Home
» Seni Budaya
» Kembara Nusantara : Kita Jadikan Nusantara Sebagai Markas Besar Kreativitas Seni Kini dan Esok
Wednesday, January 13, 2021
Kembara Nusantara adalah sebuah judul webinar dengan menggunakan aplikasi zoom yang digagas oleh Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA (Program SS) yang berlangsung Sabtu (8/1/2021) dengan menampilkan tiga orang pembicara dari kaum seniman – budayawan – sekaligus dosen dan guru besar yang masing-masing menceritakan cara candanya tentang kenusantaraan
Para Pembicara tersebut adalah, Dr. Wawan Ajen membahas “Dalang Manut Maring Wayang - Wayang Manut Maring Dalang”, Prof. Endang Caturwati “Merajut Kasih, Menyulam Cinta”, dan Prof. Setiawan Sabana “Kembara Kriya Sejagat Nusantara, Mengenang, Merenung, Memandang, dan Menerawang”.
Terkait seni rupa, Kang Wawan (sapaan akrab Prof. Setiawan Sabana), berbicara tentang Kriya yang dia temukan dalam perjalanannya ke seluruh Nusantara.
“Dan selalu kriya di Nusantara mah - rupa - gerak - bunyi. Rupa ada visualnya, gerak tiba-tiba jadi tarian, nyanyi menjadi nyanyian, jadi selalu paket lengkap. Jadi dalam acara ini saya pun menayangkan perjalanan seorang SS ke suluruh Nusantara, dari mulai Aceh, Padang, Nias, Pulo Jawa, Bali, Samarinda, Makasar, Toraja, Ternate, Tidore – Maluku (kecuali Papua, keburu pandemi), dan menemukan Kriya (kerajinan) sebagai dasar seni rupa Nusantara,“ kata Kang Wawan ketika ditemui usai webinar, di rumahnya Jalan Rebana 10 Bandung.
Kang Wawan juga bercerita tentang Kriya itu apa, misalnya bahannya diambil dari alam sekitar, menggunakan teknologi ringan, ukurannya cenderung kecil, nilai fungsional kadang-kadang simbolik.
Sedangkan Prof. Endang sebagai penari dan Guru Besar Seni Pertunjukan Indonesia ISBI Bandung, menampilkan karya-karya tari yang dibuatnya ketika jalan-jalan ke Raja Ampat (Papua Barat), Aceh dan di daerah Nusantara lainnya, termasuk tarian pesanan dari para seniman – budayawan terkenal dan diikusertakan di festival nasional dan internasional. Selain itu Endang juga menampilkan karya seni rupanya dan melantunkan lagu beserta kolaborasi lagu dan tari. Bagi Endang, seni tari adalah seni rupa yang bergerak, suatau bentuk ekspresi melalui kesatuan – keumudian ada simbol, ada ruang, ada gerak ada waktu.
Lebih jauh Prof. Endang menceritakan dia pernah diminta (istilah Endang, dipaksa) oleh Franky Raden untuk menciptakan tarian kontemporer di acara Gotrasawala 2015, maka lahirlah tari kontemporer Dayang Sumbi beserta lagunya. Endang juga dipaksa untuk ikut festival tari termasuk Festival Topeng Internasional dan dia sebagai penarinya, akhirnya dia lakukan dengan berpasangan dengan Een Herdiani (sekarang Rektor ISBI).
Tokoh Tembang Sunda, Yus Wiradiredja, juga pernah memintanya untuk membuat “Tari Kelangan” sebagai bentuk kolaborasi dengan lagu ciptaan Yus, “Kelangan” dan akhirnya difestivalkan tahun 2012 juga Tari Kembang Ligar dalam bentuk jaipongan berhasil dicipta dan ditampilkan dalam festival internasional. Endang juga membuat karya seni rupa, Lukis Batik.
Bagi Endang, jalan-jalan itu adalah inspirasi, melihat burung, jadilah lagu, jadi bagi dia jalan-jalan ke seluruh Nusantara itu adalah menimba pengalaman dan paksaan bisa menjadi proses kreativitas yang bermanfaat berupa sebuah karya, demikian katanya.
Sementara Wawan Ajen yang baru saja mendarat dari Labuan Bajo mengatakan bahwa dunia wayang sangat fleksibel. Bagaimana ketika muatan pesan moral yang dilakukan dalang ketika ditanggap oleh berbagai penanggap harus ngindung ka waktu ngabapa ka zaman, harus menyesuaikan/relevan dengan zaman.
Wayang juga kata Wawan jadi penggerak ekonomi kreatif, dari mulai bahan dasar, pembuatan, kostumnya, sunggingannya dan berbagai karakter wayang yang kata dia merupakan seni rupa yang luar biasa. Dalam seni wayang golek tidak membatasi ruang dan waktu, berkarya jadi keran kebebasan, dalam pembuatan wayang golek si seniman pembuat wayang bisa berekspresi langsung ketika memegang kayu dan peso raut. Ini adalah ekspresi dalam seni rupa,katanya.
Sebagai pemegang amanah untuk mewariskan budaya leluhur, Wawan meyulap rumahnya di Bekasi menjadi semi museum, di galerinya ada 3 ribuan lebih koleksi wayang dan tokoh-tokoh boneka dan koleksinya akan terus ditambah hingga 9 ribu wayang.
Tentang judul materi webinarnya, “Dalang Manut Maring Wayang - Wayang Manut Maring Dalang”, adalah konsep tarekat, melebur, menyatu, mematrikan ruh dan raga-raganya-rasanya-rasio dan ruh. ”Artinya bagaimana dalang mengekspresikan, bukan hanya bisa memainkan wayang saja tapi bagaimana ruh wayang dan dalang menyatu. Inilah konsep filosofi yang saya lakukan dalam pertunjukan wayang ini, bagaimana kami menghadirkan ruh dalam struktur pertunjukan wayang ini," jelasnya.
Untuk ngindung ka waktu ngabapa ka zaman, Wawan tidak meninggalkan tradisi tapi tradisi dijadikan sebagai inspirasi, dia mencoba membaca tetekon dengan cara-cara modern.dalam pengembangan Wayang Golek Ajen.
“Dulu ada pakem dan tetekon yang dianggap sesuatu yang sangat luar biasa tidak boleh dilanggar karena sangat sakral. Nah saya mencoba membaca tradisi dengan cara-cara modern, membaca pakem dengan konsep-konsep kekinian. Saya kira saya punya asumsi, bahwa Pakem, adalah pola-pola baku, pola-pola tradisi alur lakon, alur ceritera dan Tetekon adalah tata laku –aturan baku yang disepakati bersama, dalam artian disepakati bersama ditetapkan akhirnya dilakukan berulang-ulang dan dipertahankan - itu sebagi satu bentuk tradisi. Nah saya mencoba membaca pakem dan tetekon itu kreativitas pada masa itu, saat itu orang sudah sangat kreatif punya kepekaan yang sangat luar biasa, “ paparnya.
Jadi pakem bagi Wawan sebagai kreativitas saat itu, tapi saat sekarang apakah pakem ini masih layak atau tidak, adaptif atau tidak, sesuai atau tidak, kalau dulu pertunjukkan wayang semalam suntuk, apakah sekarang bisa bertahan selama itu. Kakawen yang menggunakan bahasa Jawa Kuno atau Sanskrit dihaleuangkeun dalang hampir 45 menit, karatagan 30 menit. “Nah ini ada satu yang berubah bagaimana mengemas seni pertunjukan dengan konsep kekinian, adaptasi, inovasi, kolaborasi. Saya mencoba mengembangkan wayang dengan tradisi sebagai inspirasinya,“ demikian pungkas Wawan.
Sebagai penggagas acara Prof. Wawan merasa puas, bagus, katanya. Semuanya berbicara dengan masing-masing disiplin ilmunya.
Intinya seni dan budaya Nusantara harus diguar dijadikan rujukan orang untuk berkarya, dan sebenarnya kata Kang wawan, bukan hanya karya seninya saja bahkan semua teknologi Nusantara yang tersembunyi dibalik kearifan lokal dan tradisi di tiap daerah ini harus digali, dilestarikan dan diwariskan.
“Saya yakin di Nusantara juga punya banyak teknologi, hanya kita terlalu memandangnya dengan sebelah mata, lebih mengadopsi teknologi Eropa. Leluhur kita membuat api dari batu paniktik/paneker dengan gandawesi itu adalah teknologi, pertanian tanpa pupuk dan obat kimia, membajak sawah dengan lanyam/wuluku kayu yang ditarik sapi/kerbau itu teknologi, begitu juga dengan industri, di kita ada industri alat-alat pertanian seperti pacul, tosan aji membuat kujang, keris dan pusaka ampuh dan luhung lainnya yang dibuat para Empu dengan menggunakan teknologi tempa yang bernilai teknologi tinggi dibalik kesakralannya.
“Jadi acara ini sengaja digelar untuk mengingatkan teman-teman agar kita sadar. Hayu ngabring babarengan, hey wadya balad hayu urang ngabring Nusantara urang jadikeun markas besar kreatifitas urang dina poe ayeuna jeung jaga - karena dulu ada, hari ini sedang berjalan dan besok itu terawangan. Harus segera dipandang,” tegas Maestro Kertas yang sudah mengembara ke satangkarak jagat ini.
Jadi kata Kang Wawan, harusnya orang-orang disadarkan bahwa kita bukan urang bule. Kita punya akar budaya sendiri, misalnya suatu hari nanti kalau kita tersadar setelah tua bahwa kita orang Sunda dan harus mencari akar budaya, pasti tidak akan kemana.
Jadi jangan sampai keduluan sama orang-orang bule yang sengaja meneliti budaya kita lalu mereka bukukan, dokumentasikan dan mereka bawa ke negaranya, pas kita butuh tersadar di hari tua mencari akar budaya, kita gigit jari karena budaya kita sudah punah dan untuk mencari dokumennya harus ke luar negeri. “Atuh ngegel curuk (gigit jari)”, katanya mengingatkan. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
January 13, 2021
CB Blogger
IndonesiaUntuk ngindung ka waktu ngabapa ka zaman, Wawan tidak meninggalkan tradisi tapi tradisi dijadikan sebagai inspirasi, dia mencoba membaca tetekon dengan cara-cara modern.dalam pengembangan Wayang Golek Ajen.
“Dulu ada pakem dan tetekon yang dianggap sesuatu yang sangat luar biasa tidak boleh dilanggar karena sangat sakral. Nah saya mencoba membaca tradisi dengan cara-cara modern, membaca pakem dengan konsep-konsep kekinian. Saya kira saya punya asumsi, bahwa Pakem, adalah pola-pola baku, pola-pola tradisi alur lakon, alur ceritera dan Tetekon adalah tata laku –aturan baku yang disepakati bersama, dalam artian disepakati bersama ditetapkan akhirnya dilakukan berulang-ulang dan dipertahankan - itu sebagi satu bentuk tradisi. Nah saya mencoba membaca pakem dan tetekon itu kreativitas pada masa itu, saat itu orang sudah sangat kreatif punya kepekaan yang sangat luar biasa, “ paparnya.
Jadi pakem bagi Wawan sebagai kreativitas saat itu, tapi saat sekarang apakah pakem ini masih layak atau tidak, adaptif atau tidak, sesuai atau tidak, kalau dulu pertunjukkan wayang semalam suntuk, apakah sekarang bisa bertahan selama itu. Kakawen yang menggunakan bahasa Jawa Kuno atau Sanskrit dihaleuangkeun dalang hampir 45 menit, karatagan 30 menit. “Nah ini ada satu yang berubah bagaimana mengemas seni pertunjukan dengan konsep kekinian, adaptasi, inovasi, kolaborasi. Saya mencoba mengembangkan wayang dengan tradisi sebagai inspirasinya,“ demikian pungkas Wawan.
Sebagai penggagas acara Prof. Wawan merasa puas, bagus, katanya. Semuanya berbicara dengan masing-masing disiplin ilmunya.
Intinya seni dan budaya Nusantara harus diguar dijadikan rujukan orang untuk berkarya, dan sebenarnya kata Kang wawan, bukan hanya karya seninya saja bahkan semua teknologi Nusantara yang tersembunyi dibalik kearifan lokal dan tradisi di tiap daerah ini harus digali, dilestarikan dan diwariskan.
“Saya yakin di Nusantara juga punya banyak teknologi, hanya kita terlalu memandangnya dengan sebelah mata, lebih mengadopsi teknologi Eropa. Leluhur kita membuat api dari batu paniktik/paneker dengan gandawesi itu adalah teknologi, pertanian tanpa pupuk dan obat kimia, membajak sawah dengan lanyam/wuluku kayu yang ditarik sapi/kerbau itu teknologi, begitu juga dengan industri, di kita ada industri alat-alat pertanian seperti pacul, tosan aji membuat kujang, keris dan pusaka ampuh dan luhung lainnya yang dibuat para Empu dengan menggunakan teknologi tempa yang bernilai teknologi tinggi dibalik kesakralannya.
“Jadi acara ini sengaja digelar untuk mengingatkan teman-teman agar kita sadar. Hayu ngabring babarengan, hey wadya balad hayu urang ngabring Nusantara urang jadikeun markas besar kreatifitas urang dina poe ayeuna jeung jaga - karena dulu ada, hari ini sedang berjalan dan besok itu terawangan. Harus segera dipandang,” tegas Maestro Kertas yang sudah mengembara ke satangkarak jagat ini.
Jadi kata Kang Wawan, harusnya orang-orang disadarkan bahwa kita bukan urang bule. Kita punya akar budaya sendiri, misalnya suatu hari nanti kalau kita tersadar setelah tua bahwa kita orang Sunda dan harus mencari akar budaya, pasti tidak akan kemana.
Jadi jangan sampai keduluan sama orang-orang bule yang sengaja meneliti budaya kita lalu mereka bukukan, dokumentasikan dan mereka bawa ke negaranya, pas kita butuh tersadar di hari tua mencari akar budaya, kita gigit jari karena budaya kita sudah punah dan untuk mencari dokumennya harus ke luar negeri. “Atuh ngegel curuk (gigit jari)”, katanya mengingatkan. (Asep GP)***
Kembara Nusantara : Kita Jadikan Nusantara Sebagai Markas Besar Kreativitas Seni Kini dan Esok
Posted by
Tatarjabar.com on Wednesday, January 13, 2021
Kembara Nusantara adalah sebuah judul webinar dengan menggunakan aplikasi zoom yang digagas oleh Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA (Program SS) yang berlangsung Sabtu (8/1/2021) dengan menampilkan tiga orang pembicara dari kaum seniman – budayawan – sekaligus dosen dan guru besar yang masing-masing menceritakan cara candanya tentang kenusantaraan
Para Pembicara tersebut adalah, Dr. Wawan Ajen membahas “Dalang Manut Maring Wayang - Wayang Manut Maring Dalang”, Prof. Endang Caturwati “Merajut Kasih, Menyulam Cinta”, dan Prof. Setiawan Sabana “Kembara Kriya Sejagat Nusantara, Mengenang, Merenung, Memandang, dan Menerawang”.
Terkait seni rupa, Kang Wawan (sapaan akrab Prof. Setiawan Sabana), berbicara tentang Kriya yang dia temukan dalam perjalanannya ke seluruh Nusantara.
“Dan selalu kriya di Nusantara mah - rupa - gerak - bunyi. Rupa ada visualnya, gerak tiba-tiba jadi tarian, nyanyi menjadi nyanyian, jadi selalu paket lengkap. Jadi dalam acara ini saya pun menayangkan perjalanan seorang SS ke suluruh Nusantara, dari mulai Aceh, Padang, Nias, Pulo Jawa, Bali, Samarinda, Makasar, Toraja, Ternate, Tidore – Maluku (kecuali Papua, keburu pandemi), dan menemukan Kriya (kerajinan) sebagai dasar seni rupa Nusantara,“ kata Kang Wawan ketika ditemui usai webinar, di rumahnya Jalan Rebana 10 Bandung.
Kang Wawan juga bercerita tentang Kriya itu apa, misalnya bahannya diambil dari alam sekitar, menggunakan teknologi ringan, ukurannya cenderung kecil, nilai fungsional kadang-kadang simbolik.
Sedangkan Prof. Endang sebagai penari dan Guru Besar Seni Pertunjukan Indonesia ISBI Bandung, menampilkan karya-karya tari yang dibuatnya ketika jalan-jalan ke Raja Ampat (Papua Barat), Aceh dan di daerah Nusantara lainnya, termasuk tarian pesanan dari para seniman – budayawan terkenal dan diikusertakan di festival nasional dan internasional. Selain itu Endang juga menampilkan karya seni rupanya dan melantunkan lagu beserta kolaborasi lagu dan tari. Bagi Endang, seni tari adalah seni rupa yang bergerak, suatau bentuk ekspresi melalui kesatuan – keumudian ada simbol, ada ruang, ada gerak ada waktu.
Lebih jauh Prof. Endang menceritakan dia pernah diminta (istilah Endang, dipaksa) oleh Franky Raden untuk menciptakan tarian kontemporer di acara Gotrasawala 2015, maka lahirlah tari kontemporer Dayang Sumbi beserta lagunya. Endang juga dipaksa untuk ikut festival tari termasuk Festival Topeng Internasional dan dia sebagai penarinya, akhirnya dia lakukan dengan berpasangan dengan Een Herdiani (sekarang Rektor ISBI).
Tokoh Tembang Sunda, Yus Wiradiredja, juga pernah memintanya untuk membuat “Tari Kelangan” sebagai bentuk kolaborasi dengan lagu ciptaan Yus, “Kelangan” dan akhirnya difestivalkan tahun 2012 juga Tari Kembang Ligar dalam bentuk jaipongan berhasil dicipta dan ditampilkan dalam festival internasional. Endang juga membuat karya seni rupa, Lukis Batik.
Bagi Endang, jalan-jalan itu adalah inspirasi, melihat burung, jadilah lagu, jadi bagi dia jalan-jalan ke seluruh Nusantara itu adalah menimba pengalaman dan paksaan bisa menjadi proses kreativitas yang bermanfaat berupa sebuah karya, demikian katanya.
Sementara Wawan Ajen yang baru saja mendarat dari Labuan Bajo mengatakan bahwa dunia wayang sangat fleksibel. Bagaimana ketika muatan pesan moral yang dilakukan dalang ketika ditanggap oleh berbagai penanggap harus ngindung ka waktu ngabapa ka zaman, harus menyesuaikan/relevan dengan zaman.
Wayang juga kata Wawan jadi penggerak ekonomi kreatif, dari mulai bahan dasar, pembuatan, kostumnya, sunggingannya dan berbagai karakter wayang yang kata dia merupakan seni rupa yang luar biasa. Dalam seni wayang golek tidak membatasi ruang dan waktu, berkarya jadi keran kebebasan, dalam pembuatan wayang golek si seniman pembuat wayang bisa berekspresi langsung ketika memegang kayu dan peso raut. Ini adalah ekspresi dalam seni rupa,katanya.
Sebagai pemegang amanah untuk mewariskan budaya leluhur, Wawan meyulap rumahnya di Bekasi menjadi semi museum, di galerinya ada 3 ribuan lebih koleksi wayang dan tokoh-tokoh boneka dan koleksinya akan terus ditambah hingga 9 ribu wayang.
Tentang judul materi webinarnya, “Dalang Manut Maring Wayang - Wayang Manut Maring Dalang”, adalah konsep tarekat, melebur, menyatu, mematrikan ruh dan raga-raganya-rasanya-rasio dan ruh. ”Artinya bagaimana dalang mengekspresikan, bukan hanya bisa memainkan wayang saja tapi bagaimana ruh wayang dan dalang menyatu. Inilah konsep filosofi yang saya lakukan dalam pertunjukan wayang ini, bagaimana kami menghadirkan ruh dalam struktur pertunjukan wayang ini," jelasnya.
Untuk ngindung ka waktu ngabapa ka zaman, Wawan tidak meninggalkan tradisi tapi tradisi dijadikan sebagai inspirasi, dia mencoba membaca tetekon dengan cara-cara modern.dalam pengembangan Wayang Golek Ajen.
“Dulu ada pakem dan tetekon yang dianggap sesuatu yang sangat luar biasa tidak boleh dilanggar karena sangat sakral. Nah saya mencoba membaca tradisi dengan cara-cara modern, membaca pakem dengan konsep-konsep kekinian. Saya kira saya punya asumsi, bahwa Pakem, adalah pola-pola baku, pola-pola tradisi alur lakon, alur ceritera dan Tetekon adalah tata laku –aturan baku yang disepakati bersama, dalam artian disepakati bersama ditetapkan akhirnya dilakukan berulang-ulang dan dipertahankan - itu sebagi satu bentuk tradisi. Nah saya mencoba membaca pakem dan tetekon itu kreativitas pada masa itu, saat itu orang sudah sangat kreatif punya kepekaan yang sangat luar biasa, “ paparnya.
Jadi pakem bagi Wawan sebagai kreativitas saat itu, tapi saat sekarang apakah pakem ini masih layak atau tidak, adaptif atau tidak, sesuai atau tidak, kalau dulu pertunjukkan wayang semalam suntuk, apakah sekarang bisa bertahan selama itu. Kakawen yang menggunakan bahasa Jawa Kuno atau Sanskrit dihaleuangkeun dalang hampir 45 menit, karatagan 30 menit. “Nah ini ada satu yang berubah bagaimana mengemas seni pertunjukan dengan konsep kekinian, adaptasi, inovasi, kolaborasi. Saya mencoba mengembangkan wayang dengan tradisi sebagai inspirasinya,“ demikian pungkas Wawan.
Sebagai penggagas acara Prof. Wawan merasa puas, bagus, katanya. Semuanya berbicara dengan masing-masing disiplin ilmunya.
Intinya seni dan budaya Nusantara harus diguar dijadikan rujukan orang untuk berkarya, dan sebenarnya kata Kang wawan, bukan hanya karya seninya saja bahkan semua teknologi Nusantara yang tersembunyi dibalik kearifan lokal dan tradisi di tiap daerah ini harus digali, dilestarikan dan diwariskan.
“Saya yakin di Nusantara juga punya banyak teknologi, hanya kita terlalu memandangnya dengan sebelah mata, lebih mengadopsi teknologi Eropa. Leluhur kita membuat api dari batu paniktik/paneker dengan gandawesi itu adalah teknologi, pertanian tanpa pupuk dan obat kimia, membajak sawah dengan lanyam/wuluku kayu yang ditarik sapi/kerbau itu teknologi, begitu juga dengan industri, di kita ada industri alat-alat pertanian seperti pacul, tosan aji membuat kujang, keris dan pusaka ampuh dan luhung lainnya yang dibuat para Empu dengan menggunakan teknologi tempa yang bernilai teknologi tinggi dibalik kesakralannya.
“Jadi acara ini sengaja digelar untuk mengingatkan teman-teman agar kita sadar. Hayu ngabring babarengan, hey wadya balad hayu urang ngabring Nusantara urang jadikeun markas besar kreatifitas urang dina poe ayeuna jeung jaga - karena dulu ada, hari ini sedang berjalan dan besok itu terawangan. Harus segera dipandang,” tegas Maestro Kertas yang sudah mengembara ke satangkarak jagat ini.
Jadi kata Kang Wawan, harusnya orang-orang disadarkan bahwa kita bukan urang bule. Kita punya akar budaya sendiri, misalnya suatu hari nanti kalau kita tersadar setelah tua bahwa kita orang Sunda dan harus mencari akar budaya, pasti tidak akan kemana.
Jadi jangan sampai keduluan sama orang-orang bule yang sengaja meneliti budaya kita lalu mereka bukukan, dokumentasikan dan mereka bawa ke negaranya, pas kita butuh tersadar di hari tua mencari akar budaya, kita gigit jari karena budaya kita sudah punah dan untuk mencari dokumennya harus ke luar negeri. “Atuh ngegel curuk (gigit jari)”, katanya mengingatkan. (Asep GP)***
Untuk ngindung ka waktu ngabapa ka zaman, Wawan tidak meninggalkan tradisi tapi tradisi dijadikan sebagai inspirasi, dia mencoba membaca tetekon dengan cara-cara modern.dalam pengembangan Wayang Golek Ajen.
“Dulu ada pakem dan tetekon yang dianggap sesuatu yang sangat luar biasa tidak boleh dilanggar karena sangat sakral. Nah saya mencoba membaca tradisi dengan cara-cara modern, membaca pakem dengan konsep-konsep kekinian. Saya kira saya punya asumsi, bahwa Pakem, adalah pola-pola baku, pola-pola tradisi alur lakon, alur ceritera dan Tetekon adalah tata laku –aturan baku yang disepakati bersama, dalam artian disepakati bersama ditetapkan akhirnya dilakukan berulang-ulang dan dipertahankan - itu sebagi satu bentuk tradisi. Nah saya mencoba membaca pakem dan tetekon itu kreativitas pada masa itu, saat itu orang sudah sangat kreatif punya kepekaan yang sangat luar biasa, “ paparnya.
Jadi pakem bagi Wawan sebagai kreativitas saat itu, tapi saat sekarang apakah pakem ini masih layak atau tidak, adaptif atau tidak, sesuai atau tidak, kalau dulu pertunjukkan wayang semalam suntuk, apakah sekarang bisa bertahan selama itu. Kakawen yang menggunakan bahasa Jawa Kuno atau Sanskrit dihaleuangkeun dalang hampir 45 menit, karatagan 30 menit. “Nah ini ada satu yang berubah bagaimana mengemas seni pertunjukan dengan konsep kekinian, adaptasi, inovasi, kolaborasi. Saya mencoba mengembangkan wayang dengan tradisi sebagai inspirasinya,“ demikian pungkas Wawan.
Sebagai penggagas acara Prof. Wawan merasa puas, bagus, katanya. Semuanya berbicara dengan masing-masing disiplin ilmunya.
Intinya seni dan budaya Nusantara harus diguar dijadikan rujukan orang untuk berkarya, dan sebenarnya kata Kang wawan, bukan hanya karya seninya saja bahkan semua teknologi Nusantara yang tersembunyi dibalik kearifan lokal dan tradisi di tiap daerah ini harus digali, dilestarikan dan diwariskan.
“Saya yakin di Nusantara juga punya banyak teknologi, hanya kita terlalu memandangnya dengan sebelah mata, lebih mengadopsi teknologi Eropa. Leluhur kita membuat api dari batu paniktik/paneker dengan gandawesi itu adalah teknologi, pertanian tanpa pupuk dan obat kimia, membajak sawah dengan lanyam/wuluku kayu yang ditarik sapi/kerbau itu teknologi, begitu juga dengan industri, di kita ada industri alat-alat pertanian seperti pacul, tosan aji membuat kujang, keris dan pusaka ampuh dan luhung lainnya yang dibuat para Empu dengan menggunakan teknologi tempa yang bernilai teknologi tinggi dibalik kesakralannya.
“Jadi acara ini sengaja digelar untuk mengingatkan teman-teman agar kita sadar. Hayu ngabring babarengan, hey wadya balad hayu urang ngabring Nusantara urang jadikeun markas besar kreatifitas urang dina poe ayeuna jeung jaga - karena dulu ada, hari ini sedang berjalan dan besok itu terawangan. Harus segera dipandang,” tegas Maestro Kertas yang sudah mengembara ke satangkarak jagat ini.
Jadi kata Kang Wawan, harusnya orang-orang disadarkan bahwa kita bukan urang bule. Kita punya akar budaya sendiri, misalnya suatu hari nanti kalau kita tersadar setelah tua bahwa kita orang Sunda dan harus mencari akar budaya, pasti tidak akan kemana.
Jadi jangan sampai keduluan sama orang-orang bule yang sengaja meneliti budaya kita lalu mereka bukukan, dokumentasikan dan mereka bawa ke negaranya, pas kita butuh tersadar di hari tua mencari akar budaya, kita gigit jari karena budaya kita sudah punah dan untuk mencari dokumennya harus ke luar negeri. “Atuh ngegel curuk (gigit jari)”, katanya mengingatkan. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment