Home
» Seni Budaya
» Festival Peh-cun (Bacang) YDSP : Untuk Kebersamaan dan Mengikis Prasangka Diantara Kita
Tuesday, July 25, 2023
Sebagaimana diketahui, pada Hari Minggu 25 Juni 2023 telah berlangsung Festival Peh-Cun (Bacang) di Graha Surya Priangan, Aula lantai 3, Jl. Nana Rohana No. 37 Kota Bandung.
Acara yang digagas Yayasan Dana Sosial Priangan (YDSP) betajuk “Bacang & Tradisi Peh-Cun: Harmoni Kuliner Tionghoa – Indonesia”, menghadirkan Pembicara Fadli Rahman, S.S., M.A. (dosen sejarah FIB Unpad) dan Sugiri, juga Penulis Buku: Rijsttafel, Jejak Rasa Nusantara. Terlihat juga saat itu Abdul Hamid (dosen Bahasa Indoensia FIB Unpad), Lina Nursanti (wartawati/penulis), Hikmat Gumelar (alumnus Sastra Sunda Unpad) dan beberapa masyarakat Bandung lainnya terlihat berbaur dengan komunitas Tionghoa yang hadir saat itu.
Menurut Sugiri, Festival Tionghoa itu dalam satu tahun ada 6-7 acara. 3 tentang kehidupan 3 tentang kematian dan Festival Bacang ini salah satu tentang kematian yang menurut legendanya berhubungan dengan kematian seorang sastrawan/penyair, negarawan kepercayaan Kaisar, bernama Qü Yuan (dibaca chü yuan) yang difitnah orang-orang istana yang dibayar musuh. Setelah Qu Yuan tersingkirkan, pada tanggal 5 bulan 5 musuh berhasil masuk menyerang dan menduduki ibukota dan kaisar pun kalah. Qu Yuan yang setia pada kaisar dan negaranya sangat sedih dan putus asa, lalu dia nekad mengikatkan dirinya ke batu besar lalu terjun ke Sungai Mi Luo, bunuh diri.
Rakyat yang mengetahui Qu Yuan bunuh diri ramai-ramai mencari jasadnya tapi tidak ketemu. Mereka berpikir supaya jasadnya tidak dimakan ikan - dibuatlah nasi-nasi dibungkus (Bacang) lalu disebar di sungai. Itu jadi tradisi Peh Cun.
“Itu benar tidaknya saya tidak tahu, soalnya Qu Yuan nya sendiri di buku (sejarah) ada tapi makomnya ga ada karena dia terjun ke sungai - kalau ada makomnya ceritanya akan lain lagi. Tapi mungkin boleh dipercaya juga karena di buku sejarah ada,” terang Sugiri.
Sugiri menambahkan, ada beberapa pendapat masyarakat tentang Festival Peh – Cun ini. Ada yang menganggap tradisi aja di tanggal 5 bulan 5, dan ada yang mengingat Qu Yuan juga Bacang nya. “Yang jelas kalau dulu ketika saya kecil cari Bacang susah karena hanya ada ketika di tanggal 5 bulan 5 imlek saja. Tapi sekarang Bacang bisa dibeli setiap hari dan dijual dimana-mana,“ katanya.
Tapi yang utama dari acara ini kata Sugiri yang juga pernah mengajar Sastra Tiongkok di Unpad dan masih menjadi dosen luar biasa (arsitek) di Maranatha, dengan adanya acara terbuka bagi umum seperti ini, masyarakat tidak lagi berpandangan sempit kepada komunitas Tionghoa yang dianggap eksklusif dan tertutup. “Dengan ketertutupan kan tidak ada segi kebaikan, banyaknya salah pengertian. Kami harapkan dengan adanya festival Tionghoa yang terbuka seperti ini masyarakat bisa mengerti latar belakang budaya kita, jadi ada saling pengertian, dengan begitu bisa mengurangi prasangka,” harapnya.
Sementara itu Fadli Rahman usai jadi pembicara mengatakan kepada wartawan, Bacang yang identik dengan kuliner kaum peranakan Tionghoa di Indonesia dalam proses historisnya ada akulturasi-akultiurasi yang kemudian membuat makanan ini menjadi sangat diterima, diataptasi masyarakat lokal.
“Jadi ini salah satu wujud kontribusi kaum pernanakan Tionghoa dalam khasanah kulinernya seperti halnya produk-produk kuliner peranakan Tionghoa lainnya yang bisa mengalami proses lokalisasi hingga akhirnya diterima setelah melalui proses modifikasi. Misalnya bacang kalau di negara asalnya China tidak menggunakan kecap manis, tapi dalam khasanah kuliner Indonesia ditambahkan kecap karena orang Indonesia menyukai cita rasa manis. Begitu juga untuk membuatnya wangi ditambahkan bawang merah. Ini yang membuat kenapa Bacang menjadi Simbol/simpul keharmonian budaya Tionghoa dengan Indonesia,” terangnya.
Tentang kehalalan Bacang, Kata Fadli karena ada adaptasi kultural, ada akulturasi dengan budaya lokal di Indonesia yang mayoritas Muslim ini membuat isian Bacang menjadi berubah dalam pengolahnnya yang semula di dalam pandanagan orang-orang Islam Bacang sebagai makanan yang tidak layak dikonsumsi karena keharamannya, tapi dengan adanya proses akulturasi adaptasi dengan kultural masyarakat setempat yang masyoritas Muslim ini membuat Bacang berubah, ini juga menjadi segmen para produsen Bacang tidak lagi menggunakan daging babi tapi daging ayam atau daging sapi cingcang yang memang sangat disukai masyarakat kita sebagai menu sarapan pagi.
Jadi kita tidak bisa memungkiri keberhasilan masyarakat Tionghoa dalam beradaptasi dengan budaya lokal/Jabar dan wilayah lainnya dan itu satu hal yang bisa mengubah persepsi-persepsi negatif yang ada dalam sejarah dan tetap hidup tentang komunitas Tionghoa.
Jadi kata Fadli, yang perlu direfleksikan dari Peh Cun atau Festival Bacang ini adalah suatu ruang bagi masyarakat keturunan Tionghoa maupun bagi masyarakat warga kota Bandung untuk melihat bagaimana pertemuan budaya yang nyata dari sejarah hubungan antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat lokal di kota Bandung.
“Jadi ini menjadi suatu momentum yang bisa mengikis sekat-sekat pembatas antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat lokal-Sunda/Bandung. Acara seperti hari ini seperti mengingatkan kembali kepada sejarah yang sudah hidup puluhan tahun lalu,“ pungkas dosen Departemen Sejarah dan Filologi FIB Unpad.
Usai acara wartawan juga diajak Johan melihat-lihat Museum Kebudayaan Tionghoa di Lt. 2 Gedung Graha Surya Priangan.
Galeri Budaya ini terdiri dari tiga bagian: Ruang Perpustakaan (ruang komputer, website untuk para pembaca dan peneliti), Klip Gambar (Bandung tempo dulu dan foto pendiri/para ketua YDSP serta data rekaman kegiatan yayasan), dan beberapa tema seperti sejarah perkembangan YDSP, budaya tradisional suku Tionghoa, budaya kuliner Tionghoa, perpaduan busana lokal dan Tionghoa, klip sejarah masyarakat Tionghoa awal yang migrasi ke Indonesia, klip keikutsertaan masyarakat Tionghoa yang ikut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda, klip tokoh-tokoh masa kini yang turut berjasa membangun Negara, berkarya di bidang seni, budaya, olahraga, ekonomi, politik, dsb, ratusan klip yang menampilkan klenteng, vihara, tapekong, tragedi 98 serta dokumentasi visual masyarakat Tionghoa - Muslim di Madura, diskusi penggantian nama, dsb.
“Jadi orang Tionghoa itu bukan hanya dijuluki bisa dagang saja, kami juga banyak berkontribusi terhadap Negara Indonesia di berbagai bidang. Diantaranya Pak Surya Wijaya (Lie Siong Sen 1917-1984) pendiri Yayasan Dana Sosial Priangan, beliau juga supplier pakaian keperluan TNI/Polri sampai sekarang, juga perintis diklat Satpam pertama (1980), zaman Kapolri Pak Awaludin Jamin”.
Sekarang kata Johan, Galeri/Museum tambah maju, dipegang Hermansyah anaknya Surya Wijaya.
Dan Museum ini banyak dikunjungi para pejabat daerah dan pusat seperti terlihat dalam foto dokumentasi, ada Kang Emil, Uu Ruzanul Ulum, Ginanjar Kartasasmita, Erik Tohir, petinggi TNI/Polri, dsb.
Berikut Sejarah Hari Raya Peh Cun yang secara lengkap ditulis penulis dan penyair Soeria Disastra
Hari Raya Peh Cun – Hari Raya Penyair*
Bagi masyarakat Tionghoa Indonesia ada 3 hari raya terbesar yang selalu dirayakan, yakni hari raya Tahun Baru Imlek, hari raya Peh Cun dan hari raya Pertengahan Musim Gugur atau Festival Bulan. Tahun ini, hari raya Peh Cun, 5 Mei menurut kalender lunar, jatuh pada 3 Juni 2022. (Dan tahun 2023 jatuh pada 22 Juni.)
Peh Cun itu sebutan dialek Hok Kian (Min Nan) yang berarti lomba perahu. Lomba perahu merupakan salah satu keramaian dalam hari raya Peh Cun. Lambat laun masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia menyebut hari raya itu dengan istilah Peh Cun. Sesungguhnya hari raya Peh Cun dalam bahasa Tionghoa disebut duan wu jie. Peh Cun atau duan wu jie adalah hari raya tradisional Tiongkok yang bermula pada zaman “Peperangan Antar Negara Chun Qiu”, lebih dari 2000 tahun yang lalu. Sebetulnya ada beberapa versi mengenai asal muasal dan legenda yang berkaitan dengan hari raya Peh Cun ini, dan pada umumnya dimaknai penolakan bala dan penyakit. Tapi yang paling popular di antaranya adalah versi yang tercatat dalam karya monumental “Shi Ji” (“Catatan Sejarah Besar”).
Berdasarkan catatan“Shi Ji”, Qü Yuan (dibaca chü yuan) itu pejabat tinggi dibawah raja Chu Huai Wang pada zaman Chun Qiu. Sebagai pejabat yang sekaligus intelektual, Qü Yuan memprakarsai standar rekrutmen berdasarkan kebijakan dan kecakapan, ia pun melaksanakan kebijakan memperkuat ketahanan Negara serta politik merangkul Kerajaan Qi untuk melawan ancaman keamanan dari Kerajaan Qin. Akan tetapi pemikiran dan sarannya itu mendapat perlawanan keras dari bangsawan Zi Lan beserta konco-konconya. Qü Yuan menjadi korban konspirasi dalam istana kerajaan, ia dicopot dan dibuang. Dalam pembuangan, Qü Yuan menciptakan syair-syair yang tak lekang dimakan waktu seperti “Li Sao”, “Tian Wen” dan “Jiu Ge”, menuangkan kecemasan dan kerisauannya akan nasib negara dan rakyatnya.
Pada 278 SM, tentara Qin merebut ibu kota Kerajaan Chu. Qü Yuan amat sedih dan selalu tidak dapat menanggung rasa kehilangan akan tanah tumpah darahnya. Pada 5 Mei (Almenak Lunar), setelah menyelesaikan karya terakhirnya, “Huai Sha”, ia memeluk sebuah batu dan menceburkan diri ke dalam Sungai Mi Luo. Dikisahkan bahwa setelah kematiannya, penduduk Kerajaan Chu sangat berduka, mereka pada datang ke Sungai Mi Luo, berbelasungkawa dan mengenangnya. Para nelayan mengayuh perahu, beramai-ramai mencari jasadnya. Di antara mereka ada yang mencemplungkan makanan buat makhluk-makhluk di sungai agar tidak memangsa tubuh Qü Yuan. Ada pula orang yang mengucurkan arak buat makhluk-makhluk, agar mereka tidak melukai Qü Yuan. Selanjutnya ada pula orang yang membuat nasi yang dibungkus dengan dedaunan dengan ikatan, yang selanjutnya berkembang menjadi bacang yang kita kenal sekarang. Maka lambat laun terbentuklah tradisi makan bacang, mengadakan lomba perahu naga, minum arak dan lain-lain untuk memperingati penyair patriotik Qü Yuan setiap tahunnya sampai zaman kiwari.
Mungkin tidak bisa dipastikan bahwa peristiwa Qü Yuan itu merupakan asal-usul hari raya Peh Cun yang pasti, namun perihal itu Qü Yuan telah menjadi kisah yang paling populer dan yang paling hidup berkaitan dengan hari raya Peh Cun. Karena Qü Yuan adalah penyair patriotik yang ulung, berkepribadian luhur, dipuja oleh kaum terpelajar dan rakyat umum di negeri Tiongkok.
Pada tahun 2009, hari raya Peh Cun (Duan Wu Jie) ditetapkan sebagai hari raya tradisional yang masuk dalam “Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity” oleh Unesco.
Orang-orang Tionghoa diaspora di seluruh dunia, termasuk orang Tionghoa yang telah menjadi penduduk permanen di Indonesia mewarisi tradisi hari raya Peh Cun, dengan segala aspeknya. Bacang sebagai makanan trasisional Tionghoa itu kini malah telah menjadi makanan yang sangat populer di negeri kita. Di kota Bandung, kira-kira sebelum dan sampai tahun 50-an, ketika di daerah barat kota masih ada balong (danau) Situ Aksan, hari raya Peh Cun selalu dirayakan dengan keramaian naik perahu dan lomba perahu di sana. Tetapi sekarang danau itu sudah tiada, sudah ditimbun menjadi perumahan beberapa puluh tahun yang lalu. Keramaian itu telah menjadi kenangan yang indah bagi kaum Tionghoa yang sudah tua-tua. Beruntung saya pernah sekali dua kali mengunjungi keramaian itu. Ketika itu saya masih duduk di bangku SD.
Di samping itu, kaum terpelajar masyarakat Tionghoa Bandung pernah pula mementaskan drama “Qü Yuan” di Gedung Concordia (Gedung Merdeka) pada awal 1950-an. Saya beruntung pernah menyaksikannya dan meninggalkan kenangan yang mengharukan. Dikisahkan dalam drama itu, Qü Yuan dijebak untuk bertemu dengan permaisuri oleh lawan politiknya. Lalu permaisuri pura-pura pingsan, dan secara reflek Qü Yuan memapah dan merangkulnya. Pada saat itu, tiba-tiba sang raja masuk dan menyaksikan adegan itu. Qü Yuan tidak bisa mengelak atas tuduhan bertindak kurang ajar kepada permaisuri. Saya ingat yang berperan sebagai permaisyuri raja Chu Huai Wang adalah guru saya di Sekolah Dasar Guang Hua (Sekolah Tionghoa di Jl.Lembong, sekarang menjadi Hotel besar), namanya Zhong Shourong, dan yang berperan sebagai Qü Yuan adalah seorang pemuda bernama Ding Zicai. Sayang nama-nama yang menjadi sutradara dan peran-peran lainnya, tidak ada dalam memori saya. Di luar cerita, kedua peran utama tersebut di atas selanjutnya memadu cinta dan menjadi sepasang suami-istri.
Bagi yang berminat, ada baiknya saya paparkan serba singkat perihal penyair Qü Yuan yang legendaris itu.
Qü Yuan (340-278 SM) adalah penyair dan negarawan di Kerajaan Chu pada zaman Peperangan Antar Negara zaman Chun Qiu. Dalam karyanya “Li Sau”, sesuai dengan judulnya, sang penyair melepaskan risaunya yang berkepanjangan atas keadaan negeri yang amat merisaukannya. Dengan menggunakan metafor putri ayu dan rerumput semerbak, Qü Yuan memanfaatkan banyak mitologi dan legenda serta imajinasinya yang sangat kaya, terciptalah sebuah syair romantik yang penuh warna, dengan konstruksi yang megah. Dengan puisi lirik bertema politik yang terpanjang dalam sejarah perpuisian klasik Tiongkok ini, Qü Yuan dianggap sebagai peletak batu pertama sastra romantisme di Tiongkok.
“Jiu Ge” (“Sembilan Nyanyian”) merupakan puisi lirik yang indah dan segar, diciptakan dengan bentuk eligi yang berlaku di kalangan penduduk. Isinya ternyata lebih banyak daripada yang disebut judulnya, yakni 11 buah.
“Tian Wen” (“Bertanya Kepada Langit”), sesuai dengan judulnya merupakan 170 lebih pertanyaan-pertanyaan berbentuk larik-larik puisi yang indah dan aneh-aneh. Di antaranya pertanyaan mengenai awalnya semesta, bah besar di jagat raya, realita depan mata, jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan dalam sejarah serta mitologi dan legenda,
Peh Cun, hari raya tradisional Tionghoa di Indonesia, asalnya disebut hari raya Duan Wu Jie, hari raya Duan Yang Jie, hari raya Perahu Naga dan lai-lain. Tetapi ia pun disebut Hari Raya Penyair, untuk mengenang penyair besar Tiongkok, Qü Yuan. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
July 25, 2023
CB Blogger
IndonesiaFestival Peh-cun (Bacang) YDSP : Untuk Kebersamaan dan Mengikis Prasangka Diantara Kita
Posted by
Tatarjabar.com on Tuesday, July 25, 2023
Sebagaimana diketahui, pada Hari Minggu 25 Juni 2023 telah berlangsung Festival Peh-Cun (Bacang) di Graha Surya Priangan, Aula lantai 3, Jl. Nana Rohana No. 37 Kota Bandung.
Acara yang digagas Yayasan Dana Sosial Priangan (YDSP) betajuk “Bacang & Tradisi Peh-Cun: Harmoni Kuliner Tionghoa – Indonesia”, menghadirkan Pembicara Fadli Rahman, S.S., M.A. (dosen sejarah FIB Unpad) dan Sugiri, juga Penulis Buku: Rijsttafel, Jejak Rasa Nusantara. Terlihat juga saat itu Abdul Hamid (dosen Bahasa Indoensia FIB Unpad), Lina Nursanti (wartawati/penulis), Hikmat Gumelar (alumnus Sastra Sunda Unpad) dan beberapa masyarakat Bandung lainnya terlihat berbaur dengan komunitas Tionghoa yang hadir saat itu.
Menurut Sugiri, Festival Tionghoa itu dalam satu tahun ada 6-7 acara. 3 tentang kehidupan 3 tentang kematian dan Festival Bacang ini salah satu tentang kematian yang menurut legendanya berhubungan dengan kematian seorang sastrawan/penyair, negarawan kepercayaan Kaisar, bernama Qü Yuan (dibaca chü yuan) yang difitnah orang-orang istana yang dibayar musuh. Setelah Qu Yuan tersingkirkan, pada tanggal 5 bulan 5 musuh berhasil masuk menyerang dan menduduki ibukota dan kaisar pun kalah. Qu Yuan yang setia pada kaisar dan negaranya sangat sedih dan putus asa, lalu dia nekad mengikatkan dirinya ke batu besar lalu terjun ke Sungai Mi Luo, bunuh diri.
Rakyat yang mengetahui Qu Yuan bunuh diri ramai-ramai mencari jasadnya tapi tidak ketemu. Mereka berpikir supaya jasadnya tidak dimakan ikan - dibuatlah nasi-nasi dibungkus (Bacang) lalu disebar di sungai. Itu jadi tradisi Peh Cun.
“Itu benar tidaknya saya tidak tahu, soalnya Qu Yuan nya sendiri di buku (sejarah) ada tapi makomnya ga ada karena dia terjun ke sungai - kalau ada makomnya ceritanya akan lain lagi. Tapi mungkin boleh dipercaya juga karena di buku sejarah ada,” terang Sugiri.
Sugiri menambahkan, ada beberapa pendapat masyarakat tentang Festival Peh – Cun ini. Ada yang menganggap tradisi aja di tanggal 5 bulan 5, dan ada yang mengingat Qu Yuan juga Bacang nya. “Yang jelas kalau dulu ketika saya kecil cari Bacang susah karena hanya ada ketika di tanggal 5 bulan 5 imlek saja. Tapi sekarang Bacang bisa dibeli setiap hari dan dijual dimana-mana,“ katanya.
Tapi yang utama dari acara ini kata Sugiri yang juga pernah mengajar Sastra Tiongkok di Unpad dan masih menjadi dosen luar biasa (arsitek) di Maranatha, dengan adanya acara terbuka bagi umum seperti ini, masyarakat tidak lagi berpandangan sempit kepada komunitas Tionghoa yang dianggap eksklusif dan tertutup. “Dengan ketertutupan kan tidak ada segi kebaikan, banyaknya salah pengertian. Kami harapkan dengan adanya festival Tionghoa yang terbuka seperti ini masyarakat bisa mengerti latar belakang budaya kita, jadi ada saling pengertian, dengan begitu bisa mengurangi prasangka,” harapnya.
Sementara itu Fadli Rahman usai jadi pembicara mengatakan kepada wartawan, Bacang yang identik dengan kuliner kaum peranakan Tionghoa di Indonesia dalam proses historisnya ada akulturasi-akultiurasi yang kemudian membuat makanan ini menjadi sangat diterima, diataptasi masyarakat lokal.
“Jadi ini salah satu wujud kontribusi kaum pernanakan Tionghoa dalam khasanah kulinernya seperti halnya produk-produk kuliner peranakan Tionghoa lainnya yang bisa mengalami proses lokalisasi hingga akhirnya diterima setelah melalui proses modifikasi. Misalnya bacang kalau di negara asalnya China tidak menggunakan kecap manis, tapi dalam khasanah kuliner Indonesia ditambahkan kecap karena orang Indonesia menyukai cita rasa manis. Begitu juga untuk membuatnya wangi ditambahkan bawang merah. Ini yang membuat kenapa Bacang menjadi Simbol/simpul keharmonian budaya Tionghoa dengan Indonesia,” terangnya.
Tentang kehalalan Bacang, Kata Fadli karena ada adaptasi kultural, ada akulturasi dengan budaya lokal di Indonesia yang mayoritas Muslim ini membuat isian Bacang menjadi berubah dalam pengolahnnya yang semula di dalam pandanagan orang-orang Islam Bacang sebagai makanan yang tidak layak dikonsumsi karena keharamannya, tapi dengan adanya proses akulturasi adaptasi dengan kultural masyarakat setempat yang masyoritas Muslim ini membuat Bacang berubah, ini juga menjadi segmen para produsen Bacang tidak lagi menggunakan daging babi tapi daging ayam atau daging sapi cingcang yang memang sangat disukai masyarakat kita sebagai menu sarapan pagi.
Jadi kita tidak bisa memungkiri keberhasilan masyarakat Tionghoa dalam beradaptasi dengan budaya lokal/Jabar dan wilayah lainnya dan itu satu hal yang bisa mengubah persepsi-persepsi negatif yang ada dalam sejarah dan tetap hidup tentang komunitas Tionghoa.
Jadi kata Fadli, yang perlu direfleksikan dari Peh Cun atau Festival Bacang ini adalah suatu ruang bagi masyarakat keturunan Tionghoa maupun bagi masyarakat warga kota Bandung untuk melihat bagaimana pertemuan budaya yang nyata dari sejarah hubungan antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat lokal di kota Bandung.
“Jadi ini menjadi suatu momentum yang bisa mengikis sekat-sekat pembatas antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat lokal-Sunda/Bandung. Acara seperti hari ini seperti mengingatkan kembali kepada sejarah yang sudah hidup puluhan tahun lalu,“ pungkas dosen Departemen Sejarah dan Filologi FIB Unpad.
Usai acara wartawan juga diajak Johan melihat-lihat Museum Kebudayaan Tionghoa di Lt. 2 Gedung Graha Surya Priangan.
Galeri Budaya ini terdiri dari tiga bagian: Ruang Perpustakaan (ruang komputer, website untuk para pembaca dan peneliti), Klip Gambar (Bandung tempo dulu dan foto pendiri/para ketua YDSP serta data rekaman kegiatan yayasan), dan beberapa tema seperti sejarah perkembangan YDSP, budaya tradisional suku Tionghoa, budaya kuliner Tionghoa, perpaduan busana lokal dan Tionghoa, klip sejarah masyarakat Tionghoa awal yang migrasi ke Indonesia, klip keikutsertaan masyarakat Tionghoa yang ikut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda, klip tokoh-tokoh masa kini yang turut berjasa membangun Negara, berkarya di bidang seni, budaya, olahraga, ekonomi, politik, dsb, ratusan klip yang menampilkan klenteng, vihara, tapekong, tragedi 98 serta dokumentasi visual masyarakat Tionghoa - Muslim di Madura, diskusi penggantian nama, dsb.
“Jadi orang Tionghoa itu bukan hanya dijuluki bisa dagang saja, kami juga banyak berkontribusi terhadap Negara Indonesia di berbagai bidang. Diantaranya Pak Surya Wijaya (Lie Siong Sen 1917-1984) pendiri Yayasan Dana Sosial Priangan, beliau juga supplier pakaian keperluan TNI/Polri sampai sekarang, juga perintis diklat Satpam pertama (1980), zaman Kapolri Pak Awaludin Jamin”.
Sekarang kata Johan, Galeri/Museum tambah maju, dipegang Hermansyah anaknya Surya Wijaya.
Dan Museum ini banyak dikunjungi para pejabat daerah dan pusat seperti terlihat dalam foto dokumentasi, ada Kang Emil, Uu Ruzanul Ulum, Ginanjar Kartasasmita, Erik Tohir, petinggi TNI/Polri, dsb.
Berikut Sejarah Hari Raya Peh Cun yang secara lengkap ditulis penulis dan penyair Soeria Disastra
Hari Raya Peh Cun – Hari Raya Penyair*
Bagi masyarakat Tionghoa Indonesia ada 3 hari raya terbesar yang selalu dirayakan, yakni hari raya Tahun Baru Imlek, hari raya Peh Cun dan hari raya Pertengahan Musim Gugur atau Festival Bulan. Tahun ini, hari raya Peh Cun, 5 Mei menurut kalender lunar, jatuh pada 3 Juni 2022. (Dan tahun 2023 jatuh pada 22 Juni.)
Peh Cun itu sebutan dialek Hok Kian (Min Nan) yang berarti lomba perahu. Lomba perahu merupakan salah satu keramaian dalam hari raya Peh Cun. Lambat laun masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia menyebut hari raya itu dengan istilah Peh Cun. Sesungguhnya hari raya Peh Cun dalam bahasa Tionghoa disebut duan wu jie. Peh Cun atau duan wu jie adalah hari raya tradisional Tiongkok yang bermula pada zaman “Peperangan Antar Negara Chun Qiu”, lebih dari 2000 tahun yang lalu. Sebetulnya ada beberapa versi mengenai asal muasal dan legenda yang berkaitan dengan hari raya Peh Cun ini, dan pada umumnya dimaknai penolakan bala dan penyakit. Tapi yang paling popular di antaranya adalah versi yang tercatat dalam karya monumental “Shi Ji” (“Catatan Sejarah Besar”).
Berdasarkan catatan“Shi Ji”, Qü Yuan (dibaca chü yuan) itu pejabat tinggi dibawah raja Chu Huai Wang pada zaman Chun Qiu. Sebagai pejabat yang sekaligus intelektual, Qü Yuan memprakarsai standar rekrutmen berdasarkan kebijakan dan kecakapan, ia pun melaksanakan kebijakan memperkuat ketahanan Negara serta politik merangkul Kerajaan Qi untuk melawan ancaman keamanan dari Kerajaan Qin. Akan tetapi pemikiran dan sarannya itu mendapat perlawanan keras dari bangsawan Zi Lan beserta konco-konconya. Qü Yuan menjadi korban konspirasi dalam istana kerajaan, ia dicopot dan dibuang. Dalam pembuangan, Qü Yuan menciptakan syair-syair yang tak lekang dimakan waktu seperti “Li Sao”, “Tian Wen” dan “Jiu Ge”, menuangkan kecemasan dan kerisauannya akan nasib negara dan rakyatnya.
Pada 278 SM, tentara Qin merebut ibu kota Kerajaan Chu. Qü Yuan amat sedih dan selalu tidak dapat menanggung rasa kehilangan akan tanah tumpah darahnya. Pada 5 Mei (Almenak Lunar), setelah menyelesaikan karya terakhirnya, “Huai Sha”, ia memeluk sebuah batu dan menceburkan diri ke dalam Sungai Mi Luo. Dikisahkan bahwa setelah kematiannya, penduduk Kerajaan Chu sangat berduka, mereka pada datang ke Sungai Mi Luo, berbelasungkawa dan mengenangnya. Para nelayan mengayuh perahu, beramai-ramai mencari jasadnya. Di antara mereka ada yang mencemplungkan makanan buat makhluk-makhluk di sungai agar tidak memangsa tubuh Qü Yuan. Ada pula orang yang mengucurkan arak buat makhluk-makhluk, agar mereka tidak melukai Qü Yuan. Selanjutnya ada pula orang yang membuat nasi yang dibungkus dengan dedaunan dengan ikatan, yang selanjutnya berkembang menjadi bacang yang kita kenal sekarang. Maka lambat laun terbentuklah tradisi makan bacang, mengadakan lomba perahu naga, minum arak dan lain-lain untuk memperingati penyair patriotik Qü Yuan setiap tahunnya sampai zaman kiwari.
Mungkin tidak bisa dipastikan bahwa peristiwa Qü Yuan itu merupakan asal-usul hari raya Peh Cun yang pasti, namun perihal itu Qü Yuan telah menjadi kisah yang paling populer dan yang paling hidup berkaitan dengan hari raya Peh Cun. Karena Qü Yuan adalah penyair patriotik yang ulung, berkepribadian luhur, dipuja oleh kaum terpelajar dan rakyat umum di negeri Tiongkok.
Pada tahun 2009, hari raya Peh Cun (Duan Wu Jie) ditetapkan sebagai hari raya tradisional yang masuk dalam “Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity” oleh Unesco.
Orang-orang Tionghoa diaspora di seluruh dunia, termasuk orang Tionghoa yang telah menjadi penduduk permanen di Indonesia mewarisi tradisi hari raya Peh Cun, dengan segala aspeknya. Bacang sebagai makanan trasisional Tionghoa itu kini malah telah menjadi makanan yang sangat populer di negeri kita. Di kota Bandung, kira-kira sebelum dan sampai tahun 50-an, ketika di daerah barat kota masih ada balong (danau) Situ Aksan, hari raya Peh Cun selalu dirayakan dengan keramaian naik perahu dan lomba perahu di sana. Tetapi sekarang danau itu sudah tiada, sudah ditimbun menjadi perumahan beberapa puluh tahun yang lalu. Keramaian itu telah menjadi kenangan yang indah bagi kaum Tionghoa yang sudah tua-tua. Beruntung saya pernah sekali dua kali mengunjungi keramaian itu. Ketika itu saya masih duduk di bangku SD.
Di samping itu, kaum terpelajar masyarakat Tionghoa Bandung pernah pula mementaskan drama “Qü Yuan” di Gedung Concordia (Gedung Merdeka) pada awal 1950-an. Saya beruntung pernah menyaksikannya dan meninggalkan kenangan yang mengharukan. Dikisahkan dalam drama itu, Qü Yuan dijebak untuk bertemu dengan permaisuri oleh lawan politiknya. Lalu permaisuri pura-pura pingsan, dan secara reflek Qü Yuan memapah dan merangkulnya. Pada saat itu, tiba-tiba sang raja masuk dan menyaksikan adegan itu. Qü Yuan tidak bisa mengelak atas tuduhan bertindak kurang ajar kepada permaisuri. Saya ingat yang berperan sebagai permaisyuri raja Chu Huai Wang adalah guru saya di Sekolah Dasar Guang Hua (Sekolah Tionghoa di Jl.Lembong, sekarang menjadi Hotel besar), namanya Zhong Shourong, dan yang berperan sebagai Qü Yuan adalah seorang pemuda bernama Ding Zicai. Sayang nama-nama yang menjadi sutradara dan peran-peran lainnya, tidak ada dalam memori saya. Di luar cerita, kedua peran utama tersebut di atas selanjutnya memadu cinta dan menjadi sepasang suami-istri.
Bagi yang berminat, ada baiknya saya paparkan serba singkat perihal penyair Qü Yuan yang legendaris itu.
Qü Yuan (340-278 SM) adalah penyair dan negarawan di Kerajaan Chu pada zaman Peperangan Antar Negara zaman Chun Qiu. Dalam karyanya “Li Sau”, sesuai dengan judulnya, sang penyair melepaskan risaunya yang berkepanjangan atas keadaan negeri yang amat merisaukannya. Dengan menggunakan metafor putri ayu dan rerumput semerbak, Qü Yuan memanfaatkan banyak mitologi dan legenda serta imajinasinya yang sangat kaya, terciptalah sebuah syair romantik yang penuh warna, dengan konstruksi yang megah. Dengan puisi lirik bertema politik yang terpanjang dalam sejarah perpuisian klasik Tiongkok ini, Qü Yuan dianggap sebagai peletak batu pertama sastra romantisme di Tiongkok.
“Jiu Ge” (“Sembilan Nyanyian”) merupakan puisi lirik yang indah dan segar, diciptakan dengan bentuk eligi yang berlaku di kalangan penduduk. Isinya ternyata lebih banyak daripada yang disebut judulnya, yakni 11 buah.
“Tian Wen” (“Bertanya Kepada Langit”), sesuai dengan judulnya merupakan 170 lebih pertanyaan-pertanyaan berbentuk larik-larik puisi yang indah dan aneh-aneh. Di antaranya pertanyaan mengenai awalnya semesta, bah besar di jagat raya, realita depan mata, jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan dalam sejarah serta mitologi dan legenda,
Peh Cun, hari raya tradisional Tionghoa di Indonesia, asalnya disebut hari raya Duan Wu Jie, hari raya Duan Yang Jie, hari raya Perahu Naga dan lai-lain. Tetapi ia pun disebut Hari Raya Penyair, untuk mengenang penyair besar Tiongkok, Qü Yuan. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment