Thursday, August 21, 2025
![]() |
Suasana Pameran di Bangkok Thailand (Dok. ISBI Bandung) |
Institut Seni Budaya Inbdonesia (ISBI) Bandung kembali menunjukkan kiprah Internasionalnya dengan berpartisipasi pada International Faculty Art Exhibition yang berlangsung di Wangna Gallerry, Bangkok, Thailand, pada 10-30 Juni 2025.
Delegasi ISBI Bandung dipimpin Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn., dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain bersama dua seniman ISBI Bandung lainnya, Dede Priana, S.Sn., M.Si, dan Sangid Zaini Gani, S.Sn., M.F.A.
Dalam pameran yang diselenggarakan oleh The Faculty of Fine and Applied Arts, Bunditpatanasilpa Institute, di bawah Kementerian Kebudayaan Thailand ini, Dr. Supriatna menampilkan karya berjudul, “Tubuh Liminal Penari Tarawangsa”. Lukisan ekspresif tersebut lahir dari riset mendalam mengenai seni pertunjukan ritual Tarawangsa khas Sunda dari Rancakalong Sumedang, dengan penggambaran penari dalam kondisi trans yang sarat makna spiritual.
“Pameran ini menjadi sarana memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia Internasional. Kami berharap kegiatan serupa juga bisa diadakan di ISBI Bandung sebagai ruang pertukaran budaya,” ujar Dr. Supriatna.
![]() |
Tubuh Liminal Penari Tarawangsa Karya Supriatna (Dok. ISBI) |
Partsipasi ISBI Bandung sebagai perwakilan Indonesia bersama seniman dari Thailand dan Tiongkok menciptakan ruang dialog anatarbudaya melalui seni rupa. Kehadiran ISBI Bandung tidak hanya menambah warna pada pameran, tetapi juga memperkuat diplomasi budaya dan kerja sama antar lembaga pendidikan seni di Asia.
Melalui ajang ini, ISBI Bandung menegaskan komitmennya untuk terus mendorong seni sebagai jembatan lintas bangsa, sekaligus mengangkat martabat budaya Nusantara di kancah Internasional.
Tentang Tubuh Liminal Penari Tarawangsa Karya Supriatna
Dalam suatu kesempatan, di Pameran Tunggalnya “Tubuh Tubuh Liminal Para Wangsa” yang digelar di Thee Huis Gallery, Taman Budaya Jawa Barat, Jl. Bukit Dago Utara No.53 A Kota Bandung, (5-11 /9/2022), Supriatna mengatakan, menjadikan Seni Tradisi sebagai Pijakan untuk Menelaah, Mengorek hal yang Berkaitan dengan Kekinian. Seperti seni lukis tetap mengacu pada traidisi walaupun teknik, teori, dsb, mengambil dari Barat. Hal ini sesuai dengan peran ISBI Bandung sebagai perguruan tinggi seni di Jawa Barat, yang bertugas menjaga dan melestarikan seni-budaya Sunda.
Menurut Prie sapaan akrabnya, pameran ini dilatarbelakangi riset kebudayaan tentang makna ekspresi simbolik para penari Tarawangsa. Bagaimana suasana yang ditangkap di lapangan/lokasi riset begitu khidmat dan penuh rasa hormat pada seni buhun Sunda tersebut. Aura para penari (Para Wangsa, istilah Prie) melalui gerakan-gerakan intuitif – harmoni yang dialuni musik gesek Tarawangsa dan petikan kacapi (Jentreng), seketika menghentak jiwa rasa haru, serta tersadar betapa agung seni budaya leluhur ini.
Dalam suatu kesempatan, di Pameran Tunggalnya “Tubuh Tubuh Liminal Para Wangsa” yang digelar di Thee Huis Gallery, Taman Budaya Jawa Barat, Jl. Bukit Dago Utara No.53 A Kota Bandung, (5-11 /9/2022), Supriatna mengatakan, menjadikan Seni Tradisi sebagai Pijakan untuk Menelaah, Mengorek hal yang Berkaitan dengan Kekinian. Seperti seni lukis tetap mengacu pada traidisi walaupun teknik, teori, dsb, mengambil dari Barat. Hal ini sesuai dengan peran ISBI Bandung sebagai perguruan tinggi seni di Jawa Barat, yang bertugas menjaga dan melestarikan seni-budaya Sunda.
Menurut Prie sapaan akrabnya, pameran ini dilatarbelakangi riset kebudayaan tentang makna ekspresi simbolik para penari Tarawangsa. Bagaimana suasana yang ditangkap di lapangan/lokasi riset begitu khidmat dan penuh rasa hormat pada seni buhun Sunda tersebut. Aura para penari (Para Wangsa, istilah Prie) melalui gerakan-gerakan intuitif – harmoni yang dialuni musik gesek Tarawangsa dan petikan kacapi (Jentreng), seketika menghentak jiwa rasa haru, serta tersadar betapa agung seni budaya leluhur ini.
![]() |
Dok. ISBI Bandung |
“Penyatuan jiwa penari pada alam duniawi dan surgawi, menjadikan dualisme yang sangat inspiratif, dan mendorong hati untuk mereinterpretasi melalui ekspresi visual (lukisan). Karya-karya yang dipamerkan ini adalah upaya menyampaikan rasa kagum saya, serta kesan yang paling mendalam atas pengalaman budaya yang diamati,“ kata Prie.
Nilai-nilai apa sesungguhnya yang memantik Prie menaruh perhatian pada seni Tarawangsa sebagai sumber gagasan penciptaan seni lukisnya? Pencarian “kebaruan” semacam apa yang sesungguhnya yang hendak dihadirkannya melalui representasi tubuh-tubuh para penariTarawangsa? Mungkinkah gambaran tubuh-tubuh liminal para wangsa dalam lukisannya berkelindan dengan representasi mengenai hal yang justru tak hadir secara visual? Sederet pertanyaan lanjutan tentu bisa terus hadir dalam ruang apresiasi dan pemaknaan. Istilah inilah yang jadi bagian menarik dan berharga dalam pameran tunggal karya-karya seni lukis yang ditampilkannya di thee huis gallery. Penghayatan dan pengalaman kritis atas subjek matter yang dielaborasinya sangat mungkin mengantar kita pada ingatan atas pengalaman ketubuhan (embodiment) sebagaimana yang diuraikan oleh Ponty (1974) dalam Phenomenology Perception menegaskan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dari pengalaman ketubuhannya karena tubuh adalah media paling efektif untuk meresepsi sekaligus merasakan hadirnya sensasi dalam memahami dunia.
![]() |
Dr. Supriatna, tetap berpijak pada tradisi (Foto Asep GP) |
Fenomena tubuh para penari terutama dalam fase “trance” agaknya menjadi aspek yang menjadi landasan konsep representasi lukisan-lukisan Prie. Tubuh-tubuh para penari Tarawangsa yang dimaknai selaku tubuh liminal tersebut merupakan kata kunci dalam memasuki makna representasi yang tercermin dalam karya-karya yang digubahnya. Liminalitas merupakan istilah antropologis yang digunakan untuk menggambarkan fase transisi yang dialami seseorang.menjadi sesuatu yang baru.
“Kesadaran untuk menyerap nilai-nilai lokal (akar budaya) selaku landasan praktik dan manifestasi artistiknya jelas merupakan upaya pelebaran horizon yang membuka ruang bagi tampilnya pluralitas nilai-nilai tradisi di satu sisi sekaligus mencerminkan pula keinginan melepaskan diri dari cengkraman kemutlakan nilai yang bersumber dari ideologi estetik modernisme. Lebih jauh keputusan dirinya untuk menghilangkan jarak, mengaitkan dirinya kembali pada kehidupan tradisi dan arus kehidupan masa kini, menarik dipahami dalam koridor bangkitnya kesadaran atas praktik figurative ekpresif, selain memperlihatkan posisi dirinya sebagai seniman yang terus mencari jalan pembebasan dalam mengungkapkan nilai-nilai ekpresinya,“ demikian kata Kurator pameran, Diyanto saat itu. (Asep GP)***
ISBI Bandung Angkat Budaya Nusantara di Pameran Seni Internasional Bangkok
Posted by
Tatarjabar.com on Thursday, August 21, 2025
![]() |
Suasana Pameran di Bangkok Thailand (Dok. ISBI Bandung) |
Institut Seni Budaya Inbdonesia (ISBI) Bandung kembali menunjukkan kiprah Internasionalnya dengan berpartisipasi pada International Faculty Art Exhibition yang berlangsung di Wangna Gallerry, Bangkok, Thailand, pada 10-30 Juni 2025.
Delegasi ISBI Bandung dipimpin Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn., dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain bersama dua seniman ISBI Bandung lainnya, Dede Priana, S.Sn., M.Si, dan Sangid Zaini Gani, S.Sn., M.F.A.
Dalam pameran yang diselenggarakan oleh The Faculty of Fine and Applied Arts, Bunditpatanasilpa Institute, di bawah Kementerian Kebudayaan Thailand ini, Dr. Supriatna menampilkan karya berjudul, “Tubuh Liminal Penari Tarawangsa”. Lukisan ekspresif tersebut lahir dari riset mendalam mengenai seni pertunjukan ritual Tarawangsa khas Sunda dari Rancakalong Sumedang, dengan penggambaran penari dalam kondisi trans yang sarat makna spiritual.
“Pameran ini menjadi sarana memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia Internasional. Kami berharap kegiatan serupa juga bisa diadakan di ISBI Bandung sebagai ruang pertukaran budaya,” ujar Dr. Supriatna.
![]() |
Tubuh Liminal Penari Tarawangsa Karya Supriatna (Dok. ISBI) |
Partsipasi ISBI Bandung sebagai perwakilan Indonesia bersama seniman dari Thailand dan Tiongkok menciptakan ruang dialog anatarbudaya melalui seni rupa. Kehadiran ISBI Bandung tidak hanya menambah warna pada pameran, tetapi juga memperkuat diplomasi budaya dan kerja sama antar lembaga pendidikan seni di Asia.
Melalui ajang ini, ISBI Bandung menegaskan komitmennya untuk terus mendorong seni sebagai jembatan lintas bangsa, sekaligus mengangkat martabat budaya Nusantara di kancah Internasional.
Tentang Tubuh Liminal Penari Tarawangsa Karya Supriatna
Dalam suatu kesempatan, di Pameran Tunggalnya “Tubuh Tubuh Liminal Para Wangsa” yang digelar di Thee Huis Gallery, Taman Budaya Jawa Barat, Jl. Bukit Dago Utara No.53 A Kota Bandung, (5-11 /9/2022), Supriatna mengatakan, menjadikan Seni Tradisi sebagai Pijakan untuk Menelaah, Mengorek hal yang Berkaitan dengan Kekinian. Seperti seni lukis tetap mengacu pada traidisi walaupun teknik, teori, dsb, mengambil dari Barat. Hal ini sesuai dengan peran ISBI Bandung sebagai perguruan tinggi seni di Jawa Barat, yang bertugas menjaga dan melestarikan seni-budaya Sunda.
Menurut Prie sapaan akrabnya, pameran ini dilatarbelakangi riset kebudayaan tentang makna ekspresi simbolik para penari Tarawangsa. Bagaimana suasana yang ditangkap di lapangan/lokasi riset begitu khidmat dan penuh rasa hormat pada seni buhun Sunda tersebut. Aura para penari (Para Wangsa, istilah Prie) melalui gerakan-gerakan intuitif – harmoni yang dialuni musik gesek Tarawangsa dan petikan kacapi (Jentreng), seketika menghentak jiwa rasa haru, serta tersadar betapa agung seni budaya leluhur ini.
Dalam suatu kesempatan, di Pameran Tunggalnya “Tubuh Tubuh Liminal Para Wangsa” yang digelar di Thee Huis Gallery, Taman Budaya Jawa Barat, Jl. Bukit Dago Utara No.53 A Kota Bandung, (5-11 /9/2022), Supriatna mengatakan, menjadikan Seni Tradisi sebagai Pijakan untuk Menelaah, Mengorek hal yang Berkaitan dengan Kekinian. Seperti seni lukis tetap mengacu pada traidisi walaupun teknik, teori, dsb, mengambil dari Barat. Hal ini sesuai dengan peran ISBI Bandung sebagai perguruan tinggi seni di Jawa Barat, yang bertugas menjaga dan melestarikan seni-budaya Sunda.
Menurut Prie sapaan akrabnya, pameran ini dilatarbelakangi riset kebudayaan tentang makna ekspresi simbolik para penari Tarawangsa. Bagaimana suasana yang ditangkap di lapangan/lokasi riset begitu khidmat dan penuh rasa hormat pada seni buhun Sunda tersebut. Aura para penari (Para Wangsa, istilah Prie) melalui gerakan-gerakan intuitif – harmoni yang dialuni musik gesek Tarawangsa dan petikan kacapi (Jentreng), seketika menghentak jiwa rasa haru, serta tersadar betapa agung seni budaya leluhur ini.
![]() |
Dok. ISBI Bandung |
“Penyatuan jiwa penari pada alam duniawi dan surgawi, menjadikan dualisme yang sangat inspiratif, dan mendorong hati untuk mereinterpretasi melalui ekspresi visual (lukisan). Karya-karya yang dipamerkan ini adalah upaya menyampaikan rasa kagum saya, serta kesan yang paling mendalam atas pengalaman budaya yang diamati,“ kata Prie.
Nilai-nilai apa sesungguhnya yang memantik Prie menaruh perhatian pada seni Tarawangsa sebagai sumber gagasan penciptaan seni lukisnya? Pencarian “kebaruan” semacam apa yang sesungguhnya yang hendak dihadirkannya melalui representasi tubuh-tubuh para penariTarawangsa? Mungkinkah gambaran tubuh-tubuh liminal para wangsa dalam lukisannya berkelindan dengan representasi mengenai hal yang justru tak hadir secara visual? Sederet pertanyaan lanjutan tentu bisa terus hadir dalam ruang apresiasi dan pemaknaan. Istilah inilah yang jadi bagian menarik dan berharga dalam pameran tunggal karya-karya seni lukis yang ditampilkannya di thee huis gallery. Penghayatan dan pengalaman kritis atas subjek matter yang dielaborasinya sangat mungkin mengantar kita pada ingatan atas pengalaman ketubuhan (embodiment) sebagaimana yang diuraikan oleh Ponty (1974) dalam Phenomenology Perception menegaskan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dari pengalaman ketubuhannya karena tubuh adalah media paling efektif untuk meresepsi sekaligus merasakan hadirnya sensasi dalam memahami dunia.
![]() |
Dr. Supriatna, tetap berpijak pada tradisi (Foto Asep GP) |
Fenomena tubuh para penari terutama dalam fase “trance” agaknya menjadi aspek yang menjadi landasan konsep representasi lukisan-lukisan Prie. Tubuh-tubuh para penari Tarawangsa yang dimaknai selaku tubuh liminal tersebut merupakan kata kunci dalam memasuki makna representasi yang tercermin dalam karya-karya yang digubahnya. Liminalitas merupakan istilah antropologis yang digunakan untuk menggambarkan fase transisi yang dialami seseorang.menjadi sesuatu yang baru.
“Kesadaran untuk menyerap nilai-nilai lokal (akar budaya) selaku landasan praktik dan manifestasi artistiknya jelas merupakan upaya pelebaran horizon yang membuka ruang bagi tampilnya pluralitas nilai-nilai tradisi di satu sisi sekaligus mencerminkan pula keinginan melepaskan diri dari cengkraman kemutlakan nilai yang bersumber dari ideologi estetik modernisme. Lebih jauh keputusan dirinya untuk menghilangkan jarak, mengaitkan dirinya kembali pada kehidupan tradisi dan arus kehidupan masa kini, menarik dipahami dalam koridor bangkitnya kesadaran atas praktik figurative ekpresif, selain memperlihatkan posisi dirinya sebagai seniman yang terus mencari jalan pembebasan dalam mengungkapkan nilai-nilai ekpresinya,“ demikian kata Kurator pameran, Diyanto saat itu. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment