Sunday, October 17, 2021
Pada Tanggal 10 Oktober 2021 telah berlangsung webinar “Majlis Pelancaran Generasi 21 & Bual Bicara II: “Norma Baharu: Seni Dalam Teknologi”.
Kegiatan yang diresmikan langsung oleh Menteri Pelancongan, Seni dan Budaya Malaysia, Yang Berhormat Dato’ Sri Hajah Nancy Shukri ini menampilkan beberapa pembicara seperti Prof. Dr. Mohd Zahuri Khairani (Dekan Universiti Pendidikan Sultan Indri Malaysia), Yang Mulia Raja Azhar Bin Idris (Aktivis Seni), Abdul Raoof Bin Ali (Guru Pendidikan Seni Visual SMK LKTP KG Awah Pahang), serta Pensyarah (penceramah/pembicara) dari Indonesia Warli Haryana, S.Pd., M.Pd (praktisi seni dan dosen Fakultas Pendidikan Seni Rupa dan Desain (FPSD) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung), dan dimoderatori oleh Dr. Azerai Bin Azmi (IPG Kampus Pendidikan Teknik Negeri Sembilan). Program ini melibatkan 5 negara Asean, Malaysia, Indonesia, Brunei dan Thailand.
Menjadi wakil Indonesia dalam webinar antar bangsa atau internasional ini tentu saja menjadi suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagi Walri Haryana.
“Saya berterima kasih dan bersyukur sekali karena saya menjadi perwakilan antar bangsa untuk menjadi Pemateri dalam acara Majlis Pelancaran Generasi 21, yang memperbincangkan persoalan kehidupan norma baru yaitu tentang seni dan teknologi. Ini tentu jadi kebanggaan tersendiri buat saya, apalagi kegiatan ini dibuka secara langsung oleh Menteri Pelancongan (Pariwisata) Malaysia. Kemudian para pematerinya pun hebat-hebat ada seniman besar, guru besar juga ada Cikgu (Guru) Kesenian yang ada di sana,“ kata Warli bangga.
Warli mengaku dapat info acara ini dari seniman muda Malaysia yang dikenalnya dan sudah beberapa kali main ke Bandung serta sering diskusi dengannya. Dia mengatakan pihak panitia dari UPSI (Universiti Pendidikan Sultan Idris) Malaysia mencari pemateri yang menurut mereka layak untuk menjadi tamu dalam acara itu. Maka Warli diperkenalkan oleh Ketua Pelaksana kegiatan ini, yaitu Puan Ayu (Dr. Norzuraina Mohd Nor). Rupanya gayung bersambut.
Selain itu kata Warli pihaknya punya komunikasi yang baik dan Warli punya kawan yang sempat menjadi salah satu petinggi di UPSI yaitu Prof. Madya Dr. Nasir Ibrahim - beliau sempat menjadi salah satu Pejabat Timbalan Rektor Hal Ehwal Akademik di Akademi Seni Budaya dan Warisan Kebangsaan (Aswara) dan jadi staf ahli rektor di UPSI, beliau pernah tinggal di Rumah Bukit Bandung.
Warli juga berteman dengan beberapa seniman Malaysia seperti Yusof Gajah, seniman muda Naim, Choerudin, Zul Apip juga ketua seniman yang ada di Malaysia Zaki Hadrik. Juga pernah ke UPSI (Universitas Sultan Indris Malaysia) dikenalkan oleh Prof. Cecep Rohendi teman baiknya (2016-2017) Kemudian sebelum covid dirinya pun sudah kerja sama dengan Universiti Teknologi MARA (UiTM)- Shah Alam, Malaysia. Jadi bagi Warli Malaysia tidak asing lagi, sudah jadi rumah keduanya.
“Kami sempat mengadakan kerjasama antar mahasiswa dan mahasiswa kami ada yang belajar di sana selama satu semester begitu juga mahasiswa UiTM belajar di kami. Dan sekarang, saya diberi kehormatan lagi untuk menjadi pemateri inti di acara Majlis Pelancaran Generasi 21, mewakili Indonesia,“ katanya sumringah.
Dalam materinya Warli mengatakan, pada intinya teknologi adalah suatu hal yang menarik. Teknologi yang menurut pandangan umum adalah elektronik atau alat, bagi dia sebagai seorang seniman dan pendidik seni, teknologi adalah suatu cara bagaimana manusia menemukan cara terbaik di dalam tujuan berkeseniannya.
Warli mengaku dari semenjak tahun 90-an ketika di Bandung komputer grafis masih merupakan barang yang langka, dia sudah berkesenian dengan menggunakan teknologi elektronik/digital art tersebut. “Yang saya pahami meskipun sudah puluhan tahun saya menggunakan teknologi tetapi teknologi itu selalu berkembang, sehingga saya merasakan apapun alasannya teknologi itu sebenarnya bukan suatu hal yang patut didewa-dewakan atau dibanggakan tetapi teknologi itu sebenarnya alat bantu kita, maka mau tidak mau kita harus menggunakannya,“ jelasnya.
Maka Warli pun pada tahun 2016 mulai memberanikan diri berpameran karya art digital. Tentu saja dengan segala pro dan kontranya. Tetapi semua itu dia anggap wajar, tinggal bagaimana senimannya punya konsep yang baik.
Dalam sesi tanya jawab Warli pun berbicara tentang pendekatan seni di Indonesia. Menurutnya Indonesia sebagai bangsa yang besar dan memiliki beragam budaya. Maka dalam sistem pembelajarannya menggunakan pendekatan multi kultural, yaitu pendidikan abad 21. Hal ini ditekankan karena pada intinya pada kurikulum-kurikulum sebelumnya pendidikan selalu mengarahkan pada teknologi dan skill sementara pendidikan karakter hilang. “Nah itu nampaknya menjadi pemikiran pemerintah untuk menerapkan sistem baru yaitu menggunakan pendekatan multi kultural agar para seniman, calon senman maupun siswa di dalam pembelajaran pendidikan seni itu akan memahami tentang hakikat berkesenian dan berkebangsaan. Kami adalah bnagsa yang berbudaya tentunya apabila suatu bangsa, masyarakatnya itu peduli dengan kebudayaannya sendiri maka bangsa itu akan maju,“ paparnya.
Warli juga mengatakan, pendidik seni dan seniman harus punya cara berpikir membuat paradigma baru di dalam era industri teknolog saat ini. Mau tidak mau kita harus mengikuti perkembangan teknologi dan itu menurutnya bukan suatu hal yang haram, karena sebagai pendidik seni dan praktisi seni punya jadi diri, orang yang mampu membuat karya yang bermanfaat bagi orang lain. “Jadi alat apapun sepanjang bermanfaat harus kita gunakan,“ katanya.
Intinya kata Warli, teknologi itu hanya sekedar alat bantu yang memudahkan kita dalam bekerja dan dalam hal ini tentunya seniman dimudahkan secara konsep maupun berekspresi. “Karena apapun alasannya yang menjadi besar, yang menjadi karya spektakuler itu adalah proses berpikir dan daya imajinasi seniman itu sendiri, bukan alat atau teknologi. Teknologi adalah merupakan inovasi yang membantu ide kita berperan dalam berkarya,“ tegasnya.
Dalam sesi dua, Warli menerangkan struktur kurikulum pembelajaran di Indonesia dalam dukungannya terhadap seni.
Warli Haryana, mengagungkan teknologi harus disertai pendidikan karakter (Foto - Asep GP) |
Pada dasarnya pendidikan seni di Indonesia, kata Wali, sudah mengadopsi teknologi, baik sebelum dan sesudah zaman kemerdekaan hingga sekarang. Hanya yang menjadi persoalan biasanya antara pendidikan tinggi/akademisi/sekolah dengan industri itu tidak pernah sinergi. Warli mengambil contoh dari pengalaman pribadinya, banyak mahasiswa zaman dahulu, termasuk dirinya, untuk mendapat izasah sarjana (S-1) itu perlu waktu lama (7 tahun), karena selain sekolah harus bekerja untuk biaya sekolah.
Sementara sekarang ini kurikulum pemerintah menjadi angin segar bagi para student, karena para pelajar dan mahasiswa saat ini dimanjakan dengan adanya teknologi dan program. Warli mencontohkan kurikulum yang berkaitan dengan teknologi saat ini adalah kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM ) yang dikeluarkan pada tahun 2020.
Dimana pogram ini bisa menghadirkan seorang mahasiswa di semua prodi termasuk prodi seni, begitu mereka lulus akan mampu untuk siap bekerja. Jadi antara pendidikan dan industri itu sinergi.
Maka, kata Warli, di kampusnya dan kampus lainnya di Indonesia mahasiswa itu diperbolehkan mendapatkan ilmu di luar prodi (program studi) selama 3 semester (senilai 20-40 SKS) dan menimba ilmu serta pengalaman di kampus lain. Misalkan mahasiswa UPI diperbolehkan mendapat ilmu di luar prodi dan di kampus lainnya (Pertukaran Mahasiswa Merdeka/PMM) seperti di ITB, di perguruan tinggi yang ada di Yogya, di Universitas Indonesia, dan lainnya. Selain itu mahasiswa juga diperbolehkan bekerja magang di industri. Di Departemen Pendidikan Fakulats Pendidikan Seni dan Desain (FPSD) UPI Bandung mulai dilakukan uji coba mahasiswa bisa magang di industri dan itu dinilai setingkat dengan melakukan tugas akhir.
“Ini menurut saya menarik karena pada zaman saya kuliah tidak ada program ini. Bahkan sekarang pemerintah sudah memberikan semacam uang transport. Apa yang terjadi ini maka suatu saat termasuk kami, para dosen apabila nanti kami tidak punya loyalitas dan kompetensi di dalam bidang yang kami ajarkan, kemungkinan para mahaiswa akan pindah, lebih tertarik pada dosen luar daripada dosen-dosen kami. Ini artinya didalam basis teknologi ini semua dituntut untuk maju dan melek teknologi termasuk dosen-dosen senior,“ katanya serius.
Hal ini kata Warli, menjadi tantangan besar bagi perguruan tinggi agar nantinya mahasiswa bisa benar-benar diserap oleh industri. Hanya sekali lagi ditegaskan Warli, selain menggagungkan teknologi, lebih arif lagi bila dibarengi dengan pendidikan karakter.
Pendidikan Seni Sama Levelnya Dengan Yang Lain
Ada anggapan yang salah terhadap pendidikan seni, lebih rendah dari ilmu-ilmu yang lain. Padahal kata Warli, Presiden pertama RI Ir. Soekarno adalah seniman besar (pelukis penari-pemusik) juga Gubenrnur Jakarta Henk Ngantung (Hendrik Hermanus Joel Ngantung, masa jabatan 64-65) seniman (pelukis) besar Indonesia.
Masyarakat selalu mengidentifikasikan seniman grafis itu hanya cocok untuk buat dekorasi . Seni selama ini sering hanya dikatakan sebagai pelengkap. “Saya sudah rombak paradigma itu dalam berkesenian. Saya pernah dipercaya oleh Negara oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga, diminta untuk membuat konsep logo dan maskot PON XIX tahun 2016. Saya bangga sebagai seniman diperintah membuatkan maskot/logo oleh pemerintah. Tapi saya rubah paradigma itu, saya tawarkan pada kementrian supaya logo/maskot ini dilombakan untuk umum, biar seluruh masyarakat seni dan desainer seluruh Indonesia ikut terlibat dan saya menjadi ketuanya sekaligus yang mendesain awal medali dan sertifikatnya. Saya juga sempat membuat maskot POPNAS (Pekan Olah Raga Pelajar Nasional) ke-13 dan maskot Porwanas (Pekan Olah Raga Wartawan Nasional) 2016,“ tutur Warli bangga.
Warli pun sempat aktif di dunia olahraga sebagai sekretaris di PTMSI (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia) Jawa Barat. Dan di sini pun Warli melakukan terobosan, seorang seniman itu tidak hanya tukang dekorasi tetapi dia membuat konsep turnamen yang belum ada di Indonesia, yaitu turnamen Kapolri Cup, dan disana banyak sekali lahan seni rupa yang bisa digarapnya, seperti desain logo, desain kostum, untuk even, dsb.
Intinya kata Warli, seorang seniman tidak harus menjadi sutradara yang berada di belakang layar, tapi sekali-sekali harus tampil ke depan.
Tapi sebaliknya apabila seniman itu ingin dianggap sejajar dengan yang lainnya tentunya seniman juga harus punya konsep yang kuat di dalam berkarya. Dan ini yang sering diceritakan kepada mahasiswanya. Sehebat apapun karya anda belum tentu akan menjadikan anda orang hebat. Tapi dari karya yang sederhana bisa membuat anda hebat karena anda pandai membuat konsep yang hebat.
Warli mencontohkan dirinya bukan seorang pelukis atau desainer yang hebat. Tapi dari 30 tahun berkiprah dalam seni, dia bisa punya rumah, bisa menyelesaikan kuliah dan bisa menikah. Artinya seniman itu jangan takut salah dalam berkesenian. Karya-karya lukisnya pun banyak dikritik orang. Tapi dari karya yang dibuatnya tahun 90-an itu bisa menghidupi Warli dan keluarganya. Hingga kini karyanya pun masih laku, dibeli orang.
Warli memang termasuk seniman lukis (Pelukis Wayang) yang tidak bisa dianggap enteng dia sering berpameran di Yogya, Jakarta hingga ke Korea dan Malaysia, bahkan beberapa karyanya dikoleksi kolektor Perancis, bahkan Dale Willman jurnalis dari New York City USA menyukai lukisannya karena khas Indonesia dan Dale sering berkunjung ke rumahnya di Bandung, begitu juga Ferni, Kim Peter dari Korea, Prof. Setiawan Sabana, Yusof Gajah dari Malaysia dan Prof. Bill Watson dari Kent University sering mensuportnya untuk berkarya yang lebih terkonsep dan mengandung unsur budaya.
Seniman klimis ini sekarang sudah menghasilkan 70 lukisan wayang dan ratusan karya lama. Awalnya karya lukisnya beraliran realis karena dasarnya dari desain grafis, lalu ke ekspresif baru ke abstrak dan sekarang ke semi abstrak. Warli juga dikenal sebagai pelukis multi teknik karyanya ada yang dibuat manual ada juga digital, art digital dan teknik gabungan.
“Nah ini nampaknya paradigma berkesenian kita harus dirubah mindsetnya, kalau kita tidak pandai membuat kekaryaan kita bisa mengajak kawan kita yang lebih ahli. Karena selama ini seniman itu selalu membuat hebat sendirian. Harusnya seniman itu berkolaborasi dengan seniman dan profesi lainnya serta bermanfaat bagi orang banyak,“ demikian pungkasnya. (Asep GP)***
*(Berbual-bual dalam bahasa Malaysia artinya berbicara)
Mendengarkan Warli Haryana Berbual-bual di Webinar Antarbangsa
Posted by
Tatarjabar.com on Sunday, October 17, 2021
Pada Tanggal 10 Oktober 2021 telah berlangsung webinar “Majlis Pelancaran Generasi 21 & Bual Bicara II: “Norma Baharu: Seni Dalam Teknologi”.
Kegiatan yang diresmikan langsung oleh Menteri Pelancongan, Seni dan Budaya Malaysia, Yang Berhormat Dato’ Sri Hajah Nancy Shukri ini menampilkan beberapa pembicara seperti Prof. Dr. Mohd Zahuri Khairani (Dekan Universiti Pendidikan Sultan Indri Malaysia), Yang Mulia Raja Azhar Bin Idris (Aktivis Seni), Abdul Raoof Bin Ali (Guru Pendidikan Seni Visual SMK LKTP KG Awah Pahang), serta Pensyarah (penceramah/pembicara) dari Indonesia Warli Haryana, S.Pd., M.Pd (praktisi seni dan dosen Fakultas Pendidikan Seni Rupa dan Desain (FPSD) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung), dan dimoderatori oleh Dr. Azerai Bin Azmi (IPG Kampus Pendidikan Teknik Negeri Sembilan). Program ini melibatkan 5 negara Asean, Malaysia, Indonesia, Brunei dan Thailand.
Menjadi wakil Indonesia dalam webinar antar bangsa atau internasional ini tentu saja menjadi suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagi Walri Haryana.
“Saya berterima kasih dan bersyukur sekali karena saya menjadi perwakilan antar bangsa untuk menjadi Pemateri dalam acara Majlis Pelancaran Generasi 21, yang memperbincangkan persoalan kehidupan norma baru yaitu tentang seni dan teknologi. Ini tentu jadi kebanggaan tersendiri buat saya, apalagi kegiatan ini dibuka secara langsung oleh Menteri Pelancongan (Pariwisata) Malaysia. Kemudian para pematerinya pun hebat-hebat ada seniman besar, guru besar juga ada Cikgu (Guru) Kesenian yang ada di sana,“ kata Warli bangga.
Warli mengaku dapat info acara ini dari seniman muda Malaysia yang dikenalnya dan sudah beberapa kali main ke Bandung serta sering diskusi dengannya. Dia mengatakan pihak panitia dari UPSI (Universiti Pendidikan Sultan Idris) Malaysia mencari pemateri yang menurut mereka layak untuk menjadi tamu dalam acara itu. Maka Warli diperkenalkan oleh Ketua Pelaksana kegiatan ini, yaitu Puan Ayu (Dr. Norzuraina Mohd Nor). Rupanya gayung bersambut.
Selain itu kata Warli pihaknya punya komunikasi yang baik dan Warli punya kawan yang sempat menjadi salah satu petinggi di UPSI yaitu Prof. Madya Dr. Nasir Ibrahim - beliau sempat menjadi salah satu Pejabat Timbalan Rektor Hal Ehwal Akademik di Akademi Seni Budaya dan Warisan Kebangsaan (Aswara) dan jadi staf ahli rektor di UPSI, beliau pernah tinggal di Rumah Bukit Bandung.
Warli juga berteman dengan beberapa seniman Malaysia seperti Yusof Gajah, seniman muda Naim, Choerudin, Zul Apip juga ketua seniman yang ada di Malaysia Zaki Hadrik. Juga pernah ke UPSI (Universitas Sultan Indris Malaysia) dikenalkan oleh Prof. Cecep Rohendi teman baiknya (2016-2017) Kemudian sebelum covid dirinya pun sudah kerja sama dengan Universiti Teknologi MARA (UiTM)- Shah Alam, Malaysia. Jadi bagi Warli Malaysia tidak asing lagi, sudah jadi rumah keduanya.
“Kami sempat mengadakan kerjasama antar mahasiswa dan mahasiswa kami ada yang belajar di sana selama satu semester begitu juga mahasiswa UiTM belajar di kami. Dan sekarang, saya diberi kehormatan lagi untuk menjadi pemateri inti di acara Majlis Pelancaran Generasi 21, mewakili Indonesia,“ katanya sumringah.
Dalam materinya Warli mengatakan, pada intinya teknologi adalah suatu hal yang menarik. Teknologi yang menurut pandangan umum adalah elektronik atau alat, bagi dia sebagai seorang seniman dan pendidik seni, teknologi adalah suatu cara bagaimana manusia menemukan cara terbaik di dalam tujuan berkeseniannya.
Warli mengaku dari semenjak tahun 90-an ketika di Bandung komputer grafis masih merupakan barang yang langka, dia sudah berkesenian dengan menggunakan teknologi elektronik/digital art tersebut. “Yang saya pahami meskipun sudah puluhan tahun saya menggunakan teknologi tetapi teknologi itu selalu berkembang, sehingga saya merasakan apapun alasannya teknologi itu sebenarnya bukan suatu hal yang patut didewa-dewakan atau dibanggakan tetapi teknologi itu sebenarnya alat bantu kita, maka mau tidak mau kita harus menggunakannya,“ jelasnya.
Maka Warli pun pada tahun 2016 mulai memberanikan diri berpameran karya art digital. Tentu saja dengan segala pro dan kontranya. Tetapi semua itu dia anggap wajar, tinggal bagaimana senimannya punya konsep yang baik.
Dalam sesi tanya jawab Warli pun berbicara tentang pendekatan seni di Indonesia. Menurutnya Indonesia sebagai bangsa yang besar dan memiliki beragam budaya. Maka dalam sistem pembelajarannya menggunakan pendekatan multi kultural, yaitu pendidikan abad 21. Hal ini ditekankan karena pada intinya pada kurikulum-kurikulum sebelumnya pendidikan selalu mengarahkan pada teknologi dan skill sementara pendidikan karakter hilang. “Nah itu nampaknya menjadi pemikiran pemerintah untuk menerapkan sistem baru yaitu menggunakan pendekatan multi kultural agar para seniman, calon senman maupun siswa di dalam pembelajaran pendidikan seni itu akan memahami tentang hakikat berkesenian dan berkebangsaan. Kami adalah bnagsa yang berbudaya tentunya apabila suatu bangsa, masyarakatnya itu peduli dengan kebudayaannya sendiri maka bangsa itu akan maju,“ paparnya.
Warli juga mengatakan, pendidik seni dan seniman harus punya cara berpikir membuat paradigma baru di dalam era industri teknolog saat ini. Mau tidak mau kita harus mengikuti perkembangan teknologi dan itu menurutnya bukan suatu hal yang haram, karena sebagai pendidik seni dan praktisi seni punya jadi diri, orang yang mampu membuat karya yang bermanfaat bagi orang lain. “Jadi alat apapun sepanjang bermanfaat harus kita gunakan,“ katanya.
Intinya kata Warli, teknologi itu hanya sekedar alat bantu yang memudahkan kita dalam bekerja dan dalam hal ini tentunya seniman dimudahkan secara konsep maupun berekspresi. “Karena apapun alasannya yang menjadi besar, yang menjadi karya spektakuler itu adalah proses berpikir dan daya imajinasi seniman itu sendiri, bukan alat atau teknologi. Teknologi adalah merupakan inovasi yang membantu ide kita berperan dalam berkarya,“ tegasnya.
Dalam sesi dua, Warli menerangkan struktur kurikulum pembelajaran di Indonesia dalam dukungannya terhadap seni.
Warli Haryana, mengagungkan teknologi harus disertai pendidikan karakter (Foto - Asep GP) |
Pada dasarnya pendidikan seni di Indonesia, kata Wali, sudah mengadopsi teknologi, baik sebelum dan sesudah zaman kemerdekaan hingga sekarang. Hanya yang menjadi persoalan biasanya antara pendidikan tinggi/akademisi/sekolah dengan industri itu tidak pernah sinergi. Warli mengambil contoh dari pengalaman pribadinya, banyak mahasiswa zaman dahulu, termasuk dirinya, untuk mendapat izasah sarjana (S-1) itu perlu waktu lama (7 tahun), karena selain sekolah harus bekerja untuk biaya sekolah.
Sementara sekarang ini kurikulum pemerintah menjadi angin segar bagi para student, karena para pelajar dan mahasiswa saat ini dimanjakan dengan adanya teknologi dan program. Warli mencontohkan kurikulum yang berkaitan dengan teknologi saat ini adalah kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM ) yang dikeluarkan pada tahun 2020.
Dimana pogram ini bisa menghadirkan seorang mahasiswa di semua prodi termasuk prodi seni, begitu mereka lulus akan mampu untuk siap bekerja. Jadi antara pendidikan dan industri itu sinergi.
Maka, kata Warli, di kampusnya dan kampus lainnya di Indonesia mahasiswa itu diperbolehkan mendapatkan ilmu di luar prodi (program studi) selama 3 semester (senilai 20-40 SKS) dan menimba ilmu serta pengalaman di kampus lain. Misalkan mahasiswa UPI diperbolehkan mendapat ilmu di luar prodi dan di kampus lainnya (Pertukaran Mahasiswa Merdeka/PMM) seperti di ITB, di perguruan tinggi yang ada di Yogya, di Universitas Indonesia, dan lainnya. Selain itu mahasiswa juga diperbolehkan bekerja magang di industri. Di Departemen Pendidikan Fakulats Pendidikan Seni dan Desain (FPSD) UPI Bandung mulai dilakukan uji coba mahasiswa bisa magang di industri dan itu dinilai setingkat dengan melakukan tugas akhir.
“Ini menurut saya menarik karena pada zaman saya kuliah tidak ada program ini. Bahkan sekarang pemerintah sudah memberikan semacam uang transport. Apa yang terjadi ini maka suatu saat termasuk kami, para dosen apabila nanti kami tidak punya loyalitas dan kompetensi di dalam bidang yang kami ajarkan, kemungkinan para mahaiswa akan pindah, lebih tertarik pada dosen luar daripada dosen-dosen kami. Ini artinya didalam basis teknologi ini semua dituntut untuk maju dan melek teknologi termasuk dosen-dosen senior,“ katanya serius.
Hal ini kata Warli, menjadi tantangan besar bagi perguruan tinggi agar nantinya mahasiswa bisa benar-benar diserap oleh industri. Hanya sekali lagi ditegaskan Warli, selain menggagungkan teknologi, lebih arif lagi bila dibarengi dengan pendidikan karakter.
Pendidikan Seni Sama Levelnya Dengan Yang Lain
Ada anggapan yang salah terhadap pendidikan seni, lebih rendah dari ilmu-ilmu yang lain. Padahal kata Warli, Presiden pertama RI Ir. Soekarno adalah seniman besar (pelukis penari-pemusik) juga Gubenrnur Jakarta Henk Ngantung (Hendrik Hermanus Joel Ngantung, masa jabatan 64-65) seniman (pelukis) besar Indonesia.
Masyarakat selalu mengidentifikasikan seniman grafis itu hanya cocok untuk buat dekorasi . Seni selama ini sering hanya dikatakan sebagai pelengkap. “Saya sudah rombak paradigma itu dalam berkesenian. Saya pernah dipercaya oleh Negara oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga, diminta untuk membuat konsep logo dan maskot PON XIX tahun 2016. Saya bangga sebagai seniman diperintah membuatkan maskot/logo oleh pemerintah. Tapi saya rubah paradigma itu, saya tawarkan pada kementrian supaya logo/maskot ini dilombakan untuk umum, biar seluruh masyarakat seni dan desainer seluruh Indonesia ikut terlibat dan saya menjadi ketuanya sekaligus yang mendesain awal medali dan sertifikatnya. Saya juga sempat membuat maskot POPNAS (Pekan Olah Raga Pelajar Nasional) ke-13 dan maskot Porwanas (Pekan Olah Raga Wartawan Nasional) 2016,“ tutur Warli bangga.
Warli pun sempat aktif di dunia olahraga sebagai sekretaris di PTMSI (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia) Jawa Barat. Dan di sini pun Warli melakukan terobosan, seorang seniman itu tidak hanya tukang dekorasi tetapi dia membuat konsep turnamen yang belum ada di Indonesia, yaitu turnamen Kapolri Cup, dan disana banyak sekali lahan seni rupa yang bisa digarapnya, seperti desain logo, desain kostum, untuk even, dsb.
Intinya kata Warli, seorang seniman tidak harus menjadi sutradara yang berada di belakang layar, tapi sekali-sekali harus tampil ke depan.
Tapi sebaliknya apabila seniman itu ingin dianggap sejajar dengan yang lainnya tentunya seniman juga harus punya konsep yang kuat di dalam berkarya. Dan ini yang sering diceritakan kepada mahasiswanya. Sehebat apapun karya anda belum tentu akan menjadikan anda orang hebat. Tapi dari karya yang sederhana bisa membuat anda hebat karena anda pandai membuat konsep yang hebat.
Warli mencontohkan dirinya bukan seorang pelukis atau desainer yang hebat. Tapi dari 30 tahun berkiprah dalam seni, dia bisa punya rumah, bisa menyelesaikan kuliah dan bisa menikah. Artinya seniman itu jangan takut salah dalam berkesenian. Karya-karya lukisnya pun banyak dikritik orang. Tapi dari karya yang dibuatnya tahun 90-an itu bisa menghidupi Warli dan keluarganya. Hingga kini karyanya pun masih laku, dibeli orang.
Warli memang termasuk seniman lukis (Pelukis Wayang) yang tidak bisa dianggap enteng dia sering berpameran di Yogya, Jakarta hingga ke Korea dan Malaysia, bahkan beberapa karyanya dikoleksi kolektor Perancis, bahkan Dale Willman jurnalis dari New York City USA menyukai lukisannya karena khas Indonesia dan Dale sering berkunjung ke rumahnya di Bandung, begitu juga Ferni, Kim Peter dari Korea, Prof. Setiawan Sabana, Yusof Gajah dari Malaysia dan Prof. Bill Watson dari Kent University sering mensuportnya untuk berkarya yang lebih terkonsep dan mengandung unsur budaya.
Seniman klimis ini sekarang sudah menghasilkan 70 lukisan wayang dan ratusan karya lama. Awalnya karya lukisnya beraliran realis karena dasarnya dari desain grafis, lalu ke ekspresif baru ke abstrak dan sekarang ke semi abstrak. Warli juga dikenal sebagai pelukis multi teknik karyanya ada yang dibuat manual ada juga digital, art digital dan teknik gabungan.
“Nah ini nampaknya paradigma berkesenian kita harus dirubah mindsetnya, kalau kita tidak pandai membuat kekaryaan kita bisa mengajak kawan kita yang lebih ahli. Karena selama ini seniman itu selalu membuat hebat sendirian. Harusnya seniman itu berkolaborasi dengan seniman dan profesi lainnya serta bermanfaat bagi orang banyak,“ demikian pungkasnya. (Asep GP)***
*(Berbual-bual dalam bahasa Malaysia artinya berbicara)
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment