Sunday, August 13, 2023
Prof. Dr. Sri Rustiyanti, S.Sen.,M.Sn, Guru Besar ISBI Bandung |
Hal ini mengemuka ketika pihak ISBI menggelar acara Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Sri Rustiyanti S.sen., M.Sn, Bidang Ilmu Seni Budaya Folklor, di Gedung Kesenian Sunam Ambu Jl. Buah Batu No. 212 Kota Bandung, Rabu (9/8/2023).
Hadir dalam kesempatan tersebut Irjen Sumber Daya Kemendikbudristek, Rektor Perguruan Tinggi Seni yang tergabung dalam Badan Koordinasi Perguruan Tinggi Seni Indonesia diantaranya Rektror IKJ Dr. Indah Tjahjawulan, S.Sn., M.Sn, ISI Surakarta diwakili Dr. Nugroho, S.Kar., M.Sn , ISI Denpasar (Bu Teti), mantan Rektor ISBI Padangpanjang, Prof. Dr. Dadang Suganda (Rektor universitas Widyatama), Dr. Ariesa Pandanwangi (mewakili Universitas Kristen Maranatha), Prof. Jakob Sumardjo, Prof.Bambang, Prof. Reiza (Unpad), kum Rektor PT se-Bandung Raya, Disparbud Jabar (Pa Asep), Kepala SMKN 10 (SMKI) Bandung, seniman, budayawan serta civitas akademika ISBI Bandung. Acara tersebut juga diramaikan dengan Tambur dan Randai TaTu Pa.
Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung boleh berbangga dan bernapas lega karena Guru Besarnya kian bertambah. Pasalnya, kata Rektor ISBI Retno Dwimarwati, dari 157 dosen ISBI baru punya 5 Guru Besar. Untuk mendorong semua ini ISBI Bandung punya program penelitian Doktoral untuk mendorong (mem-push) para Doktor nya untuk terus melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat sebagai prasyarat jadi guru besar.
“Sekarang di LP2M itu semua kita pacu, bahkan dari anggaran PNBP yang hanya 10 sekian Miliar untuk penelitian ini, kita beri 1,5 Miliar. Jadi kita push lah. Kemudian kita mencoba bekerja sama dengan kabupaten dan kota untuk langsung memberi kontribusi supaya setiap individu itu punya track record yang bagus,“ kata rektor, usai pengukuhan guru besar.
Hal tersebut diiyakan Sri usai membawakan Orasi Ilmiah “Estetika Groteks : Refleksi Aistanomai Sebagai Penguatan Keilmuan Seni Budaya Folklor”, bahwa rektor sudah membentuk Majelis Guru Besar dan, “Ini menjadi tugas kami mensupport teman-teman yang S2 didorong untuk mencapai S3 dan yang sudah Doktor kita dorong ke tingkat profesor,” katanya.
Karena untuk mencapai Guru Besar ini tidak bisa jalan sendiri. “Kita harus kolaborasi, kita harus kompetisi dalam ruang-ruang yang kita pertahankan. Kalau kita jalan sendiri berat rasanya. Kita harus berkolaborasi dengan berbagai elemen, lintas perguruan tinggi, dengan Pentahelik,“ tegasnya.
Kata Rektor, bidang folklor ini masih seksi, masih sedikit yang menggelutinya, “Ketika kita punya UU Pengkajian Kebudayaan itu betul-betul banyak sekali yang harus kita lakukan. Saya kira ini jadi trigger bagi kami untuk terus memacu diri dan terus memberikan kontribusi besar pada masyarakat.”
Randai TaTuPa (FotoAsep GP) |
Dan memang Folklor ini harus dilestarikan ditengah pesatnya perkembangan teknologi ini, kesenian-kesenian itu harus dilestarikan melalui pewarisan. Karena seni itu kalau tidak dikembangkan dengan inovasi lambat laun akan ditinggalkan oleh anak muda-anak muda sekarang yang lebih senang dengan kesenian milenial. Sehingga perlu adanya konservasi, inovasi, modivikasi. “Dan itu sangat penting seperti yang tadi saya sampaikan Estetika Grostek, yaitu sesuatu yang tidak pernah selesai, selalu berubah, selalu berkembang, selalu ada peluang-peluang ada inovasi dan kita kalau merasa puas dengan keadaan seperti ini, itu lambat laun akan menjadikan karya seni mandeg. Jadi kita harus merasa tidak pernah selesai,“ kata Prof. Sri Rustiyanti.
Estetika Grostek ini seperti yang disampaikan Sri dalam orasi ilmiahnya, yaitu perkembangan konsep estetika sebagai cabang ilmu filsafat yang sangat holistik.
Kata Sri, Estetika Grostek sebagai penguatan kepakaran keilmuan Guru Besarnya di bidang ilmu Seni Budaya Folklor. Pemahaman seni budaya folklor sangatlah holistik karena mencakup semua bidang seni, baik Seni Sastra (mantifact), Seni Pertunjukan (sosiofact), maupun Seni Rupa (artefact).
Bersama Keluarga (foto Asep GP) |
Bentuk folklor ini menurut Jan Harold Brunvard, ahli folklor Amerika Serikat, memiliki tiga bentuk kelompok besar Folklor Lisan, yang bentuknya memang murni lisan, Folklor Sebagian Lisan, dan Folklor Bukan Lisan yang bentuknya bukan lisan, meskipun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.
Adapun bidang ilmu kepakaran untuk usulan Guru Besar lebih difokuskan kepada Folklor Sebagian Lisan yang merupakan lintas disiplin ilmu dengan background knowledge dan riwayat pendidikan irisan keilmuan yang Sri tekuni dari Kajian Seni Pertunjukan, Kajian Budaya, serta homebase di Prodi Antropologi Budaya Fakultas Budaya dan Media. “Kepakaran Seni Budaya Folklor ini dibutuhkan sejak saya ditugaskan oleh Rektor ISBI Bandung Prof. Dr. Een Herdiani untuki mutasi dari hombase Seni Tari (Fakultas Seni Pertunjukan) ke homebase Antropologi Budaya (Fakultas Budaya dan Media),“ kata Prof. Sri
Estetika Grotek di dalamnya ada pembahasan tentang seni dan metafisika yang mengkaji segala hakikat yang ada dalam semesta. Setiap orang memiliki kriteria keindahan yang bersifat individu, tetapi memiliki standar sesuai dengan dasar teorinya. Seperti teori Estetika Formil (terletak pada bentuknya), teori Estetika Ekspresionis (mempunya maksud dan tujuan berekspresi), teori Estetika Psikologis yang memuat tentang empati, simpati, respon, dan kepuasan), serta teori Estetika Emosionalisme (yang terletak pada ekspresi emosi).
Estetika yang terdapat dalam folklor Nusantara tidak hanya secara tekstualitas pada bentuk fisik luarnya saja melainkan juga terletak pada kontekstualitas yang memiliki makna dan nilai-nilai estetika untuk memberikan manfaat dalam kehidupan manusia. Makna dan amanat karya tersebut seperti falsafah yang mengandung filosofi kehidupan, nasihat, petuah, ajaran tentang moral, berbudi pekerti mulia, nilai-nilai kebajikan, keutamaan, dan keluhuran yang menunjukkan kehidupan manusia ke jalan kebenaran.
Pangwilujeng dari Gubernur Jawa Barat (foto Asep GP) |
Menarik disimak, sebagai penajaman pengetahuan tentang pemahaman seni budaya folklor yang sangat luas, penelitian Sri juga mengkaji relevansi nilai-nilai kearifan lokal Sastra Minang dan Sunda dalam keberagaman Folkor Indonesia ini.
“Saya sebagai orang Minang tapi separoh hidup saya ada di sini (Tanah Sunda/Bandung), anak keluarga saya bahkan saya punya cucu di sini dan sekarang saya ada di komunitas Sunda. Saya mengetahui bagaimana kearifan lokal (filosofi) Sunda dan Minang itu ternyata punya konotasi yang hampir sama. Itu dalam penelitian Doktor yang saya lakukan selama 3 tahun, saya menemukan beberapa kearifan lokal Sunda - Minang itu ternyata ada benang merahnya dan banyak yang bisa kita gali mempunyai nilai-nilai yang sama,” demikian kata Prof Sri Rustiyanti.
(18 variabel panduan perilaku sebagai Similaritas Transformasi Filosofi Minang & Sunda ini pada tahun 2022 sudah diajukan ke HAKI).
**
Prof. Dr. Sri Rustiyanti, S.Sen,. M.Sn, dilahirkan di Surakarta 2 Juli 1966. Mengajar di ISBI Bandung sejak 1993, sebagai dosen tetap Prodi Antropologi Budaya, fakultas Budaya dan Media ISBI Bandung. Sri adalah alumni lulusan Program D3 Jurusan Tari Padangpanjang (90), S1 Jurusan Tari ASKI Surakarta (92), S2 Pengkajian Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta (2006), dan S3 Kajian Budaya FIB Unpad (2013). Mengajar mata kuliah Seni Pertunjukan Indonesia, Kajian seni Pertunjukan, Folklor Indonesia, Multikulturalisme, Estetika, dan Kritik Seni.
Dalam lingkungan keluarga Sri adalah istri dari Ir. Zamhasri Aziz yang dikaruniai dua orang putra, Faath Ary Pratama dan Iqbal Janitra. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
August 13, 2023
CB Blogger
IndonesiaDr. Sri Rustiyanti S.Sen., M.Sn, Jadi Profesor
Posted by
Tatarjabar.com on Sunday, August 13, 2023
Prof. Dr. Sri Rustiyanti, S.Sen.,M.Sn, Guru Besar ISBI Bandung |
Hal ini mengemuka ketika pihak ISBI menggelar acara Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Sri Rustiyanti S.sen., M.Sn, Bidang Ilmu Seni Budaya Folklor, di Gedung Kesenian Sunam Ambu Jl. Buah Batu No. 212 Kota Bandung, Rabu (9/8/2023).
Hadir dalam kesempatan tersebut Irjen Sumber Daya Kemendikbudristek, Rektor Perguruan Tinggi Seni yang tergabung dalam Badan Koordinasi Perguruan Tinggi Seni Indonesia diantaranya Rektror IKJ Dr. Indah Tjahjawulan, S.Sn., M.Sn, ISI Surakarta diwakili Dr. Nugroho, S.Kar., M.Sn , ISI Denpasar (Bu Teti), mantan Rektor ISBI Padangpanjang, Prof. Dr. Dadang Suganda (Rektor universitas Widyatama), Dr. Ariesa Pandanwangi (mewakili Universitas Kristen Maranatha), Prof. Jakob Sumardjo, Prof.Bambang, Prof. Reiza (Unpad), kum Rektor PT se-Bandung Raya, Disparbud Jabar (Pa Asep), Kepala SMKN 10 (SMKI) Bandung, seniman, budayawan serta civitas akademika ISBI Bandung. Acara tersebut juga diramaikan dengan Tambur dan Randai TaTu Pa.
Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung boleh berbangga dan bernapas lega karena Guru Besarnya kian bertambah. Pasalnya, kata Rektor ISBI Retno Dwimarwati, dari 157 dosen ISBI baru punya 5 Guru Besar. Untuk mendorong semua ini ISBI Bandung punya program penelitian Doktoral untuk mendorong (mem-push) para Doktor nya untuk terus melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat sebagai prasyarat jadi guru besar.
“Sekarang di LP2M itu semua kita pacu, bahkan dari anggaran PNBP yang hanya 10 sekian Miliar untuk penelitian ini, kita beri 1,5 Miliar. Jadi kita push lah. Kemudian kita mencoba bekerja sama dengan kabupaten dan kota untuk langsung memberi kontribusi supaya setiap individu itu punya track record yang bagus,“ kata rektor, usai pengukuhan guru besar.
Hal tersebut diiyakan Sri usai membawakan Orasi Ilmiah “Estetika Groteks : Refleksi Aistanomai Sebagai Penguatan Keilmuan Seni Budaya Folklor”, bahwa rektor sudah membentuk Majelis Guru Besar dan, “Ini menjadi tugas kami mensupport teman-teman yang S2 didorong untuk mencapai S3 dan yang sudah Doktor kita dorong ke tingkat profesor,” katanya.
Karena untuk mencapai Guru Besar ini tidak bisa jalan sendiri. “Kita harus kolaborasi, kita harus kompetisi dalam ruang-ruang yang kita pertahankan. Kalau kita jalan sendiri berat rasanya. Kita harus berkolaborasi dengan berbagai elemen, lintas perguruan tinggi, dengan Pentahelik,“ tegasnya.
Kata Rektor, bidang folklor ini masih seksi, masih sedikit yang menggelutinya, “Ketika kita punya UU Pengkajian Kebudayaan itu betul-betul banyak sekali yang harus kita lakukan. Saya kira ini jadi trigger bagi kami untuk terus memacu diri dan terus memberikan kontribusi besar pada masyarakat.”
Randai TaTuPa (FotoAsep GP) |
Dan memang Folklor ini harus dilestarikan ditengah pesatnya perkembangan teknologi ini, kesenian-kesenian itu harus dilestarikan melalui pewarisan. Karena seni itu kalau tidak dikembangkan dengan inovasi lambat laun akan ditinggalkan oleh anak muda-anak muda sekarang yang lebih senang dengan kesenian milenial. Sehingga perlu adanya konservasi, inovasi, modivikasi. “Dan itu sangat penting seperti yang tadi saya sampaikan Estetika Grostek, yaitu sesuatu yang tidak pernah selesai, selalu berubah, selalu berkembang, selalu ada peluang-peluang ada inovasi dan kita kalau merasa puas dengan keadaan seperti ini, itu lambat laun akan menjadikan karya seni mandeg. Jadi kita harus merasa tidak pernah selesai,“ kata Prof. Sri Rustiyanti.
Estetika Grostek ini seperti yang disampaikan Sri dalam orasi ilmiahnya, yaitu perkembangan konsep estetika sebagai cabang ilmu filsafat yang sangat holistik.
Kata Sri, Estetika Grostek sebagai penguatan kepakaran keilmuan Guru Besarnya di bidang ilmu Seni Budaya Folklor. Pemahaman seni budaya folklor sangatlah holistik karena mencakup semua bidang seni, baik Seni Sastra (mantifact), Seni Pertunjukan (sosiofact), maupun Seni Rupa (artefact).
Bersama Keluarga (foto Asep GP) |
Bentuk folklor ini menurut Jan Harold Brunvard, ahli folklor Amerika Serikat, memiliki tiga bentuk kelompok besar Folklor Lisan, yang bentuknya memang murni lisan, Folklor Sebagian Lisan, dan Folklor Bukan Lisan yang bentuknya bukan lisan, meskipun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.
Adapun bidang ilmu kepakaran untuk usulan Guru Besar lebih difokuskan kepada Folklor Sebagian Lisan yang merupakan lintas disiplin ilmu dengan background knowledge dan riwayat pendidikan irisan keilmuan yang Sri tekuni dari Kajian Seni Pertunjukan, Kajian Budaya, serta homebase di Prodi Antropologi Budaya Fakultas Budaya dan Media. “Kepakaran Seni Budaya Folklor ini dibutuhkan sejak saya ditugaskan oleh Rektor ISBI Bandung Prof. Dr. Een Herdiani untuki mutasi dari hombase Seni Tari (Fakultas Seni Pertunjukan) ke homebase Antropologi Budaya (Fakultas Budaya dan Media),“ kata Prof. Sri
Estetika Grotek di dalamnya ada pembahasan tentang seni dan metafisika yang mengkaji segala hakikat yang ada dalam semesta. Setiap orang memiliki kriteria keindahan yang bersifat individu, tetapi memiliki standar sesuai dengan dasar teorinya. Seperti teori Estetika Formil (terletak pada bentuknya), teori Estetika Ekspresionis (mempunya maksud dan tujuan berekspresi), teori Estetika Psikologis yang memuat tentang empati, simpati, respon, dan kepuasan), serta teori Estetika Emosionalisme (yang terletak pada ekspresi emosi).
Estetika yang terdapat dalam folklor Nusantara tidak hanya secara tekstualitas pada bentuk fisik luarnya saja melainkan juga terletak pada kontekstualitas yang memiliki makna dan nilai-nilai estetika untuk memberikan manfaat dalam kehidupan manusia. Makna dan amanat karya tersebut seperti falsafah yang mengandung filosofi kehidupan, nasihat, petuah, ajaran tentang moral, berbudi pekerti mulia, nilai-nilai kebajikan, keutamaan, dan keluhuran yang menunjukkan kehidupan manusia ke jalan kebenaran.
Pangwilujeng dari Gubernur Jawa Barat (foto Asep GP) |
Menarik disimak, sebagai penajaman pengetahuan tentang pemahaman seni budaya folklor yang sangat luas, penelitian Sri juga mengkaji relevansi nilai-nilai kearifan lokal Sastra Minang dan Sunda dalam keberagaman Folkor Indonesia ini.
“Saya sebagai orang Minang tapi separoh hidup saya ada di sini (Tanah Sunda/Bandung), anak keluarga saya bahkan saya punya cucu di sini dan sekarang saya ada di komunitas Sunda. Saya mengetahui bagaimana kearifan lokal (filosofi) Sunda dan Minang itu ternyata punya konotasi yang hampir sama. Itu dalam penelitian Doktor yang saya lakukan selama 3 tahun, saya menemukan beberapa kearifan lokal Sunda - Minang itu ternyata ada benang merahnya dan banyak yang bisa kita gali mempunyai nilai-nilai yang sama,” demikian kata Prof Sri Rustiyanti.
(18 variabel panduan perilaku sebagai Similaritas Transformasi Filosofi Minang & Sunda ini pada tahun 2022 sudah diajukan ke HAKI).
**
Prof. Dr. Sri Rustiyanti, S.Sen,. M.Sn, dilahirkan di Surakarta 2 Juli 1966. Mengajar di ISBI Bandung sejak 1993, sebagai dosen tetap Prodi Antropologi Budaya, fakultas Budaya dan Media ISBI Bandung. Sri adalah alumni lulusan Program D3 Jurusan Tari Padangpanjang (90), S1 Jurusan Tari ASKI Surakarta (92), S2 Pengkajian Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta (2006), dan S3 Kajian Budaya FIB Unpad (2013). Mengajar mata kuliah Seni Pertunjukan Indonesia, Kajian seni Pertunjukan, Folklor Indonesia, Multikulturalisme, Estetika, dan Kritik Seni.
Dalam lingkungan keluarga Sri adalah istri dari Ir. Zamhasri Aziz yang dikaruniai dua orang putra, Faath Ary Pratama dan Iqbal Janitra. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment