Monday, March 4, 2024
Kampus kita ini adalah kampus masa depan, tapi tidak lepas dari local wisdomnya (kearifan lokal ) itu sendiri. Karena dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Jadi jangan sampai kita menjadi arogan, jadi teu nincak bumi (tidak menapak bumi/tidak melebur/tidak membumi), jadi apa yang kita kerjakan itu jangan sampai kacang lupa sama kulitnya.
Kasundaan rupanya sedang menggeliat di Universitas Kristen Maranatha. Terbukti untuk kali ketiganya Program Studi Sarjana Seni Rupa Murni – Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Kristen Maranatha kembali menggelar Seminar Nasional Budaya Sunda, pada kamis (29/2/2024). Seminar yang dibuka langsung oleh Rektor UK Maranatha Prof. Sri Widiyantoro (Prof. Ilik) kali ini bertajuk “Sunda Manggung”.
Acara yang berlangsung di Maranatha Art Gallery Gedung B Lt.5 Seni Rupa Murni, FSRD UK. Maranatha Jl. Surya Sumantri No. 65 Bandung, menampilkan beberapa pembicara pakar di bidangnya, yaitu pada Sesi 1 : Prof.Dr. Arthur S. Nalan, S.Sen.M.Hum, (Guru Besar Sosiologi Seni ISBI Bandung) dan Prof. Dr. Reiza D Dienaputra, M.Hum (Guru Besar Sejarah Unpad), dengan Moderator Dr.Ismet Zainal Effendi, S.Sn., M.Sn. Sedangkan pada Sesi 2 menampilkan Bah Enjum, Sanggar Reak Tibelat, dengan Moderator Willianto Wirawan, S.Sn.
Selain para pembicara, hadir dalam kesempatan tersebut, Dekan FSRD UK Maranatha Irena Vanessa Gunawan, Pendeta Hariman, Ketua Program Studi Pendidikan Seni Rupa FPSD UPI Warli Haryana dan beberapa dosen FPSD UPI lainnya seperti Kang Hery, Kang Harry, Kang Anton dari Griya Seni Popo Iskandar Bandung, ditambah para mahasiswa dan personil Sanggar Reak Tibelat Ujungberung Bandung.
Dari kiri ke kanan Prof. Arthur S Nalan, Prof. Reiza, Ismet Zainal Effendi dan Wawan Suryana (Foto Asep GP) |
Patut dipuji Program Studi Sarjana Seni Rupa Murni FSRD UK Maranatha pada tahun ini sudah menyelenggarakan kali ketiga Seminar Nasional Budaya Sunda.
Apa yang melatarbelakangi semua itu, Ketua Panitia Wawan Suryana S.Sn., M.Sn, mengatakan pada wartawan. “Kami memang sudah tiga kali menggelar Seminar Nasional Budaya Sunda seperti ini. Kami juga merasa bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kesenian - kebudayaan daerah dimana kami berada. Walau kita beragam, tapi kebetulan kita punya semangat yang sama, keinginan yang sama, maka terwujudlah Seminar Nasional Budaya Sunda ini,“ tandasnya.
Sebagai masyarakat akademis yang bergelut di wilayah seni, dalam hal ini seni rupa, tapi kalau bicara tetang seni-budaya cakupannya sangat luas. Garapannya tidak hanya seni lukis tapi budayanya juga harus diketahui. Misalnya di masyakarakat Jabar kalau bicara seni rupa orang akan ingat Lukisan Jelekong (Bale Endah/Ciparay, Kabupaten Bandung), nah kalau kita bicara jelekong otomatis harus bicara budaya (Sunda) juga. “Makanya sangat penting ketika kita berpikir tentang bagaimana ngamumule budaya urang. Rek kusaha deui lamun teu ku urang (Bagaimana melestarikan budaya kita. Sama siapa lagi kalau bukan sama kita sendiri). Intinya di situ. Jadi atas pemikiran seperti itulah, Seminar Nasional Budaya Sunda ini terlahir,“ kata Wawan.
Wawan Suryana, kita jangan arogan, dimana-mana harus membumi, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung (Foto Asep GP) |
Wawan berharap, acara seminar kasundaan ini menjadi ciri khas Universitas Kristen Maranatha untuk ke depannya. Sesuai yang dikatakannya dalam sambutan pembukaan. “Kampus kita ini adalah kampus masa depan, tapi tidak lepas dari local wisdomnya (kearifan lokal ) itu sendiri. Karena dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Jadi jangan sampai kita menjadi arogan, jadi teu nincak bumi (tidak menapak bumi/tidak melebur/membumi), jadi apa yang kita kerjakan itu jangan sampai kacang lupa sama kulitnya,” tegasnya.
Dosen pengajar seni murni yang pernah mengenyam pendidikan STSI Denpasar Bali-Seni Lukis dan Pedalangan Bali dan Seni Murni Pascasarjana FPSRD - ITB ini berharap acara seminar kasundaan ini rutin diadakan, mungkin nanti skupnya akan lebih luas lagi menjadi Seminar internasional Budaya Sunda, katanya pasti.
Ismet Zainal Effendi, kaum akademisi harus jadi lokomotif pelestari Budaya Sunda (Foto Asep GP) |
Senada dengan pernyataan itu, Kaprodi Seni Murni FSRD UK Maranatha, Ismet Zainal Effendi mengatakan pada wartawan, lahirnya Seminar Budaya Sunda ini sebagai bentuk pertanggungjawaban pihaknya sebagai kaum akademisi dalam hal ini Program Seni Rupa Murni yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk ngamumule (melestarikan) Budaya Sunda.
Memang itu harus jadi kewajiban para akademisi sebagai motor atau lokomotifnya yang tujuannya adalah tidak lain untuk melestarikan Budaya Sunda ini agar jangan sampai tergerus zaman, malah kalau bisa mengikuti zaman bahkan sampai ke tingkat global, katanya.
“Nah seminar ini sebenarnya menjadi ciri khas Program Seni Rupa Murni sebagai selain bentuk untuk memberi peningkatan citra prodi seni murni juga sekaligus memberi wawasan pada masyarakat tentang kebudayaan Nusantara khususnya budaya Sunda,” pungkas dosen berpenampilan necis dengan ciri khas rambut panjang disemir dan batu akik menghiasi kesepuluh jarinya itu.
Sunda Manggung
Arti kata Manggung dalam terjemahan bebas yang dimaksud di sini bisa menunjukan keberadaan, kejayaan, ngalalakon, pengalaman, kiprah dan kegiatan dinamis lainnya.
Hal keberadaan, kejayaan dan kiprah Sunda diguar Guru Besar Sejarah Unpad Prof. Reiza Dienaputra sudah ada sejak zaman Tarumanagara dengan berbagai bukti prasastinya (Ciaruteun, Kebon Kopi, dsb, bahkan banyak sejarawan yang mengatakan jauh sebelumnya ada Kerajaan Salakana Nagara, hanya kurang bukti peninggalannya). Nah selama berdirinya Tarumanagara (abad-5) hingga runtuhnya Pajajaran/Sunda (1579/Abad 16 M) Karajaan Sunda tidak putus-putusnya ngalalakon, Manggung dan tidak pernah dijajah kerajaan lain di Nusantara ini.
Masa lalu orang Sunda itu sangat luar biasa, kita bisa melihat di berbagai naskah yang ditemukan dan sudah diteliti diterjemahkan, bahwa itu Sunda benar-benar manggung dan paling maju peradabannya. Dengan adanya prasasti peninggalan Tarumanagara pada Abad ke-5 M (peralihan dari pra sejarah ke sejarah-karena pertama ditemukan bukti tertulis) menunjukkan Sunda adalah etnis pertama yang melek huruf.
Bah Enjum, Seni Reak harus ngigelan zaman (Foto Asep GP) |
Begitu juga dari naskah-naskah Sunda kuna yang ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi 1482-1521) seperti Sanghiyang Siksakandang Karesian yang ditulis 1518 M (1440 Saka). Isinya menunjukan gambaran tentang pedoman etika, moral umum untuk kehidupan bermasyarakat pada masa itu, termasuk ilmu yang harus dikuasai sebagai bekal kehidupan praktis sehari-hari.
Sehingga di dalamnya hal-hal kecil yang menyangkut etika dan moral jadi pembahasan yang detil demi menjaga sopan santun, rasa aman dan tenteram di masyarakat. Seperti ketika orang buang hajat atau kotoran harus tujuh langkah dari pinggir jalan, begitu juga kencing harus 3 langkah dari jalan. Selain itu isinya ada konsep berbakti pada keluarga dan raja. Demikian kata Reiza.
Penampilan Seni Reak - Sanggar Reak Tibelat (Foto Dok. Seni Murni FSRD UK Maranatha) |
Selebihnya naskah ini menampilkan berbagai panorama budaya jaman penulisnya, berbagai keahlian (termasuk teknik perang) beserta hasil kreasi para ahlinya (termasuk berbagai kesenian), sehingga ada yang mengatakan Sanghiyang Siksakandang Karesian sebagai Ensiklopedia.
Semua ini kata Reiza dan juga dikatakan Arthur sangat luar biasa dan harus terus digali agar Budaya Sunda teu tumpur kari catur (tidak Punah tinggal cerita). Harus ada pewaris aktif dan peran para inohong/tokoh yang berani mawa Budaya Sunda ka jauhna-ke tingkat global.
Reiza juga mengatakan ada 49 juta (73%) populasi etnis Sunda yang mendiami Jawa Barat dan ini sangat potensial untuk mendukung kebudayaannya sendiri dan beruntung selain Sunda Pituin (Sunda Geneologis) ada juga Sunda Sosial Budaya (Sunda Mukimin) yang nyaah dan peduli terhadap budaya Sunda. “Saya harap UK Maranatha juga jadi lokomotif pengembangan budaya Sunda,” pungkas Reiza. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
March 04, 2024
CB Blogger
IndonesiaSunda Manggung di Maranatha
Posted by
Tatarjabar.com on Monday, March 4, 2024
Kampus kita ini adalah kampus masa depan, tapi tidak lepas dari local wisdomnya (kearifan lokal ) itu sendiri. Karena dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Jadi jangan sampai kita menjadi arogan, jadi teu nincak bumi (tidak menapak bumi/tidak melebur/tidak membumi), jadi apa yang kita kerjakan itu jangan sampai kacang lupa sama kulitnya.
Kasundaan rupanya sedang menggeliat di Universitas Kristen Maranatha. Terbukti untuk kali ketiganya Program Studi Sarjana Seni Rupa Murni – Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Kristen Maranatha kembali menggelar Seminar Nasional Budaya Sunda, pada kamis (29/2/2024). Seminar yang dibuka langsung oleh Rektor UK Maranatha Prof. Sri Widiyantoro (Prof. Ilik) kali ini bertajuk “Sunda Manggung”.
Acara yang berlangsung di Maranatha Art Gallery Gedung B Lt.5 Seni Rupa Murni, FSRD UK. Maranatha Jl. Surya Sumantri No. 65 Bandung, menampilkan beberapa pembicara pakar di bidangnya, yaitu pada Sesi 1 : Prof.Dr. Arthur S. Nalan, S.Sen.M.Hum, (Guru Besar Sosiologi Seni ISBI Bandung) dan Prof. Dr. Reiza D Dienaputra, M.Hum (Guru Besar Sejarah Unpad), dengan Moderator Dr.Ismet Zainal Effendi, S.Sn., M.Sn. Sedangkan pada Sesi 2 menampilkan Bah Enjum, Sanggar Reak Tibelat, dengan Moderator Willianto Wirawan, S.Sn.
Selain para pembicara, hadir dalam kesempatan tersebut, Dekan FSRD UK Maranatha Irena Vanessa Gunawan, Pendeta Hariman, Ketua Program Studi Pendidikan Seni Rupa FPSD UPI Warli Haryana dan beberapa dosen FPSD UPI lainnya seperti Kang Hery, Kang Harry, Kang Anton dari Griya Seni Popo Iskandar Bandung, ditambah para mahasiswa dan personil Sanggar Reak Tibelat Ujungberung Bandung.
Dari kiri ke kanan Prof. Arthur S Nalan, Prof. Reiza, Ismet Zainal Effendi dan Wawan Suryana (Foto Asep GP) |
Patut dipuji Program Studi Sarjana Seni Rupa Murni FSRD UK Maranatha pada tahun ini sudah menyelenggarakan kali ketiga Seminar Nasional Budaya Sunda.
Apa yang melatarbelakangi semua itu, Ketua Panitia Wawan Suryana S.Sn., M.Sn, mengatakan pada wartawan. “Kami memang sudah tiga kali menggelar Seminar Nasional Budaya Sunda seperti ini. Kami juga merasa bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kesenian - kebudayaan daerah dimana kami berada. Walau kita beragam, tapi kebetulan kita punya semangat yang sama, keinginan yang sama, maka terwujudlah Seminar Nasional Budaya Sunda ini,“ tandasnya.
Sebagai masyarakat akademis yang bergelut di wilayah seni, dalam hal ini seni rupa, tapi kalau bicara tetang seni-budaya cakupannya sangat luas. Garapannya tidak hanya seni lukis tapi budayanya juga harus diketahui. Misalnya di masyakarakat Jabar kalau bicara seni rupa orang akan ingat Lukisan Jelekong (Bale Endah/Ciparay, Kabupaten Bandung), nah kalau kita bicara jelekong otomatis harus bicara budaya (Sunda) juga. “Makanya sangat penting ketika kita berpikir tentang bagaimana ngamumule budaya urang. Rek kusaha deui lamun teu ku urang (Bagaimana melestarikan budaya kita. Sama siapa lagi kalau bukan sama kita sendiri). Intinya di situ. Jadi atas pemikiran seperti itulah, Seminar Nasional Budaya Sunda ini terlahir,“ kata Wawan.
Wawan Suryana, kita jangan arogan, dimana-mana harus membumi, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung (Foto Asep GP) |
Wawan berharap, acara seminar kasundaan ini menjadi ciri khas Universitas Kristen Maranatha untuk ke depannya. Sesuai yang dikatakannya dalam sambutan pembukaan. “Kampus kita ini adalah kampus masa depan, tapi tidak lepas dari local wisdomnya (kearifan lokal ) itu sendiri. Karena dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Jadi jangan sampai kita menjadi arogan, jadi teu nincak bumi (tidak menapak bumi/tidak melebur/membumi), jadi apa yang kita kerjakan itu jangan sampai kacang lupa sama kulitnya,” tegasnya.
Dosen pengajar seni murni yang pernah mengenyam pendidikan STSI Denpasar Bali-Seni Lukis dan Pedalangan Bali dan Seni Murni Pascasarjana FPSRD - ITB ini berharap acara seminar kasundaan ini rutin diadakan, mungkin nanti skupnya akan lebih luas lagi menjadi Seminar internasional Budaya Sunda, katanya pasti.
Ismet Zainal Effendi, kaum akademisi harus jadi lokomotif pelestari Budaya Sunda (Foto Asep GP) |
Senada dengan pernyataan itu, Kaprodi Seni Murni FSRD UK Maranatha, Ismet Zainal Effendi mengatakan pada wartawan, lahirnya Seminar Budaya Sunda ini sebagai bentuk pertanggungjawaban pihaknya sebagai kaum akademisi dalam hal ini Program Seni Rupa Murni yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk ngamumule (melestarikan) Budaya Sunda.
Memang itu harus jadi kewajiban para akademisi sebagai motor atau lokomotifnya yang tujuannya adalah tidak lain untuk melestarikan Budaya Sunda ini agar jangan sampai tergerus zaman, malah kalau bisa mengikuti zaman bahkan sampai ke tingkat global, katanya.
“Nah seminar ini sebenarnya menjadi ciri khas Program Seni Rupa Murni sebagai selain bentuk untuk memberi peningkatan citra prodi seni murni juga sekaligus memberi wawasan pada masyarakat tentang kebudayaan Nusantara khususnya budaya Sunda,” pungkas dosen berpenampilan necis dengan ciri khas rambut panjang disemir dan batu akik menghiasi kesepuluh jarinya itu.
Sunda Manggung
Arti kata Manggung dalam terjemahan bebas yang dimaksud di sini bisa menunjukan keberadaan, kejayaan, ngalalakon, pengalaman, kiprah dan kegiatan dinamis lainnya.
Hal keberadaan, kejayaan dan kiprah Sunda diguar Guru Besar Sejarah Unpad Prof. Reiza Dienaputra sudah ada sejak zaman Tarumanagara dengan berbagai bukti prasastinya (Ciaruteun, Kebon Kopi, dsb, bahkan banyak sejarawan yang mengatakan jauh sebelumnya ada Kerajaan Salakana Nagara, hanya kurang bukti peninggalannya). Nah selama berdirinya Tarumanagara (abad-5) hingga runtuhnya Pajajaran/Sunda (1579/Abad 16 M) Karajaan Sunda tidak putus-putusnya ngalalakon, Manggung dan tidak pernah dijajah kerajaan lain di Nusantara ini.
Masa lalu orang Sunda itu sangat luar biasa, kita bisa melihat di berbagai naskah yang ditemukan dan sudah diteliti diterjemahkan, bahwa itu Sunda benar-benar manggung dan paling maju peradabannya. Dengan adanya prasasti peninggalan Tarumanagara pada Abad ke-5 M (peralihan dari pra sejarah ke sejarah-karena pertama ditemukan bukti tertulis) menunjukkan Sunda adalah etnis pertama yang melek huruf.
Bah Enjum, Seni Reak harus ngigelan zaman (Foto Asep GP) |
Begitu juga dari naskah-naskah Sunda kuna yang ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi 1482-1521) seperti Sanghiyang Siksakandang Karesian yang ditulis 1518 M (1440 Saka). Isinya menunjukan gambaran tentang pedoman etika, moral umum untuk kehidupan bermasyarakat pada masa itu, termasuk ilmu yang harus dikuasai sebagai bekal kehidupan praktis sehari-hari.
Sehingga di dalamnya hal-hal kecil yang menyangkut etika dan moral jadi pembahasan yang detil demi menjaga sopan santun, rasa aman dan tenteram di masyarakat. Seperti ketika orang buang hajat atau kotoran harus tujuh langkah dari pinggir jalan, begitu juga kencing harus 3 langkah dari jalan. Selain itu isinya ada konsep berbakti pada keluarga dan raja. Demikian kata Reiza.
Penampilan Seni Reak - Sanggar Reak Tibelat (Foto Dok. Seni Murni FSRD UK Maranatha) |
Selebihnya naskah ini menampilkan berbagai panorama budaya jaman penulisnya, berbagai keahlian (termasuk teknik perang) beserta hasil kreasi para ahlinya (termasuk berbagai kesenian), sehingga ada yang mengatakan Sanghiyang Siksakandang Karesian sebagai Ensiklopedia.
Semua ini kata Reiza dan juga dikatakan Arthur sangat luar biasa dan harus terus digali agar Budaya Sunda teu tumpur kari catur (tidak Punah tinggal cerita). Harus ada pewaris aktif dan peran para inohong/tokoh yang berani mawa Budaya Sunda ka jauhna-ke tingkat global.
Reiza juga mengatakan ada 49 juta (73%) populasi etnis Sunda yang mendiami Jawa Barat dan ini sangat potensial untuk mendukung kebudayaannya sendiri dan beruntung selain Sunda Pituin (Sunda Geneologis) ada juga Sunda Sosial Budaya (Sunda Mukimin) yang nyaah dan peduli terhadap budaya Sunda. “Saya harap UK Maranatha juga jadi lokomotif pengembangan budaya Sunda,” pungkas Reiza. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment