Sunday, October 20, 2024
![]() |
Bipaf Wadah Kolaborasi Seniman Tari Dunia (Foto Asep GP) |
Unit Pelaksana Teknik (UPT) Kebudayaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, kembali menggelar “Bandung Isolla Performing Art Festival (BIPAF)”. Acara berlangsung di Pelataran Villa Isolla – Bumi Siliwangi, Kampus UPI Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung (18/10/2024).
Bipaf ini kata Direktur UPT Kebudayaan UPI yang juga Direktur BIPAF, Dr. Yayo Sunaryo, M.Pd, sudah dimulai sejak 2016. Festival Bipaf menjadi penting untuk memunculkan koreografer-koreografer muda yang akan meramaikan dunia tari. Taman Villa Isolla UPI Bandung dan Villa Isolla Park adalah ruang luar khusus untuk pertunjukan.
”Bipaf diharapkan berkontribusi pada pengembangan industri kreatif khususnya subsektor seni pertunjukan di Indonesia, selain memunculkan para koreografer-koreografer muda untuk tampil pada event dan festival lainnya pada tingkat nasional dan internasional. Pertunjukan utama pada tahun ini menampilkan kolaborasi antar budaya (Intercultural Collaboration) antar Negara yang dapat terlihat dari bentuk koreografi yang dipertunjukan,“ kata Yayo.
Sebab tanpa kolaborasi, kata Yayo, diri kita menjadi tidak penting dalam konteks kesenimanan. Kolaborasi ini penting sekali untuk melihat dunia, sehingga ketika ada kolaborasi interkultural, percampuran antar bangsa, mereka terlihat jelas punya kelokalan masing-masing. Seperti penari Martina Feiertag dari Jerman, juga Al Bernard Veladre Garcia dari Philipina, Rithaudin Abdul Kadir dari Malaysia serta penari-penari dari Indonesia yang tampil, mereka punya kearifan lokal masing-masing, berbasis pada kelokalan Indonesia.
“Kelokalan dunia itu jika disatukan nanti diharap akan tercipta bentuk-bentuk baru pada koreografi. Bahkan di jurnal internasional saya itu disebutkan apakah bisa tidak kearifan dunia itu disatukan, ternyata mereka beberapa hari disini, kearifan mereka dan kita itu bisa tercampur sehingga membentuk koreografi-koreografi baru,“ kata Yayo.
Bipaf yang sudah kali ke-8 digelar ini, tahun ini pun bertajuk sama dengan tahun kemarin, “Intercultural Collaboration”. Hanya peserta dari luarnya yang beda, tahun kemarin ada 8 negara yang tampil, dari Belanda, Korea, dsb, sedangkan tahun ini dari Jerman, Philipina dan Malaysia dengan menampilkan 9 karya yang didukung 75 penari, ada yang trio/bertiga, kelompok, 5 penari, 18 penari, 20 penari, dsb.
“Tahun ini memang seniman dari luarnya tidak sebanyak tahun kemarin, hanya dari tiga Negara, Jerman, Philipina, dan Malasysia. Karena sekarang banyak penata tari lokal yang ingin tampil di sini. Saya harus mewadahi itu semua. Tujuan Bifak adalah wadah untuk ekspresi para koreografer muda, mereka yang tidak punya panggung kita wadahi disini sehingga terjadai proses interkulturasi dan sosialisasi di panggung festival internasional,“ jelas Yayo.
Tema besar yang mau disampaikan dalam perhelatan seni ini, adalah Komunikasi Antar Bangsa. Karena sangat penting untuk di zaman sekarang ini, karena kemajuan sebuah bangsa itu biasanya terindikasi dengan bagaimana cara interkasi dan cara berkolaborasi dengan orang lain. Dengan komunikasi lewat seni ini akan tercipta kolaborasi antar bangsa, penghormatan terhadap ras-ras bangsa, penghormatan atas kearifan lokal seluruh bangsa. “Dan semoga pertunjukan ini menjadi jawaban atas kevakuman karya tari kolaborasi interkultural yang terpenjara pandemik, yang sempat melumpuhkan berbagai sektor kehidupan manusia,“ pungkas Yayo.
“Kelokalan dunia itu jika disatukan nanti diharap akan tercipta bentuk-bentuk baru pada koreografi. Bahkan di jurnal internasional saya itu disebutkan apakah bisa tidak kearifan dunia itu disatukan, ternyata mereka beberapa hari disini, kearifan mereka dan kita itu bisa tercampur sehingga membentuk koreografi-koreografi baru,“ kata Yayo.
Bipaf yang sudah kali ke-8 digelar ini, tahun ini pun bertajuk sama dengan tahun kemarin, “Intercultural Collaboration”. Hanya peserta dari luarnya yang beda, tahun kemarin ada 8 negara yang tampil, dari Belanda, Korea, dsb, sedangkan tahun ini dari Jerman, Philipina dan Malaysia dengan menampilkan 9 karya yang didukung 75 penari, ada yang trio/bertiga, kelompok, 5 penari, 18 penari, 20 penari, dsb.
“Tahun ini memang seniman dari luarnya tidak sebanyak tahun kemarin, hanya dari tiga Negara, Jerman, Philipina, dan Malasysia. Karena sekarang banyak penata tari lokal yang ingin tampil di sini. Saya harus mewadahi itu semua. Tujuan Bifak adalah wadah untuk ekspresi para koreografer muda, mereka yang tidak punya panggung kita wadahi disini sehingga terjadai proses interkulturasi dan sosialisasi di panggung festival internasional,“ jelas Yayo.
Tema besar yang mau disampaikan dalam perhelatan seni ini, adalah Komunikasi Antar Bangsa. Karena sangat penting untuk di zaman sekarang ini, karena kemajuan sebuah bangsa itu biasanya terindikasi dengan bagaimana cara interkasi dan cara berkolaborasi dengan orang lain. Dengan komunikasi lewat seni ini akan tercipta kolaborasi antar bangsa, penghormatan terhadap ras-ras bangsa, penghormatan atas kearifan lokal seluruh bangsa. “Dan semoga pertunjukan ini menjadi jawaban atas kevakuman karya tari kolaborasi interkultural yang terpenjara pandemik, yang sempat melumpuhkan berbagai sektor kehidupan manusia,“ pungkas Yayo.
![]() |
Direktur Bipaf Yayo Sunaryo Bersama Martina Feiertag Dari Jerman (Foto Asep GP) |
Ketua Pelaksana Bipaf Indra Gandara, S.P.d, pun berharap melalui showcase dan diskusi, pitching dan presentasi, akan lahir karya-karya unggulan, baik dari dalam negeri maupun hasil kolaborasi dengan seniman-seniman dari berbagai penjuru dunia. “Kita hadir di sini untuk menciptakan ruang bersama, di mana seni tidak hanya menjadi cermin identitas, tetapi juga wadah untuk membangun komunitas yang lebih kokoh, kreatif, dan saling mendukung,“ katanya.
Tentu saja kegiatan seni antar budaya dunia ini mendapat sambutan hangat dari pihak rektorat, Wakil Rektor Bidang Inovasi, Kebudayaan dan Sistem Informasi UPI Bandung, Prof. Dr. H. Agus Rahayu, M.P., sebab Bipaf ini menurutnya, sebuah promosi karya seni pertunjukan inovatif terkurasi di Kota Bandung. Pertunjukan ini merupakan bentuk fasilitasi bagi para pencipta, penyaji seni dan tim pekerja kreatif untuk mementaskan karyanya sehingga terjadi kolaborasi dan transaksi dengan para direktur festival dan venue presenters tingkat nasional dan internasional.
“Bipaf ini bertujuan untuk mempertemukan para pelaku kreatif, koreografer, produser karya pertunjukan dengan stakeholdernya melalui showcase, menjalin jejaring dan kolaborasi, serta memberikan kontribusi pada pengembangan industri kreatif seni pertunjukan di Indonesia. Semoga Bipaf ini dapat menciptakan iklim pertunjukan yang baik bagi para penikmat seni di Indonesia dan Mancanagara,“ demikian kata Pak Warek.
![]() |
Ine Arini Bastaman, Perempuan Harus Kuat Dan Punya Prinsip Serta Komitmen Pada Anak, Keluarga, Bangsa, Negara (Foto Asep GP) |
Para koreografer yang tampil dalam festival Bipaf tahun ini, diantaranya: Ine Arini Bastaman, S. Sn., M. Sn (73), menampilkan karya “Pada Suatu Hari di Rumah Bersalin”, tentang persalinan seorang perempuan di rumah bersalin.
Karya ini adalah Kontemplasi saya yang sangat pribadi, sebagai seorang perempuan, seorang pendidik, seorang bidan dan kesehatan yang pernah jadi asisten dokter. Saya juga waktu kuliah di Solo (S2-STSI Surakarta - S1nya di ISBI Bandung) sering berlatih naik ke puncak Gunung Lawu juga berlatih di laut. Semua itu memperkuat raga dan jiwa saya dan semua pengalaman saya yang multi kompleks itu persembahan saya kepada Allah SWT, karena Allah memberi itu kepada saya,“ kata istri Perupa Herry Dim yang juga jadi aktivis baladnya Marintan Sirait (FSRD ITB) ini.
Makna yang terkandung dalam karya Ine Arini ini, Si Penari ingin perempuan tampil sebagai seorang perempuan tidak lemah dan punya prinsip dan komitmen terhadap keluarga dan anak, serta bangsa dan Negara. Demikian kata seniwati yang piawai Tari Topeng dan punya sanggar seni Puhaci ini.
Selanjutnya, Martina Feiertag dari Jerman yang menampilkan “Never Enough”. Sebuah tarian kontemporer dengan gerak tradisonal yang dia tarikan dengan Dian Bokir (suaminya yang berasal dari Trenggalek). Tarian ini kata Martina mengangkat gerak-gerak Celeng/ Babi Hutan / Bagong (dalam bahasa Sunda) dengan gerak-gerak humor, sebagai simbol Kerakusan.
![]() |
Rithaudin Dari Malaysia Sudah 3 Kali Tampil Di Bipaf, Kita Punya Kearifan Lokal Serumpun (Foto Asep GP) |
Sementara dari Philpina, tampil Al Bernard Veladre Garcia yang membawakan karya “BBYLN (BaBaYLaN)”. Sebuah tarian spiritual dari seorang penari laki-laki yang di dalamnya terdapat dua jiwa, perempuan dan laki-laki dan akan terhubung dengan Yang di Atas. Ada dua hal yang mau disampaikan Al Bernard dalam tariannya, tentang kolonialisme Spanyol atas negaranya yang akhirnya mengikis habis BaBaYLan (ahli ritual Philipina yang menghubungi roh dengan nyanyian untuk penyembuhan) dan tentang gender.
Al juga mengaku terkesan dan betah tinggal di Bandung, makanya dia juga dalam perhelatan seni ini berkolaborasi dengan mahasiwa-mahasiwa UPI Bandung dan dalam kolaborasi itu dia menjelaskan bagaimana tentang folklore/cerita rakyat philipina yang diajarkan ke mahasiswa UPI, termasuk perbincangan atau kolaborasi tentang bahasa, kostum, juga musik.
Demikian juga dengan Rithaudin Abdul Kadir dari Malaysia yang menampilkan karya “The Limbs”. Karya ini ingin memperlihatkan bagaaimana ‘limbs’ atau tubuh badan bergerak secara semula, jadi bagaikan punya pikiran sendiri.
Dan kolaborasi budaya ini mencari kesamaan dan perbedaan yang bisa ditonjolkan pada penonton.persamaannya pada tubuh dan kesamaan kita pada budayanya yang serumpun seperti bersila dan menunduk bila jumpa orang tua. Ini akan diraikan (dikenalkan) atau disamakan dengan kebiasaan yang sama yang ada pada kearifan lokal masyarakat Indonesia.
Dan kolaborasi budaya ini mencari kesamaan dan perbedaan yang bisa ditonjolkan pada penonton.persamaannya pada tubuh dan kesamaan kita pada budayanya yang serumpun seperti bersila dan menunduk bila jumpa orang tua. Ini akan diraikan (dikenalkan) atau disamakan dengan kebiasaan yang sama yang ada pada kearifan lokal masyarakat Indonesia.
![]() |
Al Bernard Valadre Garcia, Betah Tinggal Di Bandung (Foto Asep GP) |
Sementara itu para penari atau koreografer dari Indonesia selain Ine Arini juga diwakili oleh para koreografer dari beberapa daerah, diantaranya ada Edo Novriadi dari Sumatera Barat, yang akan menampilkan “Manyongkok” (Batingkah Langkah part 2).
Edo akan membawakan tarian yang berangkat dari sebuah tradisi menangkap ikan di lubuk larangan menjelang lebaran pada masyarakat Si Junjung (Sumbar) yang masih lestari hingga kini.
Edo akan tampil bersama 18 anak SDN Bukit Bual Sumatera Barat yang sengaja ia boyong dari sumatera barat untuk tampil di UPI Bandung. Sebuah tarian yang menceritakan kearifan lokal dan menggambarkan keceriaan dan kerjasama anak-anak dalam menangkap ikan.
![]() |
Cikal Mutiara Diar, Senduk Itu Keanggunan Perempuan Ponorogo (Foto Asep GP) |
Juga ada Cikal Mutiara Diar dari Jakarta Swargaloka yang menampilkan karya Tari “Senduk”. Senduk, adalah panggilan penuh keanggunan bagi perempuan Ponorogo. Karya yang mengekspresikan kekuatan self-love sebagai prlindungan diri ditengah maraknya pelecehan terhadap wanita. Melalui cinta pada diri sendiri, wanita menemukan kembali kekuatan, membangun batasan yang sehat dan memulihkan harga diri. Self-love menjadi sumber keberanian, membebaskan mereka untuk memilih dan bertindak sesuai dengan kenyamanan tanpa tekanan, menciptakan ruang bagi wanita untuk berdaya dan merdeka.
Yang lainnya, Egi Rifaldi dari Warangka Dancer Theatre menampilkan “Rakta Kama”, Naraya (UPI) “Buluh Pangampu”, dan M. Raka Reynaldi (Gaya Gita Studio) “ Choreotherapy”. (Asep GP)***
BIPAF Wadah Kolaborasi dan Silaturahmi Seniman Tari Dunia
Posted by
Tatarjabar.com on Sunday, October 20, 2024
![]() |
Bipaf Wadah Kolaborasi Seniman Tari Dunia (Foto Asep GP) |
Unit Pelaksana Teknik (UPT) Kebudayaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, kembali menggelar “Bandung Isolla Performing Art Festival (BIPAF)”. Acara berlangsung di Pelataran Villa Isolla – Bumi Siliwangi, Kampus UPI Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung (18/10/2024).
Bipaf ini kata Direktur UPT Kebudayaan UPI yang juga Direktur BIPAF, Dr. Yayo Sunaryo, M.Pd, sudah dimulai sejak 2016. Festival Bipaf menjadi penting untuk memunculkan koreografer-koreografer muda yang akan meramaikan dunia tari. Taman Villa Isolla UPI Bandung dan Villa Isolla Park adalah ruang luar khusus untuk pertunjukan.
”Bipaf diharapkan berkontribusi pada pengembangan industri kreatif khususnya subsektor seni pertunjukan di Indonesia, selain memunculkan para koreografer-koreografer muda untuk tampil pada event dan festival lainnya pada tingkat nasional dan internasional. Pertunjukan utama pada tahun ini menampilkan kolaborasi antar budaya (Intercultural Collaboration) antar Negara yang dapat terlihat dari bentuk koreografi yang dipertunjukan,“ kata Yayo.
Sebab tanpa kolaborasi, kata Yayo, diri kita menjadi tidak penting dalam konteks kesenimanan. Kolaborasi ini penting sekali untuk melihat dunia, sehingga ketika ada kolaborasi interkultural, percampuran antar bangsa, mereka terlihat jelas punya kelokalan masing-masing. Seperti penari Martina Feiertag dari Jerman, juga Al Bernard Veladre Garcia dari Philipina, Rithaudin Abdul Kadir dari Malaysia serta penari-penari dari Indonesia yang tampil, mereka punya kearifan lokal masing-masing, berbasis pada kelokalan Indonesia.
“Kelokalan dunia itu jika disatukan nanti diharap akan tercipta bentuk-bentuk baru pada koreografi. Bahkan di jurnal internasional saya itu disebutkan apakah bisa tidak kearifan dunia itu disatukan, ternyata mereka beberapa hari disini, kearifan mereka dan kita itu bisa tercampur sehingga membentuk koreografi-koreografi baru,“ kata Yayo.
Bipaf yang sudah kali ke-8 digelar ini, tahun ini pun bertajuk sama dengan tahun kemarin, “Intercultural Collaboration”. Hanya peserta dari luarnya yang beda, tahun kemarin ada 8 negara yang tampil, dari Belanda, Korea, dsb, sedangkan tahun ini dari Jerman, Philipina dan Malaysia dengan menampilkan 9 karya yang didukung 75 penari, ada yang trio/bertiga, kelompok, 5 penari, 18 penari, 20 penari, dsb.
“Tahun ini memang seniman dari luarnya tidak sebanyak tahun kemarin, hanya dari tiga Negara, Jerman, Philipina, dan Malasysia. Karena sekarang banyak penata tari lokal yang ingin tampil di sini. Saya harus mewadahi itu semua. Tujuan Bifak adalah wadah untuk ekspresi para koreografer muda, mereka yang tidak punya panggung kita wadahi disini sehingga terjadai proses interkulturasi dan sosialisasi di panggung festival internasional,“ jelas Yayo.
Tema besar yang mau disampaikan dalam perhelatan seni ini, adalah Komunikasi Antar Bangsa. Karena sangat penting untuk di zaman sekarang ini, karena kemajuan sebuah bangsa itu biasanya terindikasi dengan bagaimana cara interkasi dan cara berkolaborasi dengan orang lain. Dengan komunikasi lewat seni ini akan tercipta kolaborasi antar bangsa, penghormatan terhadap ras-ras bangsa, penghormatan atas kearifan lokal seluruh bangsa. “Dan semoga pertunjukan ini menjadi jawaban atas kevakuman karya tari kolaborasi interkultural yang terpenjara pandemik, yang sempat melumpuhkan berbagai sektor kehidupan manusia,“ pungkas Yayo.
“Kelokalan dunia itu jika disatukan nanti diharap akan tercipta bentuk-bentuk baru pada koreografi. Bahkan di jurnal internasional saya itu disebutkan apakah bisa tidak kearifan dunia itu disatukan, ternyata mereka beberapa hari disini, kearifan mereka dan kita itu bisa tercampur sehingga membentuk koreografi-koreografi baru,“ kata Yayo.
Bipaf yang sudah kali ke-8 digelar ini, tahun ini pun bertajuk sama dengan tahun kemarin, “Intercultural Collaboration”. Hanya peserta dari luarnya yang beda, tahun kemarin ada 8 negara yang tampil, dari Belanda, Korea, dsb, sedangkan tahun ini dari Jerman, Philipina dan Malaysia dengan menampilkan 9 karya yang didukung 75 penari, ada yang trio/bertiga, kelompok, 5 penari, 18 penari, 20 penari, dsb.
“Tahun ini memang seniman dari luarnya tidak sebanyak tahun kemarin, hanya dari tiga Negara, Jerman, Philipina, dan Malasysia. Karena sekarang banyak penata tari lokal yang ingin tampil di sini. Saya harus mewadahi itu semua. Tujuan Bifak adalah wadah untuk ekspresi para koreografer muda, mereka yang tidak punya panggung kita wadahi disini sehingga terjadai proses interkulturasi dan sosialisasi di panggung festival internasional,“ jelas Yayo.
Tema besar yang mau disampaikan dalam perhelatan seni ini, adalah Komunikasi Antar Bangsa. Karena sangat penting untuk di zaman sekarang ini, karena kemajuan sebuah bangsa itu biasanya terindikasi dengan bagaimana cara interkasi dan cara berkolaborasi dengan orang lain. Dengan komunikasi lewat seni ini akan tercipta kolaborasi antar bangsa, penghormatan terhadap ras-ras bangsa, penghormatan atas kearifan lokal seluruh bangsa. “Dan semoga pertunjukan ini menjadi jawaban atas kevakuman karya tari kolaborasi interkultural yang terpenjara pandemik, yang sempat melumpuhkan berbagai sektor kehidupan manusia,“ pungkas Yayo.
![]() |
Direktur Bipaf Yayo Sunaryo Bersama Martina Feiertag Dari Jerman (Foto Asep GP) |
Ketua Pelaksana Bipaf Indra Gandara, S.P.d, pun berharap melalui showcase dan diskusi, pitching dan presentasi, akan lahir karya-karya unggulan, baik dari dalam negeri maupun hasil kolaborasi dengan seniman-seniman dari berbagai penjuru dunia. “Kita hadir di sini untuk menciptakan ruang bersama, di mana seni tidak hanya menjadi cermin identitas, tetapi juga wadah untuk membangun komunitas yang lebih kokoh, kreatif, dan saling mendukung,“ katanya.
Tentu saja kegiatan seni antar budaya dunia ini mendapat sambutan hangat dari pihak rektorat, Wakil Rektor Bidang Inovasi, Kebudayaan dan Sistem Informasi UPI Bandung, Prof. Dr. H. Agus Rahayu, M.P., sebab Bipaf ini menurutnya, sebuah promosi karya seni pertunjukan inovatif terkurasi di Kota Bandung. Pertunjukan ini merupakan bentuk fasilitasi bagi para pencipta, penyaji seni dan tim pekerja kreatif untuk mementaskan karyanya sehingga terjadi kolaborasi dan transaksi dengan para direktur festival dan venue presenters tingkat nasional dan internasional.
“Bipaf ini bertujuan untuk mempertemukan para pelaku kreatif, koreografer, produser karya pertunjukan dengan stakeholdernya melalui showcase, menjalin jejaring dan kolaborasi, serta memberikan kontribusi pada pengembangan industri kreatif seni pertunjukan di Indonesia. Semoga Bipaf ini dapat menciptakan iklim pertunjukan yang baik bagi para penikmat seni di Indonesia dan Mancanagara,“ demikian kata Pak Warek.
![]() |
Ine Arini Bastaman, Perempuan Harus Kuat Dan Punya Prinsip Serta Komitmen Pada Anak, Keluarga, Bangsa, Negara (Foto Asep GP) |
Para koreografer yang tampil dalam festival Bipaf tahun ini, diantaranya: Ine Arini Bastaman, S. Sn., M. Sn (73), menampilkan karya “Pada Suatu Hari di Rumah Bersalin”, tentang persalinan seorang perempuan di rumah bersalin.
Karya ini adalah Kontemplasi saya yang sangat pribadi, sebagai seorang perempuan, seorang pendidik, seorang bidan dan kesehatan yang pernah jadi asisten dokter. Saya juga waktu kuliah di Solo (S2-STSI Surakarta - S1nya di ISBI Bandung) sering berlatih naik ke puncak Gunung Lawu juga berlatih di laut. Semua itu memperkuat raga dan jiwa saya dan semua pengalaman saya yang multi kompleks itu persembahan saya kepada Allah SWT, karena Allah memberi itu kepada saya,“ kata istri Perupa Herry Dim yang juga jadi aktivis baladnya Marintan Sirait (FSRD ITB) ini.
Makna yang terkandung dalam karya Ine Arini ini, Si Penari ingin perempuan tampil sebagai seorang perempuan tidak lemah dan punya prinsip dan komitmen terhadap keluarga dan anak, serta bangsa dan Negara. Demikian kata seniwati yang piawai Tari Topeng dan punya sanggar seni Puhaci ini.
Selanjutnya, Martina Feiertag dari Jerman yang menampilkan “Never Enough”. Sebuah tarian kontemporer dengan gerak tradisonal yang dia tarikan dengan Dian Bokir (suaminya yang berasal dari Trenggalek). Tarian ini kata Martina mengangkat gerak-gerak Celeng/ Babi Hutan / Bagong (dalam bahasa Sunda) dengan gerak-gerak humor, sebagai simbol Kerakusan.
![]() |
Rithaudin Dari Malaysia Sudah 3 Kali Tampil Di Bipaf, Kita Punya Kearifan Lokal Serumpun (Foto Asep GP) |
Sementara dari Philpina, tampil Al Bernard Veladre Garcia yang membawakan karya “BBYLN (BaBaYLaN)”. Sebuah tarian spiritual dari seorang penari laki-laki yang di dalamnya terdapat dua jiwa, perempuan dan laki-laki dan akan terhubung dengan Yang di Atas. Ada dua hal yang mau disampaikan Al Bernard dalam tariannya, tentang kolonialisme Spanyol atas negaranya yang akhirnya mengikis habis BaBaYLan (ahli ritual Philipina yang menghubungi roh dengan nyanyian untuk penyembuhan) dan tentang gender.
Al juga mengaku terkesan dan betah tinggal di Bandung, makanya dia juga dalam perhelatan seni ini berkolaborasi dengan mahasiwa-mahasiwa UPI Bandung dan dalam kolaborasi itu dia menjelaskan bagaimana tentang folklore/cerita rakyat philipina yang diajarkan ke mahasiswa UPI, termasuk perbincangan atau kolaborasi tentang bahasa, kostum, juga musik.
Demikian juga dengan Rithaudin Abdul Kadir dari Malaysia yang menampilkan karya “The Limbs”. Karya ini ingin memperlihatkan bagaaimana ‘limbs’ atau tubuh badan bergerak secara semula, jadi bagaikan punya pikiran sendiri.
Dan kolaborasi budaya ini mencari kesamaan dan perbedaan yang bisa ditonjolkan pada penonton.persamaannya pada tubuh dan kesamaan kita pada budayanya yang serumpun seperti bersila dan menunduk bila jumpa orang tua. Ini akan diraikan (dikenalkan) atau disamakan dengan kebiasaan yang sama yang ada pada kearifan lokal masyarakat Indonesia.
Dan kolaborasi budaya ini mencari kesamaan dan perbedaan yang bisa ditonjolkan pada penonton.persamaannya pada tubuh dan kesamaan kita pada budayanya yang serumpun seperti bersila dan menunduk bila jumpa orang tua. Ini akan diraikan (dikenalkan) atau disamakan dengan kebiasaan yang sama yang ada pada kearifan lokal masyarakat Indonesia.
![]() |
Al Bernard Valadre Garcia, Betah Tinggal Di Bandung (Foto Asep GP) |
Sementara itu para penari atau koreografer dari Indonesia selain Ine Arini juga diwakili oleh para koreografer dari beberapa daerah, diantaranya ada Edo Novriadi dari Sumatera Barat, yang akan menampilkan “Manyongkok” (Batingkah Langkah part 2).
Edo akan membawakan tarian yang berangkat dari sebuah tradisi menangkap ikan di lubuk larangan menjelang lebaran pada masyarakat Si Junjung (Sumbar) yang masih lestari hingga kini.
Edo akan tampil bersama 18 anak SDN Bukit Bual Sumatera Barat yang sengaja ia boyong dari sumatera barat untuk tampil di UPI Bandung. Sebuah tarian yang menceritakan kearifan lokal dan menggambarkan keceriaan dan kerjasama anak-anak dalam menangkap ikan.
![]() |
Cikal Mutiara Diar, Senduk Itu Keanggunan Perempuan Ponorogo (Foto Asep GP) |
Juga ada Cikal Mutiara Diar dari Jakarta Swargaloka yang menampilkan karya Tari “Senduk”. Senduk, adalah panggilan penuh keanggunan bagi perempuan Ponorogo. Karya yang mengekspresikan kekuatan self-love sebagai prlindungan diri ditengah maraknya pelecehan terhadap wanita. Melalui cinta pada diri sendiri, wanita menemukan kembali kekuatan, membangun batasan yang sehat dan memulihkan harga diri. Self-love menjadi sumber keberanian, membebaskan mereka untuk memilih dan bertindak sesuai dengan kenyamanan tanpa tekanan, menciptakan ruang bagi wanita untuk berdaya dan merdeka.
Yang lainnya, Egi Rifaldi dari Warangka Dancer Theatre menampilkan “Rakta Kama”, Naraya (UPI) “Buluh Pangampu”, dan M. Raka Reynaldi (Gaya Gita Studio) “ Choreotherapy”. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment