yang bisa membolak-balikkan manusia. Jadi ketika tadi Si Kelam berbicara bahwa Tuhanlah yang mulai menciptakan kemudian Dia juga yang memporak-porandakan, berarti semua manusia itu hidup atas dasar kehendak Tuhan.
“Jadi bagaimana kesalehan Arifin C. Noer dapat dibaca di sini. Kemudian Pak Fathur mengangkat gaya-gaya Arifin C. Noer yang sangat memperdulikan rakyat kecil, itu juga lahir di sini. Bagaimana orang yang sudah tidak ada harapan kemudian tetap bangkit (tetap tenang karena ada Cermin Tipu Daya — dalam hal ini mungkin Kotak Pandora). Jadi selalu ada harapan walaupun kita terpuruk sangat parah dalam kondisi kehidupan ini. Toh harapan itu selalu ada, dan kita terus berjuang untuk mendapatkan harapan itu, semoga,” demikian pungkas Bu Rektor. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)















No comments :
Post a Comment