Friday, August 18, 2023
Indra Ridwan (kiri) tengah membahas Pop Sunda bersama Ganjar Kurnia (Foto Asep GP) |
Pada Rabu, 9 Agustus 2023, Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Unpad kembali menyelenggarakan “Keurseus Budaya Sunda” melalui zoom meeting. Kali ini dalam episode ke-32 (Jirangan), PDPBS membedah “Pop Sunda ti Mangsa ka Mangsa” (Pop Sunda dari Masa ke Masa) dengan nara sumber Wakil Rektor I ISBI Bandung: Indra Ridwan, S.Sos., M.Sn., M.A., PhD., serta Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia DEA, sebagai moderatornya.
Usai acara, Indra secara khusus mengatakan pada wartawan, Perkembangan Pop Sunda itu sangat menarik. Dia berkembang karena ada pengaruh media massa terutama radio juga pringan hitam. Jadi sekitar tahun 35-36 bersamaan dengan munculnya radio, muncul juga kreativitas orang-orang Sunda. Bahkan M.A. Salmun (Sastrawan Sunda) menyatakan, “Mun rek ningali musik Sunda modern mah sanggeus ayana radio-taun 35’ (kalau ingin tahu musik Sunda modern, sesudah adanya radio taun 35-an)”. Demikian Indra mengawali pemaparannya.
Waktu itu lagu-lagu Sunda memang masih memakai bahasa Sunda tapi pola-pola musiknya sudah mengikuti pola musik Barat. Bahkan ada lagu-lagu Sunda yang diiringi musik Blasteran (strike orchestra), kecapi campur gitar, selo, dsb.
Baru tahun 5O-an memakai musik elektrik. Jadi lagu-lagu Sunda diaransemen dan diiringi band. Menurut Tan Deseng taun 53-an munculnya, ketika dia bergabung dengan band Gita Remaja-RRI Bandung bersama Edi Karamoy, Beni Corda, Doni Saleh (vocal). Judul lagunya Kota Bandung. Kuplet /bait pertama menggunakan bahasa Indonesia selanjutna Bahasa Sunda – digabung. Tapi iringannya musik Barat.
Tapi yang diakui masyarakat sebagai cikal bakal fundamen Pop Sunda adalah tahun 60. Padahal saat itu istilah Pop Sunda belum ada, dan tahun 60-an adalah tahun ketika Nada Kencana muncul, tapi itu bukan pop Sunda, tapi Orkes Nada Kencana/Musik Sunda yang dimodernisir.
“Jadi mereka membuat aransemen lagu-lagunya kebanyakan 60% lagu Kakawihan Urang Lembur - diiringi - diaransmen lagi menggunakan Musik Barat. Lagu-lagunya diantaranya Ayang Ayang Gung, Surser, Tokecang, Trangtrang Kolentrang. Dan kenapa Nada Kencana memilih lagu-lagu seperti itu, karena sangat mudah diaransir, mudah dimaninkan, tapi punya nilai untuk masuk ke semua lapisan masyarakat”.
Nada Kencana saat itu kata Indra, membuat 7 album. Dalam perkembangannya melibatkan penyanyi yang punya latar belakang musik Sunda Tradisi, yaitu Upit Sarimanah yang membawakan lagu “Tauco Cianjur”, “Mangle”, dsb. Berkembang..berkembang.
Nah baru pada awal tahun 70-an ada Pop Sunda. Kata Yoyo Dasriyo, istilah Pop Sunda muncul ketika nama Pop Jawa muncul. Jadi menurut Yoyo, Pop Sunda muncul setelah muncul Pop Jawa (meniru). Tapi Indra masih sangsi dengan pernyataan Yoyo ini, belum ada buktinya, katanya.
Menarik ketika itu, penyanyi-penyanyi yang tidak punya latar belakang musik Sunda justru bermunculan membawakan Pop Punda, Nelakresna, Ana Matopani. Malah Eli Kasim (Tokoh Budaya Minang) membawakeun lagu “Peuyeum Bandung”, dan tak urung kelihatan bukan USA (Urang Sunda Asli) nya, ketika mengatakan “peuyeum” disebut ‘peyem’. “Haha.. tapi teu nanaon (tidak apa-apa),” kenang Indra.
Intinya kita harus bangga saat itu Pop Sunda sangat digemari masyarakat dan dinyanyikan tidak hanya oleh orang Sunda, malah ke pop musik Indonesia juga bisa masuk. Coba saja perhatikan kalau kita melihat Piringan Hitam Aneka 12 saat itu, lagu-lagunya pasti Indonesia tapi di situ pasti terselip lagu-lagu Pop Sunda seperti yang dibawakan Tati Saleh, Upit Sarimanah, lagu “Teu Nyana”, “Ngabungbang”, semua ada di PH itu.
“Jadi secara tidak langsung Pop Sunda dipromosikeun melalui Piringan Hitam lagu Indonesia Popular, dan penyebarannya tentu bukan hanya di Jawa Barat tapi se-Indonesia. Pop Sunda saat itu sudah sangat terkenal, malah hingga ke Jepang karena sudah disiarkan melaui Radio NHK, juga di BBC Australia,“ kata Indra bangga.
Tahun 70-an muncul Tan Deseng . Ya beliaulah yang pertama merekrut Titim Fatimah, Euis Komariah, untuk masuk ke Pop Sunda. Ceritanya ketika Euis Komariah terlibat, Tan Deseng dan Pak Kosaman Djaja sengaja datang ke rumahnya mengajak Euis Komariah untuk terlibat dalam Pop Sunda membawakan lagu “Neang Popotongan”. Tapi Euis disana tidak dituntut untuk menggunakan cengkok-cengkok Sunda. Lain lagi dengan Titim Fatimah, yang diminta menggunakan cengkok Sunda. Makanya nama grup band pengiring Titim Fatimah “Salendro F”.
Dr. Indra Ridwan, Pop Sunda dinyanyikan & digemari oleh etnik lainnya (Foto Asep GP) |
Masih di tahun 70-an datang May Sumarna (suami Sandra Sanger) “Madesa Grup”. Awalnya May Sumarna bersama grup bandnya The stef, tidak membawakan Pop Sunda, tapi ketika Pop Sunda booming, beliau masuk ke wilayah Pop Sunda dan langsung terkenal. Sebagaima kita tahu May Sumarna terkenal lewat lagunya, “Burung Dalam Sangkar”.
“Nah sekarang masalah istilah, karena saat itu Pop Sunda banyak dimainkan bukan oleh orang Sunda seperti Zaenal Arifin, Safi’i Klimboh, istilah Pop Sunda sendiri ketika 70-an berubah. Ada Pop Sunda, Sunda Pop, Pop Bahasa Sunda, Pop Sunda Jaipongan, Pop Sunda Modern, macem-macem. Tapi itu mah terserah lah, gak jadi masalah,“ kata Indra serius.
Tahun 86 timbul “Kalangkang” (Nano S). Lagu Kalangkang diciptakan di SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, kini SMKN 10 Bandung), cengkoknya saat itu terinspirasi Yoyoh Suprihatin. “Mungguhi.ii..iiing..,” kata Pak Nano itu adalah pola-pola penarik pendengar. Saat itu lagu Kalangkang diiringi Degung, belum Pop Sunda. Nah Yan Ahim mendengar lagu tersebut dari speker ketika dia lewat di depan SD Merdeka 5 yang sedang samen (pesta/syukuran kenaikan kelas). Dia tertarik hingga mencarinya ke Wen Lung - Wisnu Record. Setelah ketemu, Yan Ahim mengaransemen lagu itu diiringi Pop Sunda. Lagu itu dijual ke produser untuk diperbanyak tapi tidak ada yang menanggapi, akhirnya Yan Ahim datang lagi ke Wen Lung untuk menjual lagu itu dan disetujui dengan dua syarat, pertama harus melibatkan Pak Nano dan setelah mendatangkan Pak Nano, beliau juga mengajukan dua syarat, boleh Kalangkang dijadikan Pop Sunda tapi intronya harus seperti intro Kalangkang dalam degung. Keduanya dalam reff harus ada tepukan (Sunda, Keprok). Disetuji oleh Yan Ahim. Lalu dibuatlah aransemen baru, diperbanyak dan booming.
Kesininya ada Doel Sumbang, yang fokus mempopulerkan lagu berbahasa Sunda sehari-hari. Kang Doel pernah mewawancarai budayawan Sunda Unpad Hidayat Suryalaga, tentang bagaiman caranya untuk melestraikan budaya Sunda, kata Kang Hidayat, caranya adalah dimulai dengan menyebarkan bahasa.
Selanjutnya perkembangan Pop Sunda ngan kitu-kitu keneh (begitu-begitu saja), Hampir seperti lagu Kalangkang, ada pun timbul pola-pola baru, tapi tidak jauh dari itu.
Menarik disimak, kesininya kalau Lagu Sunda yang tadinya enak dan indah untuk didengarkan itu berubah jadi dijogedan. Makanya pola-pola kendangnya juga melibatkeun Bajidoran, Koplo, hingga sekarang hanya berubah syairnya.
“Pop Sunda yang pada awalnya ngejar pasar hingga sekarang menjadi musik komersial, sah sah saja. Yang penting masyarakat penikmatnya terpuaskan apalagi bisa terlibat/joget dalam pertunjukan,“ demikian pungkas Indra Ridwan. (AGP)***
Tatarjabar.com
August 18, 2023
CB Blogger
IndonesiaPop Sunda Dari Masa ke Masa
Posted by
Tatarjabar.com on Friday, August 18, 2023
Indra Ridwan (kiri) tengah membahas Pop Sunda bersama Ganjar Kurnia (Foto Asep GP) |
Pada Rabu, 9 Agustus 2023, Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Unpad kembali menyelenggarakan “Keurseus Budaya Sunda” melalui zoom meeting. Kali ini dalam episode ke-32 (Jirangan), PDPBS membedah “Pop Sunda ti Mangsa ka Mangsa” (Pop Sunda dari Masa ke Masa) dengan nara sumber Wakil Rektor I ISBI Bandung: Indra Ridwan, S.Sos., M.Sn., M.A., PhD., serta Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia DEA, sebagai moderatornya.
Usai acara, Indra secara khusus mengatakan pada wartawan, Perkembangan Pop Sunda itu sangat menarik. Dia berkembang karena ada pengaruh media massa terutama radio juga pringan hitam. Jadi sekitar tahun 35-36 bersamaan dengan munculnya radio, muncul juga kreativitas orang-orang Sunda. Bahkan M.A. Salmun (Sastrawan Sunda) menyatakan, “Mun rek ningali musik Sunda modern mah sanggeus ayana radio-taun 35’ (kalau ingin tahu musik Sunda modern, sesudah adanya radio taun 35-an)”. Demikian Indra mengawali pemaparannya.
Waktu itu lagu-lagu Sunda memang masih memakai bahasa Sunda tapi pola-pola musiknya sudah mengikuti pola musik Barat. Bahkan ada lagu-lagu Sunda yang diiringi musik Blasteran (strike orchestra), kecapi campur gitar, selo, dsb.
Baru tahun 5O-an memakai musik elektrik. Jadi lagu-lagu Sunda diaransemen dan diiringi band. Menurut Tan Deseng taun 53-an munculnya, ketika dia bergabung dengan band Gita Remaja-RRI Bandung bersama Edi Karamoy, Beni Corda, Doni Saleh (vocal). Judul lagunya Kota Bandung. Kuplet /bait pertama menggunakan bahasa Indonesia selanjutna Bahasa Sunda – digabung. Tapi iringannya musik Barat.
Tapi yang diakui masyarakat sebagai cikal bakal fundamen Pop Sunda adalah tahun 60. Padahal saat itu istilah Pop Sunda belum ada, dan tahun 60-an adalah tahun ketika Nada Kencana muncul, tapi itu bukan pop Sunda, tapi Orkes Nada Kencana/Musik Sunda yang dimodernisir.
“Jadi mereka membuat aransemen lagu-lagunya kebanyakan 60% lagu Kakawihan Urang Lembur - diiringi - diaransmen lagi menggunakan Musik Barat. Lagu-lagunya diantaranya Ayang Ayang Gung, Surser, Tokecang, Trangtrang Kolentrang. Dan kenapa Nada Kencana memilih lagu-lagu seperti itu, karena sangat mudah diaransir, mudah dimaninkan, tapi punya nilai untuk masuk ke semua lapisan masyarakat”.
Nada Kencana saat itu kata Indra, membuat 7 album. Dalam perkembangannya melibatkan penyanyi yang punya latar belakang musik Sunda Tradisi, yaitu Upit Sarimanah yang membawakan lagu “Tauco Cianjur”, “Mangle”, dsb. Berkembang..berkembang.
Nah baru pada awal tahun 70-an ada Pop Sunda. Kata Yoyo Dasriyo, istilah Pop Sunda muncul ketika nama Pop Jawa muncul. Jadi menurut Yoyo, Pop Sunda muncul setelah muncul Pop Jawa (meniru). Tapi Indra masih sangsi dengan pernyataan Yoyo ini, belum ada buktinya, katanya.
Menarik ketika itu, penyanyi-penyanyi yang tidak punya latar belakang musik Sunda justru bermunculan membawakan Pop Punda, Nelakresna, Ana Matopani. Malah Eli Kasim (Tokoh Budaya Minang) membawakeun lagu “Peuyeum Bandung”, dan tak urung kelihatan bukan USA (Urang Sunda Asli) nya, ketika mengatakan “peuyeum” disebut ‘peyem’. “Haha.. tapi teu nanaon (tidak apa-apa),” kenang Indra.
Intinya kita harus bangga saat itu Pop Sunda sangat digemari masyarakat dan dinyanyikan tidak hanya oleh orang Sunda, malah ke pop musik Indonesia juga bisa masuk. Coba saja perhatikan kalau kita melihat Piringan Hitam Aneka 12 saat itu, lagu-lagunya pasti Indonesia tapi di situ pasti terselip lagu-lagu Pop Sunda seperti yang dibawakan Tati Saleh, Upit Sarimanah, lagu “Teu Nyana”, “Ngabungbang”, semua ada di PH itu.
“Jadi secara tidak langsung Pop Sunda dipromosikeun melalui Piringan Hitam lagu Indonesia Popular, dan penyebarannya tentu bukan hanya di Jawa Barat tapi se-Indonesia. Pop Sunda saat itu sudah sangat terkenal, malah hingga ke Jepang karena sudah disiarkan melaui Radio NHK, juga di BBC Australia,“ kata Indra bangga.
Tahun 70-an muncul Tan Deseng . Ya beliaulah yang pertama merekrut Titim Fatimah, Euis Komariah, untuk masuk ke Pop Sunda. Ceritanya ketika Euis Komariah terlibat, Tan Deseng dan Pak Kosaman Djaja sengaja datang ke rumahnya mengajak Euis Komariah untuk terlibat dalam Pop Sunda membawakan lagu “Neang Popotongan”. Tapi Euis disana tidak dituntut untuk menggunakan cengkok-cengkok Sunda. Lain lagi dengan Titim Fatimah, yang diminta menggunakan cengkok Sunda. Makanya nama grup band pengiring Titim Fatimah “Salendro F”.
Dr. Indra Ridwan, Pop Sunda dinyanyikan & digemari oleh etnik lainnya (Foto Asep GP) |
Masih di tahun 70-an datang May Sumarna (suami Sandra Sanger) “Madesa Grup”. Awalnya May Sumarna bersama grup bandnya The stef, tidak membawakan Pop Sunda, tapi ketika Pop Sunda booming, beliau masuk ke wilayah Pop Sunda dan langsung terkenal. Sebagaima kita tahu May Sumarna terkenal lewat lagunya, “Burung Dalam Sangkar”.
“Nah sekarang masalah istilah, karena saat itu Pop Sunda banyak dimainkan bukan oleh orang Sunda seperti Zaenal Arifin, Safi’i Klimboh, istilah Pop Sunda sendiri ketika 70-an berubah. Ada Pop Sunda, Sunda Pop, Pop Bahasa Sunda, Pop Sunda Jaipongan, Pop Sunda Modern, macem-macem. Tapi itu mah terserah lah, gak jadi masalah,“ kata Indra serius.
Tahun 86 timbul “Kalangkang” (Nano S). Lagu Kalangkang diciptakan di SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, kini SMKN 10 Bandung), cengkoknya saat itu terinspirasi Yoyoh Suprihatin. “Mungguhi.ii..iiing..,” kata Pak Nano itu adalah pola-pola penarik pendengar. Saat itu lagu Kalangkang diiringi Degung, belum Pop Sunda. Nah Yan Ahim mendengar lagu tersebut dari speker ketika dia lewat di depan SD Merdeka 5 yang sedang samen (pesta/syukuran kenaikan kelas). Dia tertarik hingga mencarinya ke Wen Lung - Wisnu Record. Setelah ketemu, Yan Ahim mengaransemen lagu itu diiringi Pop Sunda. Lagu itu dijual ke produser untuk diperbanyak tapi tidak ada yang menanggapi, akhirnya Yan Ahim datang lagi ke Wen Lung untuk menjual lagu itu dan disetujui dengan dua syarat, pertama harus melibatkan Pak Nano dan setelah mendatangkan Pak Nano, beliau juga mengajukan dua syarat, boleh Kalangkang dijadikan Pop Sunda tapi intronya harus seperti intro Kalangkang dalam degung. Keduanya dalam reff harus ada tepukan (Sunda, Keprok). Disetuji oleh Yan Ahim. Lalu dibuatlah aransemen baru, diperbanyak dan booming.
Kesininya ada Doel Sumbang, yang fokus mempopulerkan lagu berbahasa Sunda sehari-hari. Kang Doel pernah mewawancarai budayawan Sunda Unpad Hidayat Suryalaga, tentang bagaiman caranya untuk melestraikan budaya Sunda, kata Kang Hidayat, caranya adalah dimulai dengan menyebarkan bahasa.
Selanjutnya perkembangan Pop Sunda ngan kitu-kitu keneh (begitu-begitu saja), Hampir seperti lagu Kalangkang, ada pun timbul pola-pola baru, tapi tidak jauh dari itu.
Menarik disimak, kesininya kalau Lagu Sunda yang tadinya enak dan indah untuk didengarkan itu berubah jadi dijogedan. Makanya pola-pola kendangnya juga melibatkeun Bajidoran, Koplo, hingga sekarang hanya berubah syairnya.
“Pop Sunda yang pada awalnya ngejar pasar hingga sekarang menjadi musik komersial, sah sah saja. Yang penting masyarakat penikmatnya terpuaskan apalagi bisa terlibat/joget dalam pertunjukan,“ demikian pungkas Indra Ridwan. (AGP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment