Home
» Seni Budaya
» Bandung Kota Ramai Namun Sepi dari "Ruh Kultural”. Tinjauan Historis dan Kritik Budaya
Friday, September 19, 2025
Oleh: Anto Ramadhan (Ikatan Alumni Sastra dan Budaya) Unpad
Bandung adalah kota yang ramai secara fisik dan aktivitas. Kota penuh keramaian: jalan macet, pusat belanja, kafe, wisata kuliner, konser, hiburan, event lifestyle, bahkan kampus-kampus besar ada di kota ini. Kota yang sangat hidup, sibuk, dan padat kegiatan.
Meskipun ramai, nuansa kehidupan budaya yang lebih mendalam (seperti kesenian tradisi, filosofi hidup masyarakat Sunda, atau identitas kultural), kota Bandung kurang menjiwai keramaian itu. Budaya sering hadir hanya sebagai dekorasi, hiburan, atau komoditas pariwisata, bukan lagi sebagai ruh yang membimbing kehidupan kota.
Dengan kata lain, ungkapan itu mengandung kritik bahwa Bandung semakin modern, konsumtif, dan komersial, tetapi kehilangan akar budaya atau jati diri kulturalnya. Aktivitas ramai, tapi “jiwa” kebudayaan (yang memberi kedalaman makna, nilai, dan rasa kebersamaan) terasa semakin menipis.
Bandung Dulu dan Bandung Sekarang
Mempertandingkan Bandung tempo dulu dan sekarang dilihat dari tinjauan historis dan kritik budaya akan sangat menarik jika dimunculkan fakta otentik.
Jika mempertandingkan contoh konkret perbedaan antara Bandung tempo dulu dengan Bandung tempo sekarang, pastinya ada pergeseran yang cukup signifikan.
(Bandung Tempo Dulu) Tahun 1950-1980, dimana "roh kultural" masih kuat, Bandung merupakan pusat pergerakan seni dan intelektual, bahkan Bandung dikenal sebagai kota budaya dan intelektual. Dari kampus ITB, Unpad, dan IKIP Bandung lahir banyak seniman, budayawan, dan pemikir. Contohnya Mang Koko, Harry Rusli, Braga Stone, Teater STB & Payung Hitam. Teater Kampus; GSSTF UNPAD, STEMA ITB, Teater Lakon IKIP. Ada juga karya-karya Yus Rusyana, Saini KM, Ajip Rosidi, atau Yacob Sumardjo.
Kehidupan seni tradisi masih terasa, masyarakat Bandung masih akrab dengan kesenian Sunda: wayang golek, degung, jaipongan, dan sastra lisan Sunda. Itu bukan sekadar pertunjukan, tapi bagian dari kehidupan.
Bandung dikenal dengan ruh perlawanan dan idealisme, Bandung juga pernah dijuluki “kota pergerakan” (termasuk perlawanan mahasiswa 1970–1990-an). Kota ini hidup oleh gagasan, wacana, dan seni yang kritis.
(Bandung Tempo Kini) Ramai tapi sepi ruh kultural, ditandai dengan komersialisasi ruang kota yang semakin meningkat, banyak ruang publik beralih jadi pusat belanja, kafe, atau wahana wisata. Seni dan budaya sering hanya dipajang sebagai branding pariwisata.
Begitupun arena hiburan mampu menggeser budaya. Konser musik, festival kuliner, dan wisata Instagram lebih populer daripada pertunjukan seni tradisi atau diskusi budaya. Dengan kata lain, budaya jadi “atribut”, bukan ruh, misalnya tarian tradisional ditampilkan untuk acara formal atau turis, bukan lagi bagian dari keseharian masyarakat. Jadi, “ramai tapi sepi dari ruh kultural” mempunyai arti, Bandung sibuk dengan aktivitas modern, tapi kehilangan kedalaman jati diri sebagai kota budaya.
Kehidupan seni tradisi masih terasa, masyarakat Bandung masih akrab dengan kesenian Sunda: wayang golek, degung, jaipongan, dan sastra lisan Sunda. Itu bukan sekadar pertunjukan, tapi bagian dari kehidupan.
Bandung dikenal dengan ruh perlawanan dan idealisme, Bandung juga pernah dijuluki “kota pergerakan” (termasuk perlawanan mahasiswa 1970–1990-an). Kota ini hidup oleh gagasan, wacana, dan seni yang kritis.
(Bandung Tempo Kini) Ramai tapi sepi ruh kultural, ditandai dengan komersialisasi ruang kota yang semakin meningkat, banyak ruang publik beralih jadi pusat belanja, kafe, atau wahana wisata. Seni dan budaya sering hanya dipajang sebagai branding pariwisata.
Begitupun arena hiburan mampu menggeser budaya. Konser musik, festival kuliner, dan wisata Instagram lebih populer daripada pertunjukan seni tradisi atau diskusi budaya. Dengan kata lain, budaya jadi “atribut”, bukan ruh, misalnya tarian tradisional ditampilkan untuk acara formal atau turis, bukan lagi bagian dari keseharian masyarakat. Jadi, “ramai tapi sepi dari ruh kultural” mempunyai arti, Bandung sibuk dengan aktivitas modern, tapi kehilangan kedalaman jati diri sebagai kota budaya.
![]() |
Anto Bersama Walikota Bandung, Muhammad Farhan (Foto Istimewa) |
Dilihat lebih dalam lagi, perbandingan Bandung dulu dan sekarang jika ditarik ke contoh sehari-hari, misalnya perbandingan antara nongkrong di kawasan Braga tempo dulu dengan Braga hari ini, akan tampak perbedaan yang cukup mencolok.
Diketahui, jalan Braga sudah sedari dulu jadi ikon Bandung. Pada tahun 1920–1950an, Braga disebut Parijs van Java. Di sana ada galeri seni, toko buku, gedung pertunjukan, dan kafe yang jadi tempat diskusi seniman, penulis, dan intelektual.
Menginjak tahun 1970–1980an, Braga juga masih jadi ruang pertemuan seniman Bandung, mahasiswa, dan komunitas budaya. Orang ke Braga bukan sekadar jalan-jalan menonton "Kecapi" Braga Stone, tapi untuk bertukar gagasan, menonton pameran, atau berdiskusi soal seni dan politik. Dengan demikian, tidak berlebihan Braga pada masa itu disebut masih punya ruh kultural. Sedangkan fakta sekarang, kawasan Braga ramai oleh wisatawan yang berfoto di depan bangunan tua atau nongkrong di kafe hits.
Banyak juga acara berbasis lifestyle: kuliner, kopi, dan hiburan malam. Nilai sejarah dan budaya kawasan Braga lebih banyak dijadikan latar Instagrammable ketimbang ruang hidup kultural. Seni tradisi atau pameran pemikiran jarang jadi magnet utama; lebih banyak ke aktivitas konsumsi.
Lagi lagi, inilah gambaran “ramai tapi sepi ruh kultural”: secara fisik Braga penuh orang, tapi esensi sebagai ruang budaya dan gagasan hampir hilang.
![]() |
Foto Istimewa |
Begitupun contoh ruang lainnya di Bandung, seperti Dago, Alun-Alun, atau kampus ITB ,Unpad IKIP (UPI.red) dan kampus besar lainya.
Sedikit tinjauan historis daerah Jalan Dago masa lalu (sekarang Ir. H. Juanda), daerah ini identik dengan rumah-rumah seni, butik kecil, dan ruang nongkrong kreatif mahasiswa. Banyak diskusi sastra, seni rupa, dan musik lahir di sana. Namun saat ini lebih didominasi oleh factory outlet, kafe, dan restoran. Ramai, tapi nuansa diskusi intelektual atau seni mulai memudar.
Sedangkan daerah Alun-Alun Bandung, dahulu jadi pusat pertemuan rakyat, tempat pertunjukan rakyat (wayang, pencak silat, gamelan). Orang berkumpul dengan tujuan kultural dan religius. Saat ini ramai oleh wisata keluarga dan turis, tapi lebih fokus pada spot foto, jajan, dan bermain. Unsur budaya rakyat makin jarang terlihat. Tapi kreatifitas masih terlihat dengan hadirnya "cosplay". Arti cosplay adalah kegiatan seni dan ekspresi diri dimana seseorang mengenakan kostum, riasan, dan aksesoris untuk memerankan karakter fiksi dari media seperti anime, manga, video game, komik, atau film. Istilah ini merupakan singkatan dari "costume play" atau "permainan kostum" dalam bahasa Inggris, dan pelaku cosplay disebut cosplayer. (Wikipedia)
Sementara Kampus ITB & Sekitarnya (Taman Ganesha, Cisitu, Cikapundung), dulu ITB adalah pusat lahirnya seniman besar (Affandi, Srihadi, Sunaryo), pemikir (Sjahrir, Soekarno sempat belajar disini), hingga gerakan mahasiswa kritis. Lingkungan sekitarnya jadi ruang seni dan intelektual. Tetapi kenyataan sekarang, walaupun ITB masih melahirkan seniman, dan masih menyelenggarakan "Pasar Seni" tapi gaungnya masih kalah oleh hiruk-pikuk industri kreatif yang lebih komersial. Diskusi budaya terbatas di lingkar akademik, kurang menyebar ke masyarakat luas.
Dari contoh perbandingan ruang-ruang yang ada di kota Bandung, rupanya "pergeseran ruh" tak bisa dihindari. Dulu Ruang-ruang kota Bandung adalah arena hidupnya budaya, seni, dan gagasan. Orang datang bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi juga untuk menyerap ruh kultural. Bisa juga disimpulkan, ruang-ruang itu masih ramai, tapi lebih ke arah konsumsi, hiburan, dan komodifikasi budaya. Identitas kultural ada, tapi jadi latar, bukan ruh!
Bahkan pernah ada seorang pegiat sosial pernah menulis di Facebook:
“Bandung hari ini ramai oleh cahaya neon dan kerumunan, tapi sepi dari ruh kultural yang dulu menyalakan obor gagasan, seni, dan perlawanan.”
“Bandung teh rame ku jalma, tapi hampang ku budaya.”
Saat ini kota Bandung dipimpin oleh Walikota M. Farhan. Pria kelahiran 25 Februari 1970 ini adalah seorang aktor, seniman, pembawa acara, penyiar radio, dan politikus Indonesia. Dia menjadi Wali Kota Bandung sejak tanggal 20 Februari 2025 . Fakta terbaru walikota melalui Perda sudah membuat sederet
program unggulan di bidang Seni Budaya.
Bertempat di ISBI, Farhan mengatakan seni dan kebudayaan harus berjalan beriringan dengan teknologi. ISBI sebagai mercusuar budaya & teknologinya. Perpaduan teknologi dan budaya punya peluang besar (misal virtual art, eksibisi digital, VR/AR), menarik audiens global.
Selain itu Farhan juga sudah membuat program Pencatatan Kekayaan Intelektual Musik Tradisi. Tujuanya mendorong pencatatan karya seni budaya tradisional, khususnya musik tradisi di Bandung sekaligus melindungi hak cipta budaya lokal supaya bisa turut diakui oleh institusi budaya internasional dan peningkatan awareness global tentang ragam musik tradisional Indonesia.
Program-program unggulan Walikota Farhan juga menggarap pelestarian kesusastraan dan Budaya Sunda lewat digitalisasi. Sebagai contoh dukungan terhadap aplikasi Gapura, sutra literasi budaya, pengembangan Ensiklopedia Sastra Indonesia/Sunda, pengiriman peneliti ke luar negeri untuk mengumpulkan arsip sastra. Digitalisasi & arsip internasional bisa diakses oleh diaspora & akademisi luar negeri; peluang kerja sama riset budaya global.
Dalam rangka menjaga identitas Bandung di era globalisasi, Walikota Bandung juga membuka program "Bandung Kota Cerita". Program yang mengajak warganya mendokumentasikan cerita lokal, arsip pribadi/kolektif, walking tour sejarah, narasi kota, serta menjadikan perpustakaan/kearsipan menjadi ruang publik hidup.
Mungkin program yang paling dinanti oleh musisi, seniman, budayawan, warga kota Bandung adalah "Tikpul Bandung" di Pendopo Walikota. Sebagai program kegiatan rutin setiap Rabu malam, Tikpul lebih ke program komunitas, budaya, dan hiburan warga.
Dari "seabrek" program unggulan di bidang Seni budaya yang sudah dibuat Walikota Farhan sudah selayaknya warga kota Bandung (terutama pegiat seni budaya) untuk mengacungkan jempolnya tanpa ragu, sehingga konon lambat laun satu atau dua suara sumbang pun akan berakhir melipir.
Jadi ingat ungkapan seorang sahabat dari Rumah Musik Hari Rusli (RMHR) pelantun lagu "Nyanyian Bisu" almarhum Uwi Prabu : "Banyak orang berbudaya, tapi tidak berbudi, banyak juga orang berbudi dan berbudaya tapi tidak berdaya!!" (Berbagai sumber/AI)
Bandung Kota Ramai Namun Sepi dari "Ruh Kultural”. Tinjauan Historis dan Kritik Budaya
Posted by
Tatarjabar.com on Friday, September 19, 2025
Oleh: Anto Ramadhan (Ikatan Alumni Sastra dan Budaya) Unpad
Bandung adalah kota yang ramai secara fisik dan aktivitas. Kota penuh keramaian: jalan macet, pusat belanja, kafe, wisata kuliner, konser, hiburan, event lifestyle, bahkan kampus-kampus besar ada di kota ini. Kota yang sangat hidup, sibuk, dan padat kegiatan.
Meskipun ramai, nuansa kehidupan budaya yang lebih mendalam (seperti kesenian tradisi, filosofi hidup masyarakat Sunda, atau identitas kultural), kota Bandung kurang menjiwai keramaian itu. Budaya sering hadir hanya sebagai dekorasi, hiburan, atau komoditas pariwisata, bukan lagi sebagai ruh yang membimbing kehidupan kota.
Dengan kata lain, ungkapan itu mengandung kritik bahwa Bandung semakin modern, konsumtif, dan komersial, tetapi kehilangan akar budaya atau jati diri kulturalnya. Aktivitas ramai, tapi “jiwa” kebudayaan (yang memberi kedalaman makna, nilai, dan rasa kebersamaan) terasa semakin menipis.
Bandung Dulu dan Bandung Sekarang
Mempertandingkan Bandung tempo dulu dan sekarang dilihat dari tinjauan historis dan kritik budaya akan sangat menarik jika dimunculkan fakta otentik.
Jika mempertandingkan contoh konkret perbedaan antara Bandung tempo dulu dengan Bandung tempo sekarang, pastinya ada pergeseran yang cukup signifikan.
(Bandung Tempo Dulu) Tahun 1950-1980, dimana "roh kultural" masih kuat, Bandung merupakan pusat pergerakan seni dan intelektual, bahkan Bandung dikenal sebagai kota budaya dan intelektual. Dari kampus ITB, Unpad, dan IKIP Bandung lahir banyak seniman, budayawan, dan pemikir. Contohnya Mang Koko, Harry Rusli, Braga Stone, Teater STB & Payung Hitam. Teater Kampus; GSSTF UNPAD, STEMA ITB, Teater Lakon IKIP. Ada juga karya-karya Yus Rusyana, Saini KM, Ajip Rosidi, atau Yacob Sumardjo.
Kehidupan seni tradisi masih terasa, masyarakat Bandung masih akrab dengan kesenian Sunda: wayang golek, degung, jaipongan, dan sastra lisan Sunda. Itu bukan sekadar pertunjukan, tapi bagian dari kehidupan.
Bandung dikenal dengan ruh perlawanan dan idealisme, Bandung juga pernah dijuluki “kota pergerakan” (termasuk perlawanan mahasiswa 1970–1990-an). Kota ini hidup oleh gagasan, wacana, dan seni yang kritis.
(Bandung Tempo Kini) Ramai tapi sepi ruh kultural, ditandai dengan komersialisasi ruang kota yang semakin meningkat, banyak ruang publik beralih jadi pusat belanja, kafe, atau wahana wisata. Seni dan budaya sering hanya dipajang sebagai branding pariwisata.
Begitupun arena hiburan mampu menggeser budaya. Konser musik, festival kuliner, dan wisata Instagram lebih populer daripada pertunjukan seni tradisi atau diskusi budaya. Dengan kata lain, budaya jadi “atribut”, bukan ruh, misalnya tarian tradisional ditampilkan untuk acara formal atau turis, bukan lagi bagian dari keseharian masyarakat. Jadi, “ramai tapi sepi dari ruh kultural” mempunyai arti, Bandung sibuk dengan aktivitas modern, tapi kehilangan kedalaman jati diri sebagai kota budaya.
Kehidupan seni tradisi masih terasa, masyarakat Bandung masih akrab dengan kesenian Sunda: wayang golek, degung, jaipongan, dan sastra lisan Sunda. Itu bukan sekadar pertunjukan, tapi bagian dari kehidupan.
Bandung dikenal dengan ruh perlawanan dan idealisme, Bandung juga pernah dijuluki “kota pergerakan” (termasuk perlawanan mahasiswa 1970–1990-an). Kota ini hidup oleh gagasan, wacana, dan seni yang kritis.
(Bandung Tempo Kini) Ramai tapi sepi ruh kultural, ditandai dengan komersialisasi ruang kota yang semakin meningkat, banyak ruang publik beralih jadi pusat belanja, kafe, atau wahana wisata. Seni dan budaya sering hanya dipajang sebagai branding pariwisata.
Begitupun arena hiburan mampu menggeser budaya. Konser musik, festival kuliner, dan wisata Instagram lebih populer daripada pertunjukan seni tradisi atau diskusi budaya. Dengan kata lain, budaya jadi “atribut”, bukan ruh, misalnya tarian tradisional ditampilkan untuk acara formal atau turis, bukan lagi bagian dari keseharian masyarakat. Jadi, “ramai tapi sepi dari ruh kultural” mempunyai arti, Bandung sibuk dengan aktivitas modern, tapi kehilangan kedalaman jati diri sebagai kota budaya.
![]() |
Anto Bersama Walikota Bandung, Muhammad Farhan (Foto Istimewa) |
Dilihat lebih dalam lagi, perbandingan Bandung dulu dan sekarang jika ditarik ke contoh sehari-hari, misalnya perbandingan antara nongkrong di kawasan Braga tempo dulu dengan Braga hari ini, akan tampak perbedaan yang cukup mencolok.
Diketahui, jalan Braga sudah sedari dulu jadi ikon Bandung. Pada tahun 1920–1950an, Braga disebut Parijs van Java. Di sana ada galeri seni, toko buku, gedung pertunjukan, dan kafe yang jadi tempat diskusi seniman, penulis, dan intelektual.
Menginjak tahun 1970–1980an, Braga juga masih jadi ruang pertemuan seniman Bandung, mahasiswa, dan komunitas budaya. Orang ke Braga bukan sekadar jalan-jalan menonton "Kecapi" Braga Stone, tapi untuk bertukar gagasan, menonton pameran, atau berdiskusi soal seni dan politik. Dengan demikian, tidak berlebihan Braga pada masa itu disebut masih punya ruh kultural. Sedangkan fakta sekarang, kawasan Braga ramai oleh wisatawan yang berfoto di depan bangunan tua atau nongkrong di kafe hits.
Banyak juga acara berbasis lifestyle: kuliner, kopi, dan hiburan malam. Nilai sejarah dan budaya kawasan Braga lebih banyak dijadikan latar Instagrammable ketimbang ruang hidup kultural. Seni tradisi atau pameran pemikiran jarang jadi magnet utama; lebih banyak ke aktivitas konsumsi.
Lagi lagi, inilah gambaran “ramai tapi sepi ruh kultural”: secara fisik Braga penuh orang, tapi esensi sebagai ruang budaya dan gagasan hampir hilang.
![]() |
Foto Istimewa |
Begitupun contoh ruang lainnya di Bandung, seperti Dago, Alun-Alun, atau kampus ITB ,Unpad IKIP (UPI.red) dan kampus besar lainya.
Sedikit tinjauan historis daerah Jalan Dago masa lalu (sekarang Ir. H. Juanda), daerah ini identik dengan rumah-rumah seni, butik kecil, dan ruang nongkrong kreatif mahasiswa. Banyak diskusi sastra, seni rupa, dan musik lahir di sana. Namun saat ini lebih didominasi oleh factory outlet, kafe, dan restoran. Ramai, tapi nuansa diskusi intelektual atau seni mulai memudar.
Sedangkan daerah Alun-Alun Bandung, dahulu jadi pusat pertemuan rakyat, tempat pertunjukan rakyat (wayang, pencak silat, gamelan). Orang berkumpul dengan tujuan kultural dan religius. Saat ini ramai oleh wisata keluarga dan turis, tapi lebih fokus pada spot foto, jajan, dan bermain. Unsur budaya rakyat makin jarang terlihat. Tapi kreatifitas masih terlihat dengan hadirnya "cosplay". Arti cosplay adalah kegiatan seni dan ekspresi diri dimana seseorang mengenakan kostum, riasan, dan aksesoris untuk memerankan karakter fiksi dari media seperti anime, manga, video game, komik, atau film. Istilah ini merupakan singkatan dari "costume play" atau "permainan kostum" dalam bahasa Inggris, dan pelaku cosplay disebut cosplayer. (Wikipedia)
Sementara Kampus ITB & Sekitarnya (Taman Ganesha, Cisitu, Cikapundung), dulu ITB adalah pusat lahirnya seniman besar (Affandi, Srihadi, Sunaryo), pemikir (Sjahrir, Soekarno sempat belajar disini), hingga gerakan mahasiswa kritis. Lingkungan sekitarnya jadi ruang seni dan intelektual. Tetapi kenyataan sekarang, walaupun ITB masih melahirkan seniman, dan masih menyelenggarakan "Pasar Seni" tapi gaungnya masih kalah oleh hiruk-pikuk industri kreatif yang lebih komersial. Diskusi budaya terbatas di lingkar akademik, kurang menyebar ke masyarakat luas.
Dari contoh perbandingan ruang-ruang yang ada di kota Bandung, rupanya "pergeseran ruh" tak bisa dihindari. Dulu Ruang-ruang kota Bandung adalah arena hidupnya budaya, seni, dan gagasan. Orang datang bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi juga untuk menyerap ruh kultural. Bisa juga disimpulkan, ruang-ruang itu masih ramai, tapi lebih ke arah konsumsi, hiburan, dan komodifikasi budaya. Identitas kultural ada, tapi jadi latar, bukan ruh!
Bahkan pernah ada seorang pegiat sosial pernah menulis di Facebook:
“Bandung hari ini ramai oleh cahaya neon dan kerumunan, tapi sepi dari ruh kultural yang dulu menyalakan obor gagasan, seni, dan perlawanan.”
“Bandung teh rame ku jalma, tapi hampang ku budaya.”
Saat ini kota Bandung dipimpin oleh Walikota M. Farhan. Pria kelahiran 25 Februari 1970 ini adalah seorang aktor, seniman, pembawa acara, penyiar radio, dan politikus Indonesia. Dia menjadi Wali Kota Bandung sejak tanggal 20 Februari 2025 . Fakta terbaru walikota melalui Perda sudah membuat sederet
program unggulan di bidang Seni Budaya.
Bertempat di ISBI, Farhan mengatakan seni dan kebudayaan harus berjalan beriringan dengan teknologi. ISBI sebagai mercusuar budaya & teknologinya. Perpaduan teknologi dan budaya punya peluang besar (misal virtual art, eksibisi digital, VR/AR), menarik audiens global.
Selain itu Farhan juga sudah membuat program Pencatatan Kekayaan Intelektual Musik Tradisi. Tujuanya mendorong pencatatan karya seni budaya tradisional, khususnya musik tradisi di Bandung sekaligus melindungi hak cipta budaya lokal supaya bisa turut diakui oleh institusi budaya internasional dan peningkatan awareness global tentang ragam musik tradisional Indonesia.
Program-program unggulan Walikota Farhan juga menggarap pelestarian kesusastraan dan Budaya Sunda lewat digitalisasi. Sebagai contoh dukungan terhadap aplikasi Gapura, sutra literasi budaya, pengembangan Ensiklopedia Sastra Indonesia/Sunda, pengiriman peneliti ke luar negeri untuk mengumpulkan arsip sastra. Digitalisasi & arsip internasional bisa diakses oleh diaspora & akademisi luar negeri; peluang kerja sama riset budaya global.
Dalam rangka menjaga identitas Bandung di era globalisasi, Walikota Bandung juga membuka program "Bandung Kota Cerita". Program yang mengajak warganya mendokumentasikan cerita lokal, arsip pribadi/kolektif, walking tour sejarah, narasi kota, serta menjadikan perpustakaan/kearsipan menjadi ruang publik hidup.
Mungkin program yang paling dinanti oleh musisi, seniman, budayawan, warga kota Bandung adalah "Tikpul Bandung" di Pendopo Walikota. Sebagai program kegiatan rutin setiap Rabu malam, Tikpul lebih ke program komunitas, budaya, dan hiburan warga.
Dari "seabrek" program unggulan di bidang Seni budaya yang sudah dibuat Walikota Farhan sudah selayaknya warga kota Bandung (terutama pegiat seni budaya) untuk mengacungkan jempolnya tanpa ragu, sehingga konon lambat laun satu atau dua suara sumbang pun akan berakhir melipir.
Jadi ingat ungkapan seorang sahabat dari Rumah Musik Hari Rusli (RMHR) pelantun lagu "Nyanyian Bisu" almarhum Uwi Prabu : "Banyak orang berbudaya, tapi tidak berbudi, banyak juga orang berbudi dan berbudaya tapi tidak berdaya!!" (Berbagai sumber/AI)
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment