Home
» Seni Budaya
» Pameran Tunggal “Tubuh Tubuh Liminal Para Wangsa” Karya Supriatna : Rasa Kagum Pelukis Akan Agungnya Budaya Leluhur Sunda
Wednesday, September 7, 2022
![]() |
Supriatna (Prie), diantara karyanya (Foto Asep GP) |
Sepertinya Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISBI Bandung, Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn, pengkuh, konsisten terhadap visi misi yang diemban fakultasnya FSRD, yang berpijak pada seni tradisi. Bukan hanya anjuran wajib bagi para mahasiswa, tapi Dekannya sendiri turut andil memberi contoh menjadikan seni tradisi sebagai pijakan untuk menelaah, mengorek hal yang berkaitan dengan kekinian. Seperti seni lukis tetap mengacu pada traidisi walaupun teknik, teori dan sebagainya, mengambil dari Barat. Hal ini sesuai dengan peran ISBI Bandung sebagai perguruan tinggi seni di Jawa Barat, yang bertugas menjaga dan melestarikan seni-budaya Sunda.
Terbukti pada Pameran Tunggalnya yang digelar di Thee Huis Gallery, Taman Budaya Jawa Barat, Jl. Bukit Dago Utara No. 53 A Kota Bandung ( 5-11 /9/2022). Prie, demikian panggilan akrabnya, memamerkan “Tubuh Tubuh Liminal Para Wangsa”.
Menurut Prie, pameran ini dilatarbelakangi riset kebudayaan tentang makna ekspresi simbolik para penari Tarawangsa (Sumedang – Jawa Barat). Bagaimana suasana yang ditangkap di lapangan/lokasi riset begitu khidmat dan penuh rasa hormat pada seni buhun Sunda tersebut. Aura para penari (Para Wangsa, istilah Prie) melalui gerakan-gerakan intuitif – harmoni yang dialuni musik gesek Tarawangsa dan petikan kecapi (Jentreng), seketika menghentak jiwa rasa haru, serta tersadar betapa agung seni budaya leluhur ini.
![]() |
Dibuka oleh Prof. Arthur S. Nalan (Foto Asep GP) |
“Penyatuan jiwa penari pada alam duniawi dan surgawi, menjadikan dualisme yang sangat inspiratif, dan mendorong hati untuk mereinterpretasi melalui ekspresi visual (lukisan). Karya-karya yang dipamerkan ini adalah upaya menyampaikan rasa kagum saya, serta kesan yang paling mendalam atas pengalaman budaya yang diamati,“ kata Prie.
Nilai-nilai apa sesungguhnya yang memantik Prie menaruh perhatian pada seni Tarawangsa sebagai sumber gagasan penciptaan seni lukisnya? Pencarian “kebaruan” semacam apa yang sesungguhnya yang hendak dihadirkannya melalui representasi tubuh-tubuh para penari Tarawangsa? Mungkinkah gambaran tubuh-tubuh liminal para wangsa dalam lukisannya berkelindan dengan representasi mengenai hal yang justru tak hadir secara visual? Sederet pertanyaan lanjutan tentu bisa terus hadir dalam ruang apresiasi dan pemaknaan. Istilah inilah yang jadi bagian menarik dan berharga dalam pameran tunggal karya-karya seni lukis yang ditampilkannya di thee huis gallery. Penghayatan dan pengalaman kritis atas subjek matter yang dielaborasinya sangat mungkin mengantar kita pada ingatan atas pengalaman ketubuhan (embodiment) sebagaimana yang diuraikan oleh Ponty (1974) dalam Phenomenology Perception menegaskan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dari pengalaman ketubuhannya karena tubuh adalah media paling efektif untuk meresepsi sekaligus merasakan hadirnya sensasi dalam memahami dunia.
Fenomena tubuh para penari terutama dalam fase “trance” agaknya menjadi aspek yang menjadi landasan konsep representasi lukisan-lukisan Prie. Tubuh-tubuh para penari Tarawangsa yang dimaknai selaku tubuh liminal tersebut merupakan kata kunci dalam memasuki makna representasi yang tercermin dalam karya-karya yang digubahnya. Liminalitas merupakan istilah antropologis yang digunakan untuk menggambarkan fase transisi yang dialami seseorang.menjadi sesuatu yang baru.
“Kesadaran untuk menyerap nilai-nilai lokal (akar budaya) selaku landasan praktik dan manifestasi artistiknya jelas merupakan upaya pelebaran horizon yang membuka ruang bagi tampilnya pluralitas nilai-nilai tradisi di satu sisi sekaligus mencerminkan pula keinginan melepaskan diri dari cengkraman kemutlakan nilai yang bersumber dari ideologi estetik modernisme. Lebih jauh keputusan dirinya untuk menghilangkan jarak, mengaitkan dirinya kembali pada kehidupan tradisi dan arus kehidupan masa kini, menarik dipahami dalam koridor bangkitnya kesadaran atas praktik figurative ekpresif, selain memperlihatkan posisi dirinya sebagai seniman yang terus mencari jalan pembebasan dalam mengungkapkan nilai-nilai ekpresinya,“ demikia kata Kurator pameran, Diyanto.
![]() |
Menyimak apresiasi Diyanto, Sang Kurator (Foto Asep GP) |
Sementara Prof. Arthur Supardan Nalan yang hadir membuka pameran tersebut mengatakan, Menikmati lukisan “Tubuh-Tubuh Liminal Para Waangsa” karya Prie. “Membuat saya ingat buku Michael Krausz (2007): Interpretation and Transformation: Eksploration in art and self, terutama dalam chapter : art and self-transformation; creating and becoming (2007:97). Bagian yang menunjukan “kreasi dan menjadi” sebagaimana yang dilakukan pelukis Prie dalam “menjelajahi” perjalanan “memori budayanya” ke dunia Kasumedangan sebagai ruang kerja dan penciptaan seni (workspace and workart). Dimana sejak belia mengenal Kuda Renggong dan Tarawangsa (Jentreng),“ katanya.
Kuda Renggong yang telah ditulis Prie sebagai Disertasi S3 Komunikasi Unpad dalam konteks komunikasi visual telah juga diinterpretasikan dan ditransformasikan ke dalam lukisan-lukisannya yang memikat. Memori budayanya terus berjalan, kemudian memilih Tarawangsa, sebuah upacara menghormati padi (sang Sri Pohaci Rubiyang Jati), di mana pare (bahasa Sunda : pahare-pwah are, artinya inti kehidupan perempuan berkonotasi kesuburan). Karena itu para penari tua dalam upacara tersebut hanya terdiri dari tubuh-tubuh tua yang sudah menopause (Bahasa Sunda: balangantrang), yang berfungsi sebagai tubuh-tubuh shamanik (medium menuju sublimasi rasa dan jiwa), apalagi dengan iringan musik Jentreng (onomatopea dari bunyinya) yang monoton, menjadi lengkap penuh pesona.
![]() |
Prof. Nur Hisam Ibrahim, Seni tradisi di Bandung lebih banyak dan terpelihara (Foto Asep GP) |
Supriatna (Prie) mengabadikan tradisi yang hidup (living tradition) dalam dunia sakral juga propan dari Tarawangsa Rancakalong Sumedang. Interpretasi dan transformasi sebagaimana dituliskan Krausz itu menunjukan kerja kreatifnya. Sejumlah lukisan yang diciptakannya penuh pesona warna, meskipun bukan realisme tetapi mengambil “kesan-kesan visual yang substil”, dimana pemilihan warna dengan kontur yang masih nampak. Bagi yang tidak mengenal Upacara Tarawangsa di Rancakalong Sumedang agak sulit menyelami jiwa tubuh-tubuh para wangsa karya Prie ini. Tetapi bagi yang mengenali Tarawangsa sebagai inspirasinya, secara mudah merasakan getaran dari lukisan tersebut.
“Hasil Mengolah warna, menyelami jiwa Tubuh-tubuh Shamanik lukisan karya Prie, di mata saya sudah menunjukan memori budayanya dalam konteks “kreasi dan menjadi”, demikian kata Arthur yang juga menjabat Warek 1 (Bidang Akademik dan kemahasiswaan) ISBI Bandung.
Sementara itu Timbalan Rektor (Wakil Rektor) Penyelidikan, Jaringan Industri, Masyarakat dan Alumni UiTM (Univesrity Teknologi MARA) Malaysia Assoc Prof. Dr. Nur Hisam Ibrahim, yang hadir dalam pameran tersebut dengan Profesor Madya Dr. Muhamad Abdul Aziz Ab Gani serta beberapa orang lainnya dari Senerai Delegasi Asia International Community Of Art & Design (AICAD), UiTM Perak Branch, Malaysia, mengatakan, di Malaysia untuk kesenian-kesenian yang melibatkan tarian-tarian (tradisi) ini ada tapi tidak seekspresif yang ada di Bandung. “Saya rasa kemungkinan di Bandung ini tradisinya lebih banyak dan terpelihara. kalau di Malaysia rata-rata lebih mengskpresikan karya-karyanya ke kontemporer. Ini lebih menarik, ini hasil yang amat baik daripada Pak Supri untuk mengangkat tradisi yang diterjemahkannya dalam bentuk lukisan, warna-warnanya juga menarik konten/isinya yang mengagambarkan tentang kebudayaan (tarawangsa) itu sendiri dan tentang perasaan penari itu apabila sedang menari apa yang mereka hadapi, yang mereka lakukan, berdasarkan latihan-latihan sebelum ini dan juga hasil daripada persembahan-persembahan yang ditunjukan kepada penonton ataupun khalayak," demikian kata wakil rektor yang bersuara merdu ini, terlihat dia kaul menyanyikan duah buah lagu dalam acara ramah tamah.
Selain Arthur dan Nur Hisam Ibrahim, hadir juga dalam pameran tersebut Warek 3 (Bidang Perencanaan, Sistem Informasi, dan Kerja sama) ISBI Bandung, Dr. Suhendi Afryanto, Seniman Senior Dede Ardikarna, Ketua Dewan Kebudayaan Kota Bandung Rahmat Zabaril, Zaini Alif, para mahasiswa FSRD ISBI, serta publik seni Bandung lainnya. Acara pameran juga dimeriahkan dengan penampilan Cinta dan Ratu.
***
Tarawangsa, kata sang kurator, adalah bentuk kesenian yang erat kaitannya dengan ritual tradisi agraris di tanah Sunda. Secara etimologis kata Tarawangsa berasal dari Ta-Ra - Wangsa: Ta - akronim Meta yang berarti “pergerakan”. Ra - analog dengan makna “api yang agung” (matahari) dalam bahas Mesir, dan Wangsa – sinonim dari kata “bangsa”. Yaitu manusia yang menempati suatu kawasan dengan aturan yang mengikat. Dalam hal ini Tarawangsa dapat ditafsirkan, selaku kisah kehidupan manusia yang meyakini matahari selaku sentral kehidupan atau dalam konteks lebih spesifik, kesenian tradisi yang mengisyaratkan penghargaan atas tanaman padi yang tumbuhnya sangat tergantung pada matahari. Dengan kata lain, Tarawangsa adalah simbolisasi rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, sebagaimana tersirat pula dalam istilah bahasa Sunda, “Narawang ka nu Kawasa”.
Kata Tarawangsa termuat dalam kitab-kitab kuna abad ke-10 yang ditemukan di Bali. Dalam literatur tersebut, tarawangsa merujuk pada kata ‘trewasa’ dan ‘trewangsah’ yang mengarah pada jenis kesenian yang tumbuh pada masa bersamaan kala itu di Bali dan tatar Sunda. Sumber lain menyebutkan Tarawangsa juga ditemukan dalam kitab kuna “Sewaka Darma” yang merujuk pada alat musik gesek, perkembangan dari rebab (abad ke-15). Alat musim Tarawangsa yang terbuat dari kayu berleher panjang dengan jumlah dawai antara 2 sampai 3 utas itu dimaikan bersama Jentreng dengan cara dipetik/dijentik.
Keberadaan kesenian Tarawangsa hanya ditemukan di beberapa daerah tetentu di Jawa Barat, yaitu di Rancakalong Sumedang, Cibolang, Cipatujah Tasikmalaya Selatan, Banjaran Bandung dan Kanekes (Baduy) Banten Selatan. Tarawangsa adalah seni pusaka yang sangat dihormati di Desa Rancakalong Sumedang, sehingga dijuluki seni ormatan, seni ritual yang biasanya dilaksanakan mulai pukul 20.00 hingga pukul 04.00 dini hari. Selain sarat akan nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan penghormatan pada Nyi Pohaci (Dewi Padi), Tarawangsa juga memiliki keunikan tersendiri dan memiliki unsur mistik. Hal ini terlihat dari para penarinya yang pada fase tertentu akan menari dalam keadaan ‘trance’, suatu kondisi yang dialami tubuh saat memasuki realitas ambang (realitas antara dunia pertunjukan dan yang imanen). Dalam perkembangannya, Tarawangsa selaku seni pertunjukan selain dipentaskan pada upacara khusus, “Ngalaksa” yang dilaksanakan selama satu pekan berturut-turut dan “Bubur Suro”, dipentaskan pula di berbagai perayaan lain, seperti khitanan, syukuran rumah baru, hingga peringatan hari (nasional) Kemerdekaan/Agustusan. (Asep GP)***
Kata Tarawangsa termuat dalam kitab-kitab kuna abad ke-10 yang ditemukan di Bali. Dalam literatur tersebut, tarawangsa merujuk pada kata ‘trewasa’ dan ‘trewangsah’ yang mengarah pada jenis kesenian yang tumbuh pada masa bersamaan kala itu di Bali dan tatar Sunda. Sumber lain menyebutkan Tarawangsa juga ditemukan dalam kitab kuna “Sewaka Darma” yang merujuk pada alat musik gesek, perkembangan dari rebab (abad ke-15). Alat musim Tarawangsa yang terbuat dari kayu berleher panjang dengan jumlah dawai antara 2 sampai 3 utas itu dimaikan bersama Jentreng dengan cara dipetik/dijentik.
Keberadaan kesenian Tarawangsa hanya ditemukan di beberapa daerah tetentu di Jawa Barat, yaitu di Rancakalong Sumedang, Cibolang, Cipatujah Tasikmalaya Selatan, Banjaran Bandung dan Kanekes (Baduy) Banten Selatan. Tarawangsa adalah seni pusaka yang sangat dihormati di Desa Rancakalong Sumedang, sehingga dijuluki seni ormatan, seni ritual yang biasanya dilaksanakan mulai pukul 20.00 hingga pukul 04.00 dini hari. Selain sarat akan nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan penghormatan pada Nyi Pohaci (Dewi Padi), Tarawangsa juga memiliki keunikan tersendiri dan memiliki unsur mistik. Hal ini terlihat dari para penarinya yang pada fase tertentu akan menari dalam keadaan ‘trance’, suatu kondisi yang dialami tubuh saat memasuki realitas ambang (realitas antara dunia pertunjukan dan yang imanen). Dalam perkembangannya, Tarawangsa selaku seni pertunjukan selain dipentaskan pada upacara khusus, “Ngalaksa” yang dilaksanakan selama satu pekan berturut-turut dan “Bubur Suro”, dipentaskan pula di berbagai perayaan lain, seperti khitanan, syukuran rumah baru, hingga peringatan hari (nasional) Kemerdekaan/Agustusan. (Asep GP)***
Pameran Tunggal “Tubuh Tubuh Liminal Para Wangsa” Karya Supriatna : Rasa Kagum Pelukis Akan Agungnya Budaya Leluhur Sunda
Posted by
Tatarjabar.com on Wednesday, September 7, 2022
![]() |
Supriatna (Prie), diantara karyanya (Foto Asep GP) |
Sepertinya Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISBI Bandung, Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn, pengkuh, konsisten terhadap visi misi yang diemban fakultasnya FSRD, yang berpijak pada seni tradisi. Bukan hanya anjuran wajib bagi para mahasiswa, tapi Dekannya sendiri turut andil memberi contoh menjadikan seni tradisi sebagai pijakan untuk menelaah, mengorek hal yang berkaitan dengan kekinian. Seperti seni lukis tetap mengacu pada traidisi walaupun teknik, teori dan sebagainya, mengambil dari Barat. Hal ini sesuai dengan peran ISBI Bandung sebagai perguruan tinggi seni di Jawa Barat, yang bertugas menjaga dan melestarikan seni-budaya Sunda.
Terbukti pada Pameran Tunggalnya yang digelar di Thee Huis Gallery, Taman Budaya Jawa Barat, Jl. Bukit Dago Utara No. 53 A Kota Bandung ( 5-11 /9/2022). Prie, demikian panggilan akrabnya, memamerkan “Tubuh Tubuh Liminal Para Wangsa”.
Menurut Prie, pameran ini dilatarbelakangi riset kebudayaan tentang makna ekspresi simbolik para penari Tarawangsa (Sumedang – Jawa Barat). Bagaimana suasana yang ditangkap di lapangan/lokasi riset begitu khidmat dan penuh rasa hormat pada seni buhun Sunda tersebut. Aura para penari (Para Wangsa, istilah Prie) melalui gerakan-gerakan intuitif – harmoni yang dialuni musik gesek Tarawangsa dan petikan kecapi (Jentreng), seketika menghentak jiwa rasa haru, serta tersadar betapa agung seni budaya leluhur ini.
![]() |
Dibuka oleh Prof. Arthur S. Nalan (Foto Asep GP) |
“Penyatuan jiwa penari pada alam duniawi dan surgawi, menjadikan dualisme yang sangat inspiratif, dan mendorong hati untuk mereinterpretasi melalui ekspresi visual (lukisan). Karya-karya yang dipamerkan ini adalah upaya menyampaikan rasa kagum saya, serta kesan yang paling mendalam atas pengalaman budaya yang diamati,“ kata Prie.
Nilai-nilai apa sesungguhnya yang memantik Prie menaruh perhatian pada seni Tarawangsa sebagai sumber gagasan penciptaan seni lukisnya? Pencarian “kebaruan” semacam apa yang sesungguhnya yang hendak dihadirkannya melalui representasi tubuh-tubuh para penari Tarawangsa? Mungkinkah gambaran tubuh-tubuh liminal para wangsa dalam lukisannya berkelindan dengan representasi mengenai hal yang justru tak hadir secara visual? Sederet pertanyaan lanjutan tentu bisa terus hadir dalam ruang apresiasi dan pemaknaan. Istilah inilah yang jadi bagian menarik dan berharga dalam pameran tunggal karya-karya seni lukis yang ditampilkannya di thee huis gallery. Penghayatan dan pengalaman kritis atas subjek matter yang dielaborasinya sangat mungkin mengantar kita pada ingatan atas pengalaman ketubuhan (embodiment) sebagaimana yang diuraikan oleh Ponty (1974) dalam Phenomenology Perception menegaskan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dari pengalaman ketubuhannya karena tubuh adalah media paling efektif untuk meresepsi sekaligus merasakan hadirnya sensasi dalam memahami dunia.
Fenomena tubuh para penari terutama dalam fase “trance” agaknya menjadi aspek yang menjadi landasan konsep representasi lukisan-lukisan Prie. Tubuh-tubuh para penari Tarawangsa yang dimaknai selaku tubuh liminal tersebut merupakan kata kunci dalam memasuki makna representasi yang tercermin dalam karya-karya yang digubahnya. Liminalitas merupakan istilah antropologis yang digunakan untuk menggambarkan fase transisi yang dialami seseorang.menjadi sesuatu yang baru.
“Kesadaran untuk menyerap nilai-nilai lokal (akar budaya) selaku landasan praktik dan manifestasi artistiknya jelas merupakan upaya pelebaran horizon yang membuka ruang bagi tampilnya pluralitas nilai-nilai tradisi di satu sisi sekaligus mencerminkan pula keinginan melepaskan diri dari cengkraman kemutlakan nilai yang bersumber dari ideologi estetik modernisme. Lebih jauh keputusan dirinya untuk menghilangkan jarak, mengaitkan dirinya kembali pada kehidupan tradisi dan arus kehidupan masa kini, menarik dipahami dalam koridor bangkitnya kesadaran atas praktik figurative ekpresif, selain memperlihatkan posisi dirinya sebagai seniman yang terus mencari jalan pembebasan dalam mengungkapkan nilai-nilai ekpresinya,“ demikia kata Kurator pameran, Diyanto.
![]() |
Menyimak apresiasi Diyanto, Sang Kurator (Foto Asep GP) |
Sementara Prof. Arthur Supardan Nalan yang hadir membuka pameran tersebut mengatakan, Menikmati lukisan “Tubuh-Tubuh Liminal Para Waangsa” karya Prie. “Membuat saya ingat buku Michael Krausz (2007): Interpretation and Transformation: Eksploration in art and self, terutama dalam chapter : art and self-transformation; creating and becoming (2007:97). Bagian yang menunjukan “kreasi dan menjadi” sebagaimana yang dilakukan pelukis Prie dalam “menjelajahi” perjalanan “memori budayanya” ke dunia Kasumedangan sebagai ruang kerja dan penciptaan seni (workspace and workart). Dimana sejak belia mengenal Kuda Renggong dan Tarawangsa (Jentreng),“ katanya.
Kuda Renggong yang telah ditulis Prie sebagai Disertasi S3 Komunikasi Unpad dalam konteks komunikasi visual telah juga diinterpretasikan dan ditransformasikan ke dalam lukisan-lukisannya yang memikat. Memori budayanya terus berjalan, kemudian memilih Tarawangsa, sebuah upacara menghormati padi (sang Sri Pohaci Rubiyang Jati), di mana pare (bahasa Sunda : pahare-pwah are, artinya inti kehidupan perempuan berkonotasi kesuburan). Karena itu para penari tua dalam upacara tersebut hanya terdiri dari tubuh-tubuh tua yang sudah menopause (Bahasa Sunda: balangantrang), yang berfungsi sebagai tubuh-tubuh shamanik (medium menuju sublimasi rasa dan jiwa), apalagi dengan iringan musik Jentreng (onomatopea dari bunyinya) yang monoton, menjadi lengkap penuh pesona.
![]() |
Prof. Nur Hisam Ibrahim, Seni tradisi di Bandung lebih banyak dan terpelihara (Foto Asep GP) |
Supriatna (Prie) mengabadikan tradisi yang hidup (living tradition) dalam dunia sakral juga propan dari Tarawangsa Rancakalong Sumedang. Interpretasi dan transformasi sebagaimana dituliskan Krausz itu menunjukan kerja kreatifnya. Sejumlah lukisan yang diciptakannya penuh pesona warna, meskipun bukan realisme tetapi mengambil “kesan-kesan visual yang substil”, dimana pemilihan warna dengan kontur yang masih nampak. Bagi yang tidak mengenal Upacara Tarawangsa di Rancakalong Sumedang agak sulit menyelami jiwa tubuh-tubuh para wangsa karya Prie ini. Tetapi bagi yang mengenali Tarawangsa sebagai inspirasinya, secara mudah merasakan getaran dari lukisan tersebut.
“Hasil Mengolah warna, menyelami jiwa Tubuh-tubuh Shamanik lukisan karya Prie, di mata saya sudah menunjukan memori budayanya dalam konteks “kreasi dan menjadi”, demikian kata Arthur yang juga menjabat Warek 1 (Bidang Akademik dan kemahasiswaan) ISBI Bandung.
Sementara itu Timbalan Rektor (Wakil Rektor) Penyelidikan, Jaringan Industri, Masyarakat dan Alumni UiTM (Univesrity Teknologi MARA) Malaysia Assoc Prof. Dr. Nur Hisam Ibrahim, yang hadir dalam pameran tersebut dengan Profesor Madya Dr. Muhamad Abdul Aziz Ab Gani serta beberapa orang lainnya dari Senerai Delegasi Asia International Community Of Art & Design (AICAD), UiTM Perak Branch, Malaysia, mengatakan, di Malaysia untuk kesenian-kesenian yang melibatkan tarian-tarian (tradisi) ini ada tapi tidak seekspresif yang ada di Bandung. “Saya rasa kemungkinan di Bandung ini tradisinya lebih banyak dan terpelihara. kalau di Malaysia rata-rata lebih mengskpresikan karya-karyanya ke kontemporer. Ini lebih menarik, ini hasil yang amat baik daripada Pak Supri untuk mengangkat tradisi yang diterjemahkannya dalam bentuk lukisan, warna-warnanya juga menarik konten/isinya yang mengagambarkan tentang kebudayaan (tarawangsa) itu sendiri dan tentang perasaan penari itu apabila sedang menari apa yang mereka hadapi, yang mereka lakukan, berdasarkan latihan-latihan sebelum ini dan juga hasil daripada persembahan-persembahan yang ditunjukan kepada penonton ataupun khalayak," demikian kata wakil rektor yang bersuara merdu ini, terlihat dia kaul menyanyikan duah buah lagu dalam acara ramah tamah.
Selain Arthur dan Nur Hisam Ibrahim, hadir juga dalam pameran tersebut Warek 3 (Bidang Perencanaan, Sistem Informasi, dan Kerja sama) ISBI Bandung, Dr. Suhendi Afryanto, Seniman Senior Dede Ardikarna, Ketua Dewan Kebudayaan Kota Bandung Rahmat Zabaril, Zaini Alif, para mahasiswa FSRD ISBI, serta publik seni Bandung lainnya. Acara pameran juga dimeriahkan dengan penampilan Cinta dan Ratu.
***
Tarawangsa, kata sang kurator, adalah bentuk kesenian yang erat kaitannya dengan ritual tradisi agraris di tanah Sunda. Secara etimologis kata Tarawangsa berasal dari Ta-Ra - Wangsa: Ta - akronim Meta yang berarti “pergerakan”. Ra - analog dengan makna “api yang agung” (matahari) dalam bahas Mesir, dan Wangsa – sinonim dari kata “bangsa”. Yaitu manusia yang menempati suatu kawasan dengan aturan yang mengikat. Dalam hal ini Tarawangsa dapat ditafsirkan, selaku kisah kehidupan manusia yang meyakini matahari selaku sentral kehidupan atau dalam konteks lebih spesifik, kesenian tradisi yang mengisyaratkan penghargaan atas tanaman padi yang tumbuhnya sangat tergantung pada matahari. Dengan kata lain, Tarawangsa adalah simbolisasi rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, sebagaimana tersirat pula dalam istilah bahasa Sunda, “Narawang ka nu Kawasa”.
Kata Tarawangsa termuat dalam kitab-kitab kuna abad ke-10 yang ditemukan di Bali. Dalam literatur tersebut, tarawangsa merujuk pada kata ‘trewasa’ dan ‘trewangsah’ yang mengarah pada jenis kesenian yang tumbuh pada masa bersamaan kala itu di Bali dan tatar Sunda. Sumber lain menyebutkan Tarawangsa juga ditemukan dalam kitab kuna “Sewaka Darma” yang merujuk pada alat musik gesek, perkembangan dari rebab (abad ke-15). Alat musim Tarawangsa yang terbuat dari kayu berleher panjang dengan jumlah dawai antara 2 sampai 3 utas itu dimaikan bersama Jentreng dengan cara dipetik/dijentik.
Keberadaan kesenian Tarawangsa hanya ditemukan di beberapa daerah tetentu di Jawa Barat, yaitu di Rancakalong Sumedang, Cibolang, Cipatujah Tasikmalaya Selatan, Banjaran Bandung dan Kanekes (Baduy) Banten Selatan. Tarawangsa adalah seni pusaka yang sangat dihormati di Desa Rancakalong Sumedang, sehingga dijuluki seni ormatan, seni ritual yang biasanya dilaksanakan mulai pukul 20.00 hingga pukul 04.00 dini hari. Selain sarat akan nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan penghormatan pada Nyi Pohaci (Dewi Padi), Tarawangsa juga memiliki keunikan tersendiri dan memiliki unsur mistik. Hal ini terlihat dari para penarinya yang pada fase tertentu akan menari dalam keadaan ‘trance’, suatu kondisi yang dialami tubuh saat memasuki realitas ambang (realitas antara dunia pertunjukan dan yang imanen). Dalam perkembangannya, Tarawangsa selaku seni pertunjukan selain dipentaskan pada upacara khusus, “Ngalaksa” yang dilaksanakan selama satu pekan berturut-turut dan “Bubur Suro”, dipentaskan pula di berbagai perayaan lain, seperti khitanan, syukuran rumah baru, hingga peringatan hari (nasional) Kemerdekaan/Agustusan. (Asep GP)***
Kata Tarawangsa termuat dalam kitab-kitab kuna abad ke-10 yang ditemukan di Bali. Dalam literatur tersebut, tarawangsa merujuk pada kata ‘trewasa’ dan ‘trewangsah’ yang mengarah pada jenis kesenian yang tumbuh pada masa bersamaan kala itu di Bali dan tatar Sunda. Sumber lain menyebutkan Tarawangsa juga ditemukan dalam kitab kuna “Sewaka Darma” yang merujuk pada alat musik gesek, perkembangan dari rebab (abad ke-15). Alat musim Tarawangsa yang terbuat dari kayu berleher panjang dengan jumlah dawai antara 2 sampai 3 utas itu dimaikan bersama Jentreng dengan cara dipetik/dijentik.
Keberadaan kesenian Tarawangsa hanya ditemukan di beberapa daerah tetentu di Jawa Barat, yaitu di Rancakalong Sumedang, Cibolang, Cipatujah Tasikmalaya Selatan, Banjaran Bandung dan Kanekes (Baduy) Banten Selatan. Tarawangsa adalah seni pusaka yang sangat dihormati di Desa Rancakalong Sumedang, sehingga dijuluki seni ormatan, seni ritual yang biasanya dilaksanakan mulai pukul 20.00 hingga pukul 04.00 dini hari. Selain sarat akan nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan penghormatan pada Nyi Pohaci (Dewi Padi), Tarawangsa juga memiliki keunikan tersendiri dan memiliki unsur mistik. Hal ini terlihat dari para penarinya yang pada fase tertentu akan menari dalam keadaan ‘trance’, suatu kondisi yang dialami tubuh saat memasuki realitas ambang (realitas antara dunia pertunjukan dan yang imanen). Dalam perkembangannya, Tarawangsa selaku seni pertunjukan selain dipentaskan pada upacara khusus, “Ngalaksa” yang dilaksanakan selama satu pekan berturut-turut dan “Bubur Suro”, dipentaskan pula di berbagai perayaan lain, seperti khitanan, syukuran rumah baru, hingga peringatan hari (nasional) Kemerdekaan/Agustusan. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment