Monday, October 25, 2021
Senin, 18 Oktober 2021, Dr. Een Herdiani S.Sen.,M.Hum, dikukuhkan menjadi Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Tari . Acara pengukuhan berlangsung di Gedung Sunan Ambu, Jl. Buah Batu No. 212 Kota Bandung.
Hal tersebut tentu saja membanggakan almamaternya, sebab Guru Besar di ISBI kini bertambah lagi, juga jadi kareueus dunia tari Sunda. Dan keluarganya.
Suami Een, Drs. H. Ono Karyono M.MPd, dengan wajah sumringah mengisahkan rasa bangganya kepada wartawan.
Dari dulu hingga sekarang sikap dan perilaku istrinya tidak berubah, bisa menempatkan situasi pada tempatnya. Dia di rumah bisa menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anak dan menjadi istri bagi suaminya, dan kalau di kantor dia berperan sebagai pegawai/pemimpin yang betul-betul penuh tanggung jawab.
“Oleh karenanya saya selalu memberikan nasehat jaga kesehatan dan terus cintai almamater tempat dimana kita bekerja, dan ingat harus selalu dekat kepada Alloh SWT juga harus ingat bahwa semua yang telah diraih itu adalah berkat bantuan dari semua pihak dan Alloh SWT,“ katan Ono serius.
Kegembiraan itu juga terpancar dari keluarga besarnya yang sengaja datang berombongan dari Ciamis. Ayah Een, H. Iyas Somantri (Ibunya Hj. Elin Herlinawati (Almh), bercerita dengan bahasa Sunda yang kental bahwa anak ke-3 nya itu sedari kecil sangat rajin dan bersemangat sekali untuk meneruskan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. “Alhamdulillah ayeuna dugi ka jucungna (Alhamdulillah sekarang sudah tercapai)“, katanya haru. Dari 5 bersaudara, hanya Een yang berkiprah dalam bidang seni, kakak dan adik-adiknya ada yang menjadi dosen dan guru.
Prof. Een dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya yang bejudul, “Tubuh Tari Sebagai Arsip dan Artefak Cultural”, mengatakan, topik ini penting diangkat agar pelaku seni dan budaya serta pemerintah sebagai penyangga kekayaan seni dan budaya Indonesia menyadari bahwa tubuh tari sebagai arsip, punya makna penting sebagai artefak kultural dan artefak estetik yang perlu diselamatkan dari kehilangan jejak sejarahnya.
Di bawah ini disajikan isi, hampir secara utuh, pidato ilmiahnya.
Tubuh, kata Een, merupakan modal dasar sebagai medium utama tari. Tubuh sarat makna dan simbol yang memiliki fungsi dan bentuk. Tubuh dalam tari menjadi penanda makna-makna yang terungkap dalam gerak. Bentuk tubuh yang indah, tinggi, ramping, atau tubuh yang gemuk, bulat, pendek, tetap melahirkan imaji estetik dalam tari. Tubuh tari dipandang berbeda dari setiap individu tergantung pengalamannya. Pengalaman sangat menentukan terhadap pemaknaan tubuh tari. Tubuh dapat dibelai, dapat dicintai, bahkan dibenci, tubuh dapat dianggap indah atau jelek juga dapat dianggap suci atau profan. Bagaimana tubuh didefinisikan secara fisik maupun sosial (Synnott, terj.2007:11).
Tapi tubuh juga bukan hanya kulit, daging, dan tulang yang dirangkai dari bagian-bagiannya. Di sekitar tubuh muncul berbagai kontroversi yang menghebat, mengenai ikatan-ikatan, makna, nilai, kriteria hidup dan mati, serta bagaimana tubuh ditinggali dan dicintai (Synnot, terj. Maezier.2007:1-20). Tubuh tidak hanya telah ada secara alamiah, tetapi menjadi sebuah kategori sosial dengan maknanya yang berbeda yang dihasilkan dan dikembangkan setiap zaman oleh populasi yang berbeda.
Demikian pula halnya dengan atribut tubuh sesungguhnya bersifat sosial. Tubuh menjadi simbol utama diri dan penentu diri yang utama. Tubuh sebagai sebuah fenomena sosial beragam dari budaya ke budaya. Tubuh fisik dan fenomenologis sekaligus produk budaya. Tari sebagai bagian kecil dari unsur kebudayaan menjadi budaya yang memunculkan kekhasan si pencipta yang dituangkan melalui tubuh tari. Tubuh tari menjadi fenomena sosial dan kultural (Synnott, terj. Maezier, 2007: 1-5).
Tubuh yang menari dalam diskursus teori-teori kritis sering dibaca sebagai wacana yang menyimpan ingatan atau memori sebagai lintasan sejarah masa lampau hingga kekinian. Tubuh menari bergerak mengekspresikan perasaannya yang kemudian disebut sebagai “tarian”, sangat terikat oleh ruang dan waktu. Disinilah tari memiliki makna sebagai presentasi kultural yang bersifat sesaat. Gerak tubuh menari tidak dapat disimpan seperti visual art, tulisan atau patung sehingga ungkapan gerak tari dari tarian yang sama sangat memungkinkan terjadi perubahan. Hal ini pun sebagai konsekuensi logis pewarisan budaya masyarakat Indonesia sebelum masa Hindu - Budha hanya lewat tradisi lisan, demikian halnya dengan tari, hanya disimpan dalam ingatan dan tuturan.
Prof. Dr. Een Herdiani, Berharap Tari tak Kehilangan Jejak Sejarahnya |
Tubuh tari mulai terekam pada masa Hindu-Budha dalam relief candi Borobudur dan Prambanan serta beberapa candi lainnya yang dibangun sekitar abad ke-9 Masehi. Pada relief-relief tersebut tampak tubuh tari dengan gaya dan teknik yang kemungkinan besar pada masa Mataram Kuna. Ragam sikap tari yang ditemukan di situs-situs kuna tersebut membuka ikonografi tari sebagai ladang penjelajahan yang menghubungkan arkeologi dengan seni pertunjukan. Seperti saat ini dilakukan oleh kelompok The Sound of Borobudur, yang melakukan pelacakan terhadap alat-alat musik yang terdapat dalam relief candi Borobudur. Instrumen tersebut kemudian dikumpulkan satu persatu dan dimainkan dengan kolaborasi yang melahirkan alunan bunyi nan indah dan bermakna.
Demikian juga dengan yang dilakukan oleh Iyer (Lovez Y. Royo) yang berkolaborasi dengan koreografer, penari dari Surakarta Mugiyono Kasido, menciptakan tarian baru dengan membaca kembali relief-relief di candi Prambanan sebagai dasar penciptaannya.
Tubuh tari juga terekam dalam berbagai naskah-naskah kuna seperti Serat Wedhataya, kitab, babad, dalam bentuk kisah. Juga dalam prasasti-prasasti, Waharakuti (840 A.D.) dan Mantyasih (904 A.D.) yang menyebutkan matapukan yang berarti “menari tari topeng”. Prasasti Perot (850 A.D.) menyebutkan istilah manapal yang juga bearti “menari tari topeng”. Dalam prasasti tersebut terdapat juga istilah mangigal = mangigel, “menari tanpa topeng”. Selain itu terdapat pula prasasti Salud Mangli (898 A.D.), Panaraga (901 A.D.), Kembang Arum (902 A.D.), dll, (Soedarsono, 1997:5). Jejak-jejak sejarah ini menjadi penanda tubuh tari tercatat dalam sebuah bentuk artefak, mantifak, maupun sosiofak.
Tubuh tari, ingatan tari, dan teknik tari dalam hal ini tidak hanya berupa paparan atas apa yang bisa direkam, tetapi juga tubuh pelaku sebagai metode archival itu sendiri mampu berbicara. Arsip yang didedikasikan pada bagaimana tubuh berperan sebagai pengingat menjadi sangat penting dalam pelacakan sejarah tari di Inonesia setelah masa kemerdekaan di mana para pelakunya masih ada dapat dijadikan narasumber utama. Tubuh penari mesti menjadi penutur yang menjadi alternatif penggunaan metode ethno-narative-archive. Ketika identitas kultural penari berhubungan langsung dengan identitas kepenariannya maka tubuh penari tidak hanya mewakili dirinya sendiri sebagai individu, tetapi mewakili gaya tari serta wilayah kultural.
Sebagai contoh, Sardono W. Kusumo, Sentot, Retno Maruti, Didik Nini Towok, Miroto, Eko Suprianto, koreografer-koreografer handal di Indonesia, ketubuhannya membawa persepsi dan representasi pribadi dan kulturalnya sebagai penari Jawa. Sebut juga Huriah Adam, Gusmiati Suid, Boy G. Sakti, koreografer-koreografer yang ketubuhannya membawa persepsi dan representasi pribadi dan kulturalnya sebagai penari Sumatera Barat. Demikian juga halnya dengan R. Sambas Wirakusumah, R. Tjetje Somantri, R. Nugraha Soediredja, Gugum Gumbira Tirasondjadja, Iyus Rusliana, ketubuhannya membawa persepsi dan representasi pribadi dan kulturalnya sebagai penari Sunda. Sebut juga Mimi Dewi, Mimi Suji, Mimi Dasih, Mimi Sawitri, Mimi Rasinah, Mimi Keni, Sujana Arja, Wentar Kontjar, dll, yang ketubuhannya menjadi peletak sejarah Tari Topeng Cirebon yang menajdi arsip estetik dan arsip kultural.
Arsip estetik bagaimana keindahan gerak-gerak yang dilahirkan oleh tubuh-tubuh penari satu dengan lainnya memiliki nilai keindahan dan keunikannya masing-masing. Sementara arsip kultural bagaimana tubuh-tubuh penari mewakili wilayah budaya dengan kekhasan gaya dari masing-masing etnik. Sungguh luar biasa keragaman tubuh tari yang terlahir dari nenek moyang kita sejak zaman pra-sejarah hingga kini yang telah melewati perjalanan sejarah panjang berabad-abad lamanya.
Ini menjadi arsip yang berupa artefak estetik dan kultural yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. “Dan saya menjadi bagian terkecil dari penerima estapet pewarisan tari tradisi Sunda. Dengan harapan arsip ketubuhan yang berbentuk artefak estetik dan kultural dapat mengalir pada pewaris selanjutnya,“ papar Een.
Artefak estetik tubuh tari bukan hanya terlihat oleh mata telanjang, tetapi setiap sikap gerak, rangkaian gerak, kalimat gerak, itu memiliki makna memiliki jiwa, memiliki ruh. Ketubuhan penari akan nampak perbedaan dari pengalaman-pengalaman yang dapat menunjukkan “ruh” ketubuhan seorang penari. Begitu banyak tubuh-tubuh tari yang sejatinya merupakan arsip yang belum direkomendasikan. Padahal semua itu memiliki arti penting yang menjadi peletak jejak sejarah tari di Indonesia.
Bersama Keluarga, Bahagia |
Tubuh sebagai presentasi kultural dan sosial. Tubuh tari dalam sebuah upacara ritual merepresentasikan rasa dan jiwanya yang megembara jauh ke dalam tubuhnya sendiri. Semakin dalam mengembara dengan gerak-geraknya yang terungkap maka semakin dalam mengenal jengkal demi jengkal tubuh.
Tubuh penari dapat berbicara dengan tubuhnya sendiri, untuk siapa tubuh tarinya dipersembahkan. Maka tidak heran jika Mimi Sawitri menyebutkan, “Menari untuk Tuhan”. Bagaimana ketubuhan bergerak untuk Tuhan dengan gerakan yang hikmat teramat dalam. Bagaimana tubuh penari Panji yang direpresentasikan ke dalam gerak, makna, dan ruh yang terpancar dalam gerakan tubuh yang tenang mengalir sinergis antar tubuh dan Tuhan yang nun jauh berada di sana. Serta dengan tingkat ma’rifat karakter manusia tertinggi. Artefak kultural gerak tubuh penari dapat menunjukkan identitas wilayah budayanya.
Tubuh tari sebagai artefak sosial. Bagaimana tubuh tari berkaitan erat dengan lingkungan yang mengitarinya. Bagaima sebuah pesta panen, pesta laut, dan pesta-pesta lainnya yang merepresentasikan tubuh penari dalam kegembiraan dan kebahagiaan. Aura gerak tubuh dinamis menggugah dan mengundang keinginan untuk ikut terlibat lebih dalam. Tubuh tari yang hidup dan berkembang di keraton, menunjukkan representasi dari kelas sosial penikmat gerak tubuh tari. Pola-pola gerak tubuh penari di lingkungan istana tertata dan terpola sampai batas-batas, gerak tubuh pun diatur sedemikian rupa.
Sementara gerak tubuh penari yang hidup di kalangan rakyat menunjukkan kebebasan tanpa pembatasan-pembatasan yang mengekang pada tubuh penari. Tubuh tari dapat menunjukkan tingkat strata sosial dan dapat menjadi penanda perkembangan pola pikir manusia, hingga muncul tubuh tari sebagai representasi seni untuk pertunjukan.
Maka disinilah pentingnya bagaimana tubuh tari sebagai arsip, arterfak estetik dan artefak kultural terus digali dan diamati hingga menemukan benang merah jejak-jejak sejarah tari dari yang bersifat individu maupun komunal. Dengan perkembangan teknologi saat ini tubuh tari sebagai arsip, artefak estetik dan artefak kultural dapat ditangkap melalui alih media agar sejarah tari Indonesia tidak kehilangan jejak.
***
Di hadapan para awak media Prof. Een Herdiani kembali menegaskan, bahwa dia sebagai profesor ilmu sejarah tari satu-satunya ingin menghimbau kepada masyarakat, agar tidak lupa untuk mengarsipkan tari baik sebagai arsip budaya, arsip kultural maupun arsip esteteik. “Oleh sebab itu kita berharap kepada seluruh seniman atau khususnya pelaku dunia tari jangan melupakan dunia arsip ini. Peristiwa dan event apa pun yang saudara lakukan harus diarsipkan harus didokumentasikan sehingga akan menjadi jejak sejarah tari di Indonesia,“ tegasnya.
Pangwilujeng |
Kata Een kita memang sekarang memiliki dokumen-dokumen tari tetapi belum didigitalkan dan perlu dimetadatakan, bahwa data-data itu bukan hanya digitalisasi saja tetapi penjelasannya atau meta datanya harus dijelaskan, karena ini akan menjadi sangat penting, warisan kita untuk anak cucu yang akan melestarikan ke depannya,
“Karena kita melihat bagaimana tari-tari tradisi sudah banyak kehilangan jejak, karena kita lihat sekarang banyak orang yang tidak mau peduli pada seni tradisi, maka dari itu seni tari tradisi dan apa pun yang berkaitan dengan dunia tari itu perlu didigitalkan dan dimetadatakan sehingga masyarakat dan para generasi muda ke depan akan mengetahui kekayaan seni tradisi kita. Bila tidak ada pengarsipan, pendokumentasian dan tidak didigitalkan, mungkin kita akan kehilangan. Oleh sebab itu mari data-data yang sudah ada itu kita arsipkan,“ pungkasnya.
***
Profil
Een Herdiani adalah putra ka-3 dari 5 bersaudara yang lahir dari pasangan H. Iyas Somantri dan Hj. Elin Herlinayati (Almh). Een dilahirkan di Ciamis, 6 Juli 1967.
Istri Drs. H. Ono Karyono, M. M.Pd., dan ibu dari Muhammad Mughni Munggaran dan Siti Malikul Mulki, riwayat pendidikannya dimulai dari SDN Pasirangin Ciamis (73-79), SMPN 1 Ciamis (79-82), SMKI Bandung – Seni Tari (82-86), Diploma ASTI Bdg-Seni Tari (86-89), STSI Surakarta-Seni Tari (S1, 89-92), UGM Yogyakarta (S2, 97-2000), S3 Unpad Ilmu Sejarah (2008), Sandwich Program Faculty of Humanities Universiteit Leiden, Netherlands (Sep 2010-Des 2010). (Asep GP)***
Rektor ISBI Bandung, Dr. Een Herdiani, S.Sen., M.Hum, Jadi Profesor
Posted by
Tatarjabar.com on Monday, October 25, 2021
Senin, 18 Oktober 2021, Dr. Een Herdiani S.Sen.,M.Hum, dikukuhkan menjadi Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Tari . Acara pengukuhan berlangsung di Gedung Sunan Ambu, Jl. Buah Batu No. 212 Kota Bandung.
Hal tersebut tentu saja membanggakan almamaternya, sebab Guru Besar di ISBI kini bertambah lagi, juga jadi kareueus dunia tari Sunda. Dan keluarganya.
Suami Een, Drs. H. Ono Karyono M.MPd, dengan wajah sumringah mengisahkan rasa bangganya kepada wartawan.
Dari dulu hingga sekarang sikap dan perilaku istrinya tidak berubah, bisa menempatkan situasi pada tempatnya. Dia di rumah bisa menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anak dan menjadi istri bagi suaminya, dan kalau di kantor dia berperan sebagai pegawai/pemimpin yang betul-betul penuh tanggung jawab.
“Oleh karenanya saya selalu memberikan nasehat jaga kesehatan dan terus cintai almamater tempat dimana kita bekerja, dan ingat harus selalu dekat kepada Alloh SWT juga harus ingat bahwa semua yang telah diraih itu adalah berkat bantuan dari semua pihak dan Alloh SWT,“ katan Ono serius.
Kegembiraan itu juga terpancar dari keluarga besarnya yang sengaja datang berombongan dari Ciamis. Ayah Een, H. Iyas Somantri (Ibunya Hj. Elin Herlinawati (Almh), bercerita dengan bahasa Sunda yang kental bahwa anak ke-3 nya itu sedari kecil sangat rajin dan bersemangat sekali untuk meneruskan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. “Alhamdulillah ayeuna dugi ka jucungna (Alhamdulillah sekarang sudah tercapai)“, katanya haru. Dari 5 bersaudara, hanya Een yang berkiprah dalam bidang seni, kakak dan adik-adiknya ada yang menjadi dosen dan guru.
Prof. Een dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya yang bejudul, “Tubuh Tari Sebagai Arsip dan Artefak Cultural”, mengatakan, topik ini penting diangkat agar pelaku seni dan budaya serta pemerintah sebagai penyangga kekayaan seni dan budaya Indonesia menyadari bahwa tubuh tari sebagai arsip, punya makna penting sebagai artefak kultural dan artefak estetik yang perlu diselamatkan dari kehilangan jejak sejarahnya.
Di bawah ini disajikan isi, hampir secara utuh, pidato ilmiahnya.
Tubuh, kata Een, merupakan modal dasar sebagai medium utama tari. Tubuh sarat makna dan simbol yang memiliki fungsi dan bentuk. Tubuh dalam tari menjadi penanda makna-makna yang terungkap dalam gerak. Bentuk tubuh yang indah, tinggi, ramping, atau tubuh yang gemuk, bulat, pendek, tetap melahirkan imaji estetik dalam tari. Tubuh tari dipandang berbeda dari setiap individu tergantung pengalamannya. Pengalaman sangat menentukan terhadap pemaknaan tubuh tari. Tubuh dapat dibelai, dapat dicintai, bahkan dibenci, tubuh dapat dianggap indah atau jelek juga dapat dianggap suci atau profan. Bagaimana tubuh didefinisikan secara fisik maupun sosial (Synnott, terj.2007:11).
Tapi tubuh juga bukan hanya kulit, daging, dan tulang yang dirangkai dari bagian-bagiannya. Di sekitar tubuh muncul berbagai kontroversi yang menghebat, mengenai ikatan-ikatan, makna, nilai, kriteria hidup dan mati, serta bagaimana tubuh ditinggali dan dicintai (Synnot, terj. Maezier.2007:1-20). Tubuh tidak hanya telah ada secara alamiah, tetapi menjadi sebuah kategori sosial dengan maknanya yang berbeda yang dihasilkan dan dikembangkan setiap zaman oleh populasi yang berbeda.
Demikian pula halnya dengan atribut tubuh sesungguhnya bersifat sosial. Tubuh menjadi simbol utama diri dan penentu diri yang utama. Tubuh sebagai sebuah fenomena sosial beragam dari budaya ke budaya. Tubuh fisik dan fenomenologis sekaligus produk budaya. Tari sebagai bagian kecil dari unsur kebudayaan menjadi budaya yang memunculkan kekhasan si pencipta yang dituangkan melalui tubuh tari. Tubuh tari menjadi fenomena sosial dan kultural (Synnott, terj. Maezier, 2007: 1-5).
Tubuh yang menari dalam diskursus teori-teori kritis sering dibaca sebagai wacana yang menyimpan ingatan atau memori sebagai lintasan sejarah masa lampau hingga kekinian. Tubuh menari bergerak mengekspresikan perasaannya yang kemudian disebut sebagai “tarian”, sangat terikat oleh ruang dan waktu. Disinilah tari memiliki makna sebagai presentasi kultural yang bersifat sesaat. Gerak tubuh menari tidak dapat disimpan seperti visual art, tulisan atau patung sehingga ungkapan gerak tari dari tarian yang sama sangat memungkinkan terjadi perubahan. Hal ini pun sebagai konsekuensi logis pewarisan budaya masyarakat Indonesia sebelum masa Hindu - Budha hanya lewat tradisi lisan, demikian halnya dengan tari, hanya disimpan dalam ingatan dan tuturan.
Prof. Dr. Een Herdiani, Berharap Tari tak Kehilangan Jejak Sejarahnya |
Tubuh tari mulai terekam pada masa Hindu-Budha dalam relief candi Borobudur dan Prambanan serta beberapa candi lainnya yang dibangun sekitar abad ke-9 Masehi. Pada relief-relief tersebut tampak tubuh tari dengan gaya dan teknik yang kemungkinan besar pada masa Mataram Kuna. Ragam sikap tari yang ditemukan di situs-situs kuna tersebut membuka ikonografi tari sebagai ladang penjelajahan yang menghubungkan arkeologi dengan seni pertunjukan. Seperti saat ini dilakukan oleh kelompok The Sound of Borobudur, yang melakukan pelacakan terhadap alat-alat musik yang terdapat dalam relief candi Borobudur. Instrumen tersebut kemudian dikumpulkan satu persatu dan dimainkan dengan kolaborasi yang melahirkan alunan bunyi nan indah dan bermakna.
Demikian juga dengan yang dilakukan oleh Iyer (Lovez Y. Royo) yang berkolaborasi dengan koreografer, penari dari Surakarta Mugiyono Kasido, menciptakan tarian baru dengan membaca kembali relief-relief di candi Prambanan sebagai dasar penciptaannya.
Tubuh tari juga terekam dalam berbagai naskah-naskah kuna seperti Serat Wedhataya, kitab, babad, dalam bentuk kisah. Juga dalam prasasti-prasasti, Waharakuti (840 A.D.) dan Mantyasih (904 A.D.) yang menyebutkan matapukan yang berarti “menari tari topeng”. Prasasti Perot (850 A.D.) menyebutkan istilah manapal yang juga bearti “menari tari topeng”. Dalam prasasti tersebut terdapat juga istilah mangigal = mangigel, “menari tanpa topeng”. Selain itu terdapat pula prasasti Salud Mangli (898 A.D.), Panaraga (901 A.D.), Kembang Arum (902 A.D.), dll, (Soedarsono, 1997:5). Jejak-jejak sejarah ini menjadi penanda tubuh tari tercatat dalam sebuah bentuk artefak, mantifak, maupun sosiofak.
Tubuh tari, ingatan tari, dan teknik tari dalam hal ini tidak hanya berupa paparan atas apa yang bisa direkam, tetapi juga tubuh pelaku sebagai metode archival itu sendiri mampu berbicara. Arsip yang didedikasikan pada bagaimana tubuh berperan sebagai pengingat menjadi sangat penting dalam pelacakan sejarah tari di Inonesia setelah masa kemerdekaan di mana para pelakunya masih ada dapat dijadikan narasumber utama. Tubuh penari mesti menjadi penutur yang menjadi alternatif penggunaan metode ethno-narative-archive. Ketika identitas kultural penari berhubungan langsung dengan identitas kepenariannya maka tubuh penari tidak hanya mewakili dirinya sendiri sebagai individu, tetapi mewakili gaya tari serta wilayah kultural.
Sebagai contoh, Sardono W. Kusumo, Sentot, Retno Maruti, Didik Nini Towok, Miroto, Eko Suprianto, koreografer-koreografer handal di Indonesia, ketubuhannya membawa persepsi dan representasi pribadi dan kulturalnya sebagai penari Jawa. Sebut juga Huriah Adam, Gusmiati Suid, Boy G. Sakti, koreografer-koreografer yang ketubuhannya membawa persepsi dan representasi pribadi dan kulturalnya sebagai penari Sumatera Barat. Demikian juga halnya dengan R. Sambas Wirakusumah, R. Tjetje Somantri, R. Nugraha Soediredja, Gugum Gumbira Tirasondjadja, Iyus Rusliana, ketubuhannya membawa persepsi dan representasi pribadi dan kulturalnya sebagai penari Sunda. Sebut juga Mimi Dewi, Mimi Suji, Mimi Dasih, Mimi Sawitri, Mimi Rasinah, Mimi Keni, Sujana Arja, Wentar Kontjar, dll, yang ketubuhannya menjadi peletak sejarah Tari Topeng Cirebon yang menajdi arsip estetik dan arsip kultural.
Arsip estetik bagaimana keindahan gerak-gerak yang dilahirkan oleh tubuh-tubuh penari satu dengan lainnya memiliki nilai keindahan dan keunikannya masing-masing. Sementara arsip kultural bagaimana tubuh-tubuh penari mewakili wilayah budaya dengan kekhasan gaya dari masing-masing etnik. Sungguh luar biasa keragaman tubuh tari yang terlahir dari nenek moyang kita sejak zaman pra-sejarah hingga kini yang telah melewati perjalanan sejarah panjang berabad-abad lamanya.
Ini menjadi arsip yang berupa artefak estetik dan kultural yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. “Dan saya menjadi bagian terkecil dari penerima estapet pewarisan tari tradisi Sunda. Dengan harapan arsip ketubuhan yang berbentuk artefak estetik dan kultural dapat mengalir pada pewaris selanjutnya,“ papar Een.
Artefak estetik tubuh tari bukan hanya terlihat oleh mata telanjang, tetapi setiap sikap gerak, rangkaian gerak, kalimat gerak, itu memiliki makna memiliki jiwa, memiliki ruh. Ketubuhan penari akan nampak perbedaan dari pengalaman-pengalaman yang dapat menunjukkan “ruh” ketubuhan seorang penari. Begitu banyak tubuh-tubuh tari yang sejatinya merupakan arsip yang belum direkomendasikan. Padahal semua itu memiliki arti penting yang menjadi peletak jejak sejarah tari di Indonesia.
Bersama Keluarga, Bahagia |
Tubuh sebagai presentasi kultural dan sosial. Tubuh tari dalam sebuah upacara ritual merepresentasikan rasa dan jiwanya yang megembara jauh ke dalam tubuhnya sendiri. Semakin dalam mengembara dengan gerak-geraknya yang terungkap maka semakin dalam mengenal jengkal demi jengkal tubuh.
Tubuh penari dapat berbicara dengan tubuhnya sendiri, untuk siapa tubuh tarinya dipersembahkan. Maka tidak heran jika Mimi Sawitri menyebutkan, “Menari untuk Tuhan”. Bagaimana ketubuhan bergerak untuk Tuhan dengan gerakan yang hikmat teramat dalam. Bagaimana tubuh penari Panji yang direpresentasikan ke dalam gerak, makna, dan ruh yang terpancar dalam gerakan tubuh yang tenang mengalir sinergis antar tubuh dan Tuhan yang nun jauh berada di sana. Serta dengan tingkat ma’rifat karakter manusia tertinggi. Artefak kultural gerak tubuh penari dapat menunjukkan identitas wilayah budayanya.
Tubuh tari sebagai artefak sosial. Bagaimana tubuh tari berkaitan erat dengan lingkungan yang mengitarinya. Bagaima sebuah pesta panen, pesta laut, dan pesta-pesta lainnya yang merepresentasikan tubuh penari dalam kegembiraan dan kebahagiaan. Aura gerak tubuh dinamis menggugah dan mengundang keinginan untuk ikut terlibat lebih dalam. Tubuh tari yang hidup dan berkembang di keraton, menunjukkan representasi dari kelas sosial penikmat gerak tubuh tari. Pola-pola gerak tubuh penari di lingkungan istana tertata dan terpola sampai batas-batas, gerak tubuh pun diatur sedemikian rupa.
Sementara gerak tubuh penari yang hidup di kalangan rakyat menunjukkan kebebasan tanpa pembatasan-pembatasan yang mengekang pada tubuh penari. Tubuh tari dapat menunjukkan tingkat strata sosial dan dapat menjadi penanda perkembangan pola pikir manusia, hingga muncul tubuh tari sebagai representasi seni untuk pertunjukan.
Maka disinilah pentingnya bagaimana tubuh tari sebagai arsip, arterfak estetik dan artefak kultural terus digali dan diamati hingga menemukan benang merah jejak-jejak sejarah tari dari yang bersifat individu maupun komunal. Dengan perkembangan teknologi saat ini tubuh tari sebagai arsip, artefak estetik dan artefak kultural dapat ditangkap melalui alih media agar sejarah tari Indonesia tidak kehilangan jejak.
***
Di hadapan para awak media Prof. Een Herdiani kembali menegaskan, bahwa dia sebagai profesor ilmu sejarah tari satu-satunya ingin menghimbau kepada masyarakat, agar tidak lupa untuk mengarsipkan tari baik sebagai arsip budaya, arsip kultural maupun arsip esteteik. “Oleh sebab itu kita berharap kepada seluruh seniman atau khususnya pelaku dunia tari jangan melupakan dunia arsip ini. Peristiwa dan event apa pun yang saudara lakukan harus diarsipkan harus didokumentasikan sehingga akan menjadi jejak sejarah tari di Indonesia,“ tegasnya.
Pangwilujeng |
Kata Een kita memang sekarang memiliki dokumen-dokumen tari tetapi belum didigitalkan dan perlu dimetadatakan, bahwa data-data itu bukan hanya digitalisasi saja tetapi penjelasannya atau meta datanya harus dijelaskan, karena ini akan menjadi sangat penting, warisan kita untuk anak cucu yang akan melestarikan ke depannya,
“Karena kita melihat bagaimana tari-tari tradisi sudah banyak kehilangan jejak, karena kita lihat sekarang banyak orang yang tidak mau peduli pada seni tradisi, maka dari itu seni tari tradisi dan apa pun yang berkaitan dengan dunia tari itu perlu didigitalkan dan dimetadatakan sehingga masyarakat dan para generasi muda ke depan akan mengetahui kekayaan seni tradisi kita. Bila tidak ada pengarsipan, pendokumentasian dan tidak didigitalkan, mungkin kita akan kehilangan. Oleh sebab itu mari data-data yang sudah ada itu kita arsipkan,“ pungkasnya.
***
Profil
Een Herdiani adalah putra ka-3 dari 5 bersaudara yang lahir dari pasangan H. Iyas Somantri dan Hj. Elin Herlinayati (Almh). Een dilahirkan di Ciamis, 6 Juli 1967.
Istri Drs. H. Ono Karyono, M. M.Pd., dan ibu dari Muhammad Mughni Munggaran dan Siti Malikul Mulki, riwayat pendidikannya dimulai dari SDN Pasirangin Ciamis (73-79), SMPN 1 Ciamis (79-82), SMKI Bandung – Seni Tari (82-86), Diploma ASTI Bdg-Seni Tari (86-89), STSI Surakarta-Seni Tari (S1, 89-92), UGM Yogyakarta (S2, 97-2000), S3 Unpad Ilmu Sejarah (2008), Sandwich Program Faculty of Humanities Universiteit Leiden, Netherlands (Sep 2010-Des 2010). (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment