Home
» Seni Budaya
» Kitab Jagat Kertas Dalam Renungan, Webinar : "Bentang Cakrawala Spiritualitas Seni Setiawan Sabana"
Friday, October 22, 2021
Kang Wawan itu seorang pegrafis yang tangguh karena sudah terbukti juara di beberapa tempat bahkan membuat terobosan-terobosan dalam seni grafis.
Dilihat dari karya-karyanya dari zaman jahiliyah sampai karya spiritual seperti saat ini, Pak Wawan itu santai-santai saja tidak menganggap karyanya yang paling mulia diantara karya lainnnya.
Juga yang kedua, adalah organ kertas. Jadi kertas hubungannya dengan seni grafis dan ketika hubungannya kertas dengan seni grafis, Pak Wawan sudah melebarkan pada visual-visual kebudayaan di era digital ini membuat renungan sekaligus juga solusi dari karya seni estetis yaitu Monument Kertas dan Monument Koran.
Ini menurut saya pendidikan, penelitian, pengabdian, juga ghaib dan ajaib, ini bukti-buktinya banyak banget karya-karyanya.
Garasi Seni 10 adalah simbol di kota Bandung yang harus menjadi jaringan yang kuat. Situasi sekarang yang work from home sangat kontekstual dengan garasi (galeri) yang ada di rumah dengan bahan-bahan yang ada di rumah, yang dekat dengan keluarga, dengan dapur, dengan bahan-bahan bekas, dsb. Bisa menyehatkan lahir-bathin .
Tapi juga si garasi itu seperti juga dalam tradisi spiritual, ketika hijrah terus bisa merenungkan, harus juga bisa melihat ke luar bagaimana posisi atau simbol garasi ini diantara Studio Jeihan, Studio Pirous, Studio Soenaryo, Galeri Soemardja-ITB, dll, sampai jaringan budaya yang ada di kota Bandung. Apakah posisi garasi ini punya dampak, hubungan gerakan kultural gak? Sehingga bisa melakukan perubahan di ITB, di kampusnya sendiri maupun di Kota Bandung, silakan renungkan.
Apakah bisa berupa kantong kesenian yang akan bisa merubah peradaban yang ada di Kota Bandung, atau masih seperti studio-studio lainnya?
Apakah profesor-profesor yang ada di FSRD-ITB, sebagai Guru Besar tingkat Jenderal, sama nilainya dengan profesor di Jerman yang punya tingkat suara dewa, bisa melakukan perubahan?
Menurut saya profesor ini yang sudah paripurna, sudah pada tingkat ajaib dan ghaib yang mampu melakukan perubahan di kampus ITB dan Kota Bandung. Misalnya apakah Kota Bandung itu secara estetik sudah nampak?
Bahkan di Bandung itu kan banyak perguruan tinggi, ada ISBI, ITB, Maranatha, Unpad, Unpas, dsb, ada ratusan, dan di dalamnya banyak kaum intelektual, tapi apakah ada gerakan kebudayaan untuk melakukan perubahan, seperti perubahan lingkungan hidup, sosial, ekonomi, atau merubah hegemoni agama yang radikal, bahkan sesama agama itu intoleransi. Apakah seni ini bisa melakukan perubahan. Apakah ada fatwa-fatwa dari para empu ini untuk menyampaikan supaya terasa nilainya bidang estetik atau pedagogig yang menjadi acuan untuk sebuah gerakan kebudayaan.
Di Negara-negara lain sudah terbukti para inteklektual dan budayawan bisa melakukan perubahan-perubaha lewat gerakan kebudayaan.
Ini menurut saya pendidikan, penelitian, pengabdian, juga ghaib dan ajaib, ini bukti-buktinya banyak banget karya-karyanya.
Garasi Seni 10 adalah simbol di kota Bandung yang harus menjadi jaringan yang kuat. Situasi sekarang yang work from home sangat kontekstual dengan garasi (galeri) yang ada di rumah dengan bahan-bahan yang ada di rumah, yang dekat dengan keluarga, dengan dapur, dengan bahan-bahan bekas, dsb. Bisa menyehatkan lahir-bathin .
Tapi juga si garasi itu seperti juga dalam tradisi spiritual, ketika hijrah terus bisa merenungkan, harus juga bisa melihat ke luar bagaimana posisi atau simbol garasi ini diantara Studio Jeihan, Studio Pirous, Studio Soenaryo, Galeri Soemardja-ITB, dll, sampai jaringan budaya yang ada di kota Bandung. Apakah posisi garasi ini punya dampak, hubungan gerakan kultural gak? Sehingga bisa melakukan perubahan di ITB, di kampusnya sendiri maupun di Kota Bandung, silakan renungkan.
Apakah bisa berupa kantong kesenian yang akan bisa merubah peradaban yang ada di Kota Bandung, atau masih seperti studio-studio lainnya?
Apakah profesor-profesor yang ada di FSRD-ITB, sebagai Guru Besar tingkat Jenderal, sama nilainya dengan profesor di Jerman yang punya tingkat suara dewa, bisa melakukan perubahan?
Menurut saya profesor ini yang sudah paripurna, sudah pada tingkat ajaib dan ghaib yang mampu melakukan perubahan di kampus ITB dan Kota Bandung. Misalnya apakah Kota Bandung itu secara estetik sudah nampak?
Bahkan di Bandung itu kan banyak perguruan tinggi, ada ISBI, ITB, Maranatha, Unpad, Unpas, dsb, ada ratusan, dan di dalamnya banyak kaum intelektual, tapi apakah ada gerakan kebudayaan untuk melakukan perubahan, seperti perubahan lingkungan hidup, sosial, ekonomi, atau merubah hegemoni agama yang radikal, bahkan sesama agama itu intoleransi. Apakah seni ini bisa melakukan perubahan. Apakah ada fatwa-fatwa dari para empu ini untuk menyampaikan supaya terasa nilainya bidang estetik atau pedagogig yang menjadi acuan untuk sebuah gerakan kebudayaan.
Di Negara-negara lain sudah terbukti para inteklektual dan budayawan bisa melakukan perubahan-perubaha lewat gerakan kebudayaan.
“Nah, Pak Wawan dengan kesederhanaannya terus dengan gowes sehat membawa kebudayaan narasi berpikir di sepeda ini untuk menyampaikan nilai-nilai yang ada di rumah, di ruang perenungan, ruang intim, ke ranah ruang publik.“
Demikian disampaikan Dr. Tisna Sanjaya (Kang Entis) dalam Webinar: “Bentang Cakrawala Spiritualitas Seni Setiawan Sabana - Kitab Jagat Kertas Dalam Renungan”, Jumat (8/10/2021).
Webinar yang merupakan bagian dari rangkaian acara Pameran Tunggal Setiawan Sabana (SS, Kang Wawan) dari 5 Oktober-5 Desember 2021 ini, menampilkan beberapa pembicara: Dr. Tisna Sanjaya, MSch (FSRD ITB), Dr. Djuli Djati Prambudi MSn, (FBS UNESA), Dr. Nuning Y. Damayanti, Dipl. Art (FSRD ITB), Dr. Anna Sungkar, MSn (Pasca Sarjana IKJ).
***
Dr. Djuli Djati Prambudi, Alumni Seni Rupa dan Desain Pascasarjana ITB yang sekarang menjadi peneliti, pembimbing, pengajar tetap di Jurusan Seni Rupa dan Desain Pascasarjana UNS (Universitas Negeri Surabaya), serta penulis artikel seni di berbagai media nasional, memaknai “Setiawan Sabana Guru Besar Yang Membesarkan.”
Djuli yang mengenal Kang Wawan tahun 1991 di Pameran Besar Pelukis Indonesia (25 seniman), mengaku sangat terkesan, hingga membuat dirinya masuk dan lulus Doktor di FSRD ITB. Dan itu pintu gerbangnya adalah Kang Wawan. Dia sangat berterima kasih karena sudah dibimbing di Garasi 10 dan Ganesha 10 oleh Kang Wawan.
Menurut Djuli, Kang Wawan adalah fundamentalis seni grafis, sekaligus radikalis kertas dan singkong juga zihadis akademis kaum seniman.
“Pak Wawan layak dinobatkan sebagai fundamentalis seni grafis karena sejak awal beliau konsen pada seni grafis bukan sekedar sebagai bidang ilmu tapi juga dasar sebagai seniman grafis. Karena pertama saya kenal Kang Wawan beliau sebagai seniman grafis yang sudah sangat luar biasa terkenal saat itu,“ pujinya.
Sebagai radikalis (akar) kertas, kata Djuli, Kang Wawan itu tidak tanggung-tanggung masuk ke dunia kertas bukan hanya sekedar sebagai medium, tapi kertas itu sendiri sebagai seni/art paper. Bukan sekedar medium seperti yang dilakukan dalam seni grafis, tetapi kertas itu sebagai subjek meter, sebagai sesuatu yang diperkarakan yang diperbincangkan dan dieksplorasi sebagai kertas.
Apalagi dengan pingpong (Kang Wawan juga atlet Pingpong/Tenis Meja yang hebat, dia pun masih aktif latihan), luar biasa sampai beliau memiliki meja pingpong dari ukuran normal hingga ukuran kecil untuk melatih intuisinya. “Jadi melalui pendekatan Pingpong sampai kepada melatih intuisi tehadap berkeseniannya. Pingpong itu bukan tujuan akhir tapi sebagai sebuah medium atau pendekatan dalam rangka berkesenian. Ya, karena yang terus kemudian beredar di dunia internasional, yaitu tampak pada dunia seni yang ditekuninya terutama dalam dunia kertas dan dua-duanya itu ditekuni dengan sangat radikal artinya sama-sama kuat ditekuni dan memberikan artikulasi satu sama lain,“ jelas Djuli.
Sebagai zihadis (orang yang betul-betul berjuang) di dua garis ini, kang Wawan menurut Djuli, berjuang dengan sangat fenomenal, 40 tahun lebih beliau berada di dunia akademisi dan sekaligus di dunia seniman. Jadi ini layak disebut Guru Besar Zihadis di dunia akademis seni rupa dan juga di dunia seniman. Dan itu tidak mudah diikuti dua-duanya, sama-sama dikembangkan dan masing-masing sama-sama punya jejak.
“Saya kira ini luar biasa dan tidak mudah diikuti oleh pembelajar di seni rupa termasuk saya, masih sangat jauh,“ aku Djuli.
Djuli juga mengaku tertarik dengan kredo-kredo Kang Wawan yang kerap muncul dibicarakan di forum seperti, “Hidup itu ajaib dan ghaib”, “Berkarya harus seperti menghela napas “ dan, “Ketika di atas kertas aku masuk surga”.
“Saya akan melihat dari persfektif sufisme, karena kalau kita melihat sosok itu sudah masuk ke dunia tasawuf, maka tidak dapat didekati secara fikiah dengan hanya menyoal yang sifatnya teknis. Hanya dengan dunia sufisme kita bisa mendekati Kang Wawan,“ katanya serius.
Djuli yang mengenal Kang Wawan tahun 1991 di Pameran Besar Pelukis Indonesia (25 seniman), mengaku sangat terkesan, hingga membuat dirinya masuk dan lulus Doktor di FSRD ITB. Dan itu pintu gerbangnya adalah Kang Wawan. Dia sangat berterima kasih karena sudah dibimbing di Garasi 10 dan Ganesha 10 oleh Kang Wawan.
Menurut Djuli, Kang Wawan adalah fundamentalis seni grafis, sekaligus radikalis kertas dan singkong juga zihadis akademis kaum seniman.
“Pak Wawan layak dinobatkan sebagai fundamentalis seni grafis karena sejak awal beliau konsen pada seni grafis bukan sekedar sebagai bidang ilmu tapi juga dasar sebagai seniman grafis. Karena pertama saya kenal Kang Wawan beliau sebagai seniman grafis yang sudah sangat luar biasa terkenal saat itu,“ pujinya.
Sebagai radikalis (akar) kertas, kata Djuli, Kang Wawan itu tidak tanggung-tanggung masuk ke dunia kertas bukan hanya sekedar sebagai medium, tapi kertas itu sendiri sebagai seni/art paper. Bukan sekedar medium seperti yang dilakukan dalam seni grafis, tetapi kertas itu sebagai subjek meter, sebagai sesuatu yang diperkarakan yang diperbincangkan dan dieksplorasi sebagai kertas.
Apalagi dengan pingpong (Kang Wawan juga atlet Pingpong/Tenis Meja yang hebat, dia pun masih aktif latihan), luar biasa sampai beliau memiliki meja pingpong dari ukuran normal hingga ukuran kecil untuk melatih intuisinya. “Jadi melalui pendekatan Pingpong sampai kepada melatih intuisi tehadap berkeseniannya. Pingpong itu bukan tujuan akhir tapi sebagai sebuah medium atau pendekatan dalam rangka berkesenian. Ya, karena yang terus kemudian beredar di dunia internasional, yaitu tampak pada dunia seni yang ditekuninya terutama dalam dunia kertas dan dua-duanya itu ditekuni dengan sangat radikal artinya sama-sama kuat ditekuni dan memberikan artikulasi satu sama lain,“ jelas Djuli.
Sebagai zihadis (orang yang betul-betul berjuang) di dua garis ini, kang Wawan menurut Djuli, berjuang dengan sangat fenomenal, 40 tahun lebih beliau berada di dunia akademisi dan sekaligus di dunia seniman. Jadi ini layak disebut Guru Besar Zihadis di dunia akademis seni rupa dan juga di dunia seniman. Dan itu tidak mudah diikuti dua-duanya, sama-sama dikembangkan dan masing-masing sama-sama punya jejak.
“Saya kira ini luar biasa dan tidak mudah diikuti oleh pembelajar di seni rupa termasuk saya, masih sangat jauh,“ aku Djuli.
Djuli juga mengaku tertarik dengan kredo-kredo Kang Wawan yang kerap muncul dibicarakan di forum seperti, “Hidup itu ajaib dan ghaib”, “Berkarya harus seperti menghela napas “ dan, “Ketika di atas kertas aku masuk surga”.
“Saya akan melihat dari persfektif sufisme, karena kalau kita melihat sosok itu sudah masuk ke dunia tasawuf, maka tidak dapat didekati secara fikiah dengan hanya menyoal yang sifatnya teknis. Hanya dengan dunia sufisme kita bisa mendekati Kang Wawan,“ katanya serius.
Dunia sufisme sangat percaya bahwa realitas itu adalah emanasi dari Gusti Allah. Jadi refleksi cahaya, pancaran dari Nur Illahi. Dan Kang Wawan itu dengan getaran tertentu, dengan nafas yang kadang sering tersengal, suara bergetar ketika mengucapkan 3 kredonya ini, dengan getaran yang luar biasa. “Artinya memang ini sesuatu yang dihayati dan semua ini sumbernya dari Tuhan Yang Maha Kuasa,“ kata Djuli.
Ketika beliau mengatakan “Hidup Itu Ajaib dan Ghaib” suara Kang Wawan itu seperti mau menangis dan itu bukan hanya refleksi tapi sudah pada kontemplasi. Kang Wawan sudah melampaui cara berpikir yang paling awal, berpikir deskriptif. Berpikir komparatif pun sudah dilampaui, kemudian berpikir Holistik (itu juga sudah dilampaui karena beliau guru besar) dan yang berikutnya melalui seni itu Kang Wawan mengekspresikan sebuah karya yang sudah masuk dunia reflektif dan sekaligus kontemplatif.
Karena sudah sampai ke tataran itu maka Kang Wawan menggunakan kata-kata yang selalu dikaitkan dengan dunia metafisik, dunia ghaib. Ya entitas dari Theosentrisme. Karena beliau selalu katakan: “Hidup itu ajaib dan ghaib.”
Berkarya Harus Seperti Menghela Napas, ini artinya antara hidup dan berkarya itu tidak bisa dipisahkan. Hidup itu adalah berkarya sendiri, berkarya itu ya harus hidup - berkarya itu menghidupi.
Hidup itu adalah napas yang membangun energi biopilia-energi yang terus dikeluarkan dan itu selalu membangun medan magnet pada dunia akademik maupoun non akademik. Dan hal ini tidak hanya bersifat konsep, tetapi itu dilakukan Kang Wawan. Jadi ilmu itu akan bermanfaat jika dilakukan, dibentuk, diekspresikan dan jika ditularkan. “Dan saya kira Pak Wawan sudah sampai pada tahap itu, berkarya harus seperti menghela nafas,“ paparnya.
Di Atas Kertas Aku Masuk Surga. Kertas disini dikasih huruf besar, sebab bukan kertas sembarangan - karena hubungannya dengan Aku Masuk surga.
Kertas itu bisa berupa catatan hidup, kitab suci, bahkan kertas itu berupa semesta – galaksi. Jadi artinya itu kodrat-nasib-fitrah. Jadi kertas itu sebagai metafor dunia metafisik.
“Itu tafsir saya mudah-mudahan tidak keliru. Maknanya sangat mendalam sekali,“ kata Djuli.
Djuli juga menyoroti Garasi Seni 10 yang menurutnya adalah sebuah pesantren, pusat penggodokan, pusat energi bersama, hingga akhirnya melepas murid-muridnya untuk berkembang di luar. Mencari jati dirinya di luar sana. Garasi baginya jadi ruang budaya, ruang edukasi, dan ruang transformasi.
“Pak Wawan orang yang konsen membangun keilmuan seni itu menjadi lebih luas dan lebih banyak kemungkinan yang didasarkan pada kenusantaraan, dan kita tahu kenusantaraan itu laman groundnya adalah spiritualitas. Kepercayaan kuno animisme, dinamisme dalam spritiualitas dan akar pohon keilmuan seni,“ demikian pungkas Djuli.
***
Sementara Nuning Yanti Damayanti, Alumni FSRD ITB ’89 dan menjadi dosen di almamaternya sejak 93 serta aktif menjadi seniman, penyair, budayawan, peneliti internasional dan nasional, dalam materi webinarnya “Bentang Cakrawala Spritualitas Setiawan Sabana”, menganggap Kang Wawan sebagai seorang pendidik sangat berperan besar dalam kehidupannya. Seorang guru, seniman, ilmuwan, sahabat, dan keluarga bagi dirinya.
“Pengalaman studinya dan melanglangbuana ke berbagai Negara membuat wawasannya luas dan kiprahnya luar biasa, dan itu nantinya berdampak kepada spiritualitas beliau yang sudah banyak melihat beragam kebudayaan dunia, Eropa, Asia, Amerika, Australia bahkan Afrika (Mesir), itu kan tidak semua orang bisa begitu,“ kata Nuning serius.
“Pengalaman studinya dan melanglangbuana ke berbagai Negara membuat wawasannya luas dan kiprahnya luar biasa, dan itu nantinya berdampak kepada spiritualitas beliau yang sudah banyak melihat beragam kebudayaan dunia, Eropa, Asia, Amerika, Australia bahkan Afrika (Mesir), itu kan tidak semua orang bisa begitu,“ kata Nuning serius.
Menurut Nuning, Kang Wawan sengaja dilahirkan di tanah Sunda untuk bertugas menjadi seorang guru bagi anak didiknya, menjadi seorang pembimbing bagi yang mengikuti langkahnya, menjadi sahabat bagi yang memahaminya, dan jadi keluarga bagi yang membutuhkannya.
Lalu kenapa harus di tanah Sunda? Karena Kang Wawan akan menjadi Guru Besar Seni Rupa dengan gelar kepakaran bidang seni grafis dan menjadi Maestro kertas di Indonesia. Dan harus menjadi salahsatu seniman yang mewakili masyarakat Sunda wedalan Seni Rupa ITB - Indonesia.
Selain itu juga supaya Kang Wawan akan dikenang sepanjang masa sebagai seorang seniman, budayawan, ilmuwan sekaligus juga pendidik di garis horizon akademik, perguruan tinggi. “Jadi saya melihat SS (Setiawan Sabana) itu figur paket komplit dan tidak semua orang bisa seperti dirinya,“ tegas Nuning.
“Saya merasa bangga sekali menjadi bagian garis horizon SS karena saya juga lahir di tanah Sunda (terah Cianjur) dan rumah saya dekat sekali dengan Pak Wawan,“ imbuhnya.
Nuning juga bersaksi, SS yang ketika menjadi asisten dosen terkesan sangat cool (pendiam/dingin), tapi ternyata aslinya lebih banyak ketawa dan sangat hangat/akrab dengan anak didik dan sangat jarang mengatakan tidak. Nuning tidak pernah melihat SS marah secara frontal. “Yang saya tahu Pak Wawan itu baik pisan, humoris, lucu dan Sunda banget,“ katanya.
SS bagi Nuning, berada pada barisan orang-orang hebat di FSRD ITB. Dia juga pelopor kurator dan sangat manusiawi, juga fleksibel hingga banyak dihormati orang. Itu dibuktikan Nuning ketika diajak pameran di Jerman. Ketika di Frankfurt betapa SS ditawari nginap di rumah Nicole, temannya. Padahal kata Nuning itu bukan kebiasaan orang Jerman. Tapi ini malah rela menyerahkan kamarnya untuk dipakai istirahat SS sementara Nicole sendiri tidur di luar kamar.
Nuning juga terkesan dengan sifat kesenimanan SS, ketika diangkat jadi profesor (guru besar FSRD ITB), SS tampil ke panggung menampilkan tarian Perengkel Jahe (happening art, seni rupa pertunjukan) di Aula Barat, disaksikan 10 rektor perguruan tinggi di Indonesia yang ikut hadir kala itu. (Kang Wawan memang termasuk perintis Perengkel Jahe, ketika dalam perjalanan pulang akan naik kereta api di Solo, di depan stasion Balapan ada yang sedang memainkan musik Keroncong, dia langsung ngibing, ngarengkenek merespon musik khas Inondonesia itu, para musisi pun ikut senang, tapi tak tahu bahwa yang lagi berjoget itu adalah seorang Profesor, red ).
Nuning juga takkan lupa dengan pesan SS. “Belajar itu harus seperti menggali tanah, semakin dalam dan semakin melebar hingga keluar mata air yang berguna bagi siapa pun”, juga “Berkarya itu harus seperti helaan napas” dan “Jadi seniman itu mudah yang sulit itu jadi manusia.”
Dua tahun terakhir garis-garis horisontal Pak Wawan itu berubah jadi vertikal. Mudah-mudahan bisa berguru terus pada Pak Wawan,“ pungkas Nuning.
Pemateri pamungkas, Ana Sungkar yang merupakan Doktor jebolan ISI Yogyakarta dan kini menjadi kurator dalam pameran nasional dan internasional, hampir membedah habis karya lulusan Seni Murni FSRD ITB ’77 kelahiran Bandung 10 Mei 1951 ini, yang dalam perkembangannya dikenal sebagai Pemuka Seni Grafis dan Maestro Kertas.
Lewat “Kesenian dan Kesenimanan Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA”, Ana menafsir karya-karya awal pergumulan SS dengan kertas. Dari karya-karya awal “Nostalgia 77” yang berupa sekumpulan wanita dengan rambut tergerai ada pula yang diikat, dan hampir semuanya sedang memperhatikan seorang wanita yang rambutnya tertiup angin. Wanita itu berbentuk silhuet di bagian atas pada gambar, namun ada juga wanita menghadap ke kiri. “Dari sana kita bisa melihat wanita itu cantik rupawan. Karya ini barangkali menggambarkan sebuah kenangan bahwa wanita itu pernah muda dengan rambut tergerai tertiup angin dan dibuatkan silhuet sebagai tanda telah berlalu. Ini suatu imajinasi atas memori hidup yang sangat berkesan. Kesan yang ditangkap adalah karya tersebut puitis dengan goresan yang tegas sekaligus cair. Sehingga kita dapat menikmati efek gelap - terang pada bagian rambut,“ demikian menurut Ana.
Karya lainnya, Cermin 79, Jendela Alam 84, Gerbang Alam 91 serta karya-karya zaman Dacenta berikutnya , Pemandangan Langit 94.
Ana melihat kertas bagi SS merupakan bentuk miniatur dari makrokosmos karena itu kita dapat melihat karya-karya yang merefleksikan kebesaran atas jagat. Penghayatan atas kebesaran jagat membangkitkan rasa spiritual atas Sang Pencipta. “Salahsatu yang saya sukai dari periode ini adalah Pemandangan Langit. Sebuah dataran merah dengan langit yang hitam, pada bagian atas dari langit hitam itu kita dapat melihat goresan berbentuk segitiga, segi empat, lingkaran dan aksara bertuliskan ‘alam imajinasi kelas iman’, sebuah karya penghayatan atas spiritual, sementara kata spiritual itu sendiri baru muncul pada karya SS periode tahun 2000-an,“ jelas Ana.
Seterusnya Tanpa Judul 95, Spiritualitas Kertas pada 2000-an, Legenda Kertas 2005, Bumi Kertas 2013 dikupas tuntas oleh Ana, hingga menutupnya dengan Kiprah Garasi 10.
Kata Ana, demi memantapkan perjalanan simbolik kertas, SS aktif menjalankan ruang Garasi 10 yang dirintisnya sejak taun 2012 yang berlokasi di rumahnya di Jalan Rebana 10 Bandung. Garasi 10, menurutnya merupakan sebuah ruang gagas yang banyak melakukan aktivitas kebudayaan mulai dari seni rupa, musik, kesundaan, dan diskusi mengenai berbagai ide.
“Garasi 10 berusaha untuk menggali kepekaan terhadap pemaknaan ruang ke potensinya yang lebih luas. Garasi yang malam hari merupakan tempat menyimpan mobil secara sadar diperluas fungsinya sebagai galeri tempat diskusi kelas non formal, kelas pertunjukan musik dan potensi-potenasi lainnya yang menanti untuk diterapkan,“ tutur Ana.
SS dan kertas, menurutnya tidak bisa dipisahkan dan pengabdiannya terhadap dunia kertas sejak dia menempuh pendididkan studi grafis sampai melanglang buana dan kemudian menjadi professor, tak pernah terputus – dia tetap mengeksplorasi dan mempelajari kemungkinan-kemungkinan baru dalam medium kertas.
“Bagi SS, terlihat bahwa kertas yang semula hanyalah media dalam mencapai bentuk rupa dan grafis, pada akhirnya menjadi esensi dalam kiprah kesenimanannya. Seterusnya terjadi pergeseran pemahaman atas kertas dari semula kertas yang merupakan sarana dalam berkarya, pada akhirnya bertransformasi menjadi medium yang memiliki nilai spiritual,“ pungkasnya.
***
Sementara Kang Wawan yang saregep menyaksikan acara ini dari awal hingga akhir, mengaku mendapat informasi-informasi yang tidak terduga dari para pembicara, bahwa kiprah seninya selama ini ternyata menjadi sebuah hal yang menarik bagi orang lain – bagi generasi berikutnya. Intinya dari pengamatan ini dirinya dianggap sebagai penggagas lahirnya renungan untuk seni grafis Indonesia dan kata kang Wawan sekarang dia sedang merencanakan renungan yang lain dari perjalanannya ke mancanagara yang akan dikisahkan awal tahun depan dengan judul, Dongeng keur Anak-Incu.
“Apa yg disampaikan Pak Tisna, Pak Djuli, dan yang lainnya sangat menyentuh saya, bahwa apa yang saya tengah kerjakan itu boleh jadi atau mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi siapa pun generasi berikutnya dalam konteks seni rupa secara khusus, dan kebudayaan secara lebih luas lagi. Makasih… makasih atas acara webinar sore hari ini,“ katanya haru.
“Acara barusan itu waduh mereka itu kan orang-orang yang punya pengalaman, pengamatan, dan kebudayaan secara umum yang luas dan mendalam. Jadi tadi itu mereka betul-betul bercerita tentang Akang dengan begitu jeli dan begitu komprehensif, menekan sampai Akang terharu. Termasuk murid-murid S3, ya alhamdulilah mahasiswa itu juga punya kesan dan pesan tentang saya, “pungkas Kang Wawan dalam perbincangan khusus dengan wartawan usai acara, di Garasi 10. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
October 22, 2021
CB Blogger
Indonesia“Apa yg disampaikan Pak Tisna, Pak Djuli, dan yang lainnya sangat menyentuh saya, bahwa apa yang saya tengah kerjakan itu boleh jadi atau mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi siapa pun generasi berikutnya dalam konteks seni rupa secara khusus, dan kebudayaan secara lebih luas lagi. Makasih… makasih atas acara webinar sore hari ini,“ katanya haru.
“Acara barusan itu waduh mereka itu kan orang-orang yang punya pengalaman, pengamatan, dan kebudayaan secara umum yang luas dan mendalam. Jadi tadi itu mereka betul-betul bercerita tentang Akang dengan begitu jeli dan begitu komprehensif, menekan sampai Akang terharu. Termasuk murid-murid S3, ya alhamdulilah mahasiswa itu juga punya kesan dan pesan tentang saya, “pungkas Kang Wawan dalam perbincangan khusus dengan wartawan usai acara, di Garasi 10. (Asep GP)***
Kitab Jagat Kertas Dalam Renungan, Webinar : "Bentang Cakrawala Spiritualitas Seni Setiawan Sabana"
Posted by
Tatarjabar.com on Friday, October 22, 2021
Kang Wawan itu seorang pegrafis yang tangguh karena sudah terbukti juara di beberapa tempat bahkan membuat terobosan-terobosan dalam seni grafis.
Dilihat dari karya-karyanya dari zaman jahiliyah sampai karya spiritual seperti saat ini, Pak Wawan itu santai-santai saja tidak menganggap karyanya yang paling mulia diantara karya lainnnya.
Juga yang kedua, adalah organ kertas. Jadi kertas hubungannya dengan seni grafis dan ketika hubungannya kertas dengan seni grafis, Pak Wawan sudah melebarkan pada visual-visual kebudayaan di era digital ini membuat renungan sekaligus juga solusi dari karya seni estetis yaitu Monument Kertas dan Monument Koran.
Ini menurut saya pendidikan, penelitian, pengabdian, juga ghaib dan ajaib, ini bukti-buktinya banyak banget karya-karyanya.
Garasi Seni 10 adalah simbol di kota Bandung yang harus menjadi jaringan yang kuat. Situasi sekarang yang work from home sangat kontekstual dengan garasi (galeri) yang ada di rumah dengan bahan-bahan yang ada di rumah, yang dekat dengan keluarga, dengan dapur, dengan bahan-bahan bekas, dsb. Bisa menyehatkan lahir-bathin .
Tapi juga si garasi itu seperti juga dalam tradisi spiritual, ketika hijrah terus bisa merenungkan, harus juga bisa melihat ke luar bagaimana posisi atau simbol garasi ini diantara Studio Jeihan, Studio Pirous, Studio Soenaryo, Galeri Soemardja-ITB, dll, sampai jaringan budaya yang ada di kota Bandung. Apakah posisi garasi ini punya dampak, hubungan gerakan kultural gak? Sehingga bisa melakukan perubahan di ITB, di kampusnya sendiri maupun di Kota Bandung, silakan renungkan.
Apakah bisa berupa kantong kesenian yang akan bisa merubah peradaban yang ada di Kota Bandung, atau masih seperti studio-studio lainnya?
Apakah profesor-profesor yang ada di FSRD-ITB, sebagai Guru Besar tingkat Jenderal, sama nilainya dengan profesor di Jerman yang punya tingkat suara dewa, bisa melakukan perubahan?
Menurut saya profesor ini yang sudah paripurna, sudah pada tingkat ajaib dan ghaib yang mampu melakukan perubahan di kampus ITB dan Kota Bandung. Misalnya apakah Kota Bandung itu secara estetik sudah nampak?
Bahkan di Bandung itu kan banyak perguruan tinggi, ada ISBI, ITB, Maranatha, Unpad, Unpas, dsb, ada ratusan, dan di dalamnya banyak kaum intelektual, tapi apakah ada gerakan kebudayaan untuk melakukan perubahan, seperti perubahan lingkungan hidup, sosial, ekonomi, atau merubah hegemoni agama yang radikal, bahkan sesama agama itu intoleransi. Apakah seni ini bisa melakukan perubahan. Apakah ada fatwa-fatwa dari para empu ini untuk menyampaikan supaya terasa nilainya bidang estetik atau pedagogig yang menjadi acuan untuk sebuah gerakan kebudayaan.
Di Negara-negara lain sudah terbukti para inteklektual dan budayawan bisa melakukan perubahan-perubaha lewat gerakan kebudayaan.
Ini menurut saya pendidikan, penelitian, pengabdian, juga ghaib dan ajaib, ini bukti-buktinya banyak banget karya-karyanya.
Garasi Seni 10 adalah simbol di kota Bandung yang harus menjadi jaringan yang kuat. Situasi sekarang yang work from home sangat kontekstual dengan garasi (galeri) yang ada di rumah dengan bahan-bahan yang ada di rumah, yang dekat dengan keluarga, dengan dapur, dengan bahan-bahan bekas, dsb. Bisa menyehatkan lahir-bathin .
Tapi juga si garasi itu seperti juga dalam tradisi spiritual, ketika hijrah terus bisa merenungkan, harus juga bisa melihat ke luar bagaimana posisi atau simbol garasi ini diantara Studio Jeihan, Studio Pirous, Studio Soenaryo, Galeri Soemardja-ITB, dll, sampai jaringan budaya yang ada di kota Bandung. Apakah posisi garasi ini punya dampak, hubungan gerakan kultural gak? Sehingga bisa melakukan perubahan di ITB, di kampusnya sendiri maupun di Kota Bandung, silakan renungkan.
Apakah bisa berupa kantong kesenian yang akan bisa merubah peradaban yang ada di Kota Bandung, atau masih seperti studio-studio lainnya?
Apakah profesor-profesor yang ada di FSRD-ITB, sebagai Guru Besar tingkat Jenderal, sama nilainya dengan profesor di Jerman yang punya tingkat suara dewa, bisa melakukan perubahan?
Menurut saya profesor ini yang sudah paripurna, sudah pada tingkat ajaib dan ghaib yang mampu melakukan perubahan di kampus ITB dan Kota Bandung. Misalnya apakah Kota Bandung itu secara estetik sudah nampak?
Bahkan di Bandung itu kan banyak perguruan tinggi, ada ISBI, ITB, Maranatha, Unpad, Unpas, dsb, ada ratusan, dan di dalamnya banyak kaum intelektual, tapi apakah ada gerakan kebudayaan untuk melakukan perubahan, seperti perubahan lingkungan hidup, sosial, ekonomi, atau merubah hegemoni agama yang radikal, bahkan sesama agama itu intoleransi. Apakah seni ini bisa melakukan perubahan. Apakah ada fatwa-fatwa dari para empu ini untuk menyampaikan supaya terasa nilainya bidang estetik atau pedagogig yang menjadi acuan untuk sebuah gerakan kebudayaan.
Di Negara-negara lain sudah terbukti para inteklektual dan budayawan bisa melakukan perubahan-perubaha lewat gerakan kebudayaan.
“Nah, Pak Wawan dengan kesederhanaannya terus dengan gowes sehat membawa kebudayaan narasi berpikir di sepeda ini untuk menyampaikan nilai-nilai yang ada di rumah, di ruang perenungan, ruang intim, ke ranah ruang publik.“
Demikian disampaikan Dr. Tisna Sanjaya (Kang Entis) dalam Webinar: “Bentang Cakrawala Spiritualitas Seni Setiawan Sabana - Kitab Jagat Kertas Dalam Renungan”, Jumat (8/10/2021).
Webinar yang merupakan bagian dari rangkaian acara Pameran Tunggal Setiawan Sabana (SS, Kang Wawan) dari 5 Oktober-5 Desember 2021 ini, menampilkan beberapa pembicara: Dr. Tisna Sanjaya, MSch (FSRD ITB), Dr. Djuli Djati Prambudi MSn, (FBS UNESA), Dr. Nuning Y. Damayanti, Dipl. Art (FSRD ITB), Dr. Anna Sungkar, MSn (Pasca Sarjana IKJ).
***
Dr. Djuli Djati Prambudi, Alumni Seni Rupa dan Desain Pascasarjana ITB yang sekarang menjadi peneliti, pembimbing, pengajar tetap di Jurusan Seni Rupa dan Desain Pascasarjana UNS (Universitas Negeri Surabaya), serta penulis artikel seni di berbagai media nasional, memaknai “Setiawan Sabana Guru Besar Yang Membesarkan.”
Djuli yang mengenal Kang Wawan tahun 1991 di Pameran Besar Pelukis Indonesia (25 seniman), mengaku sangat terkesan, hingga membuat dirinya masuk dan lulus Doktor di FSRD ITB. Dan itu pintu gerbangnya adalah Kang Wawan. Dia sangat berterima kasih karena sudah dibimbing di Garasi 10 dan Ganesha 10 oleh Kang Wawan.
Menurut Djuli, Kang Wawan adalah fundamentalis seni grafis, sekaligus radikalis kertas dan singkong juga zihadis akademis kaum seniman.
“Pak Wawan layak dinobatkan sebagai fundamentalis seni grafis karena sejak awal beliau konsen pada seni grafis bukan sekedar sebagai bidang ilmu tapi juga dasar sebagai seniman grafis. Karena pertama saya kenal Kang Wawan beliau sebagai seniman grafis yang sudah sangat luar biasa terkenal saat itu,“ pujinya.
Sebagai radikalis (akar) kertas, kata Djuli, Kang Wawan itu tidak tanggung-tanggung masuk ke dunia kertas bukan hanya sekedar sebagai medium, tapi kertas itu sendiri sebagai seni/art paper. Bukan sekedar medium seperti yang dilakukan dalam seni grafis, tetapi kertas itu sebagai subjek meter, sebagai sesuatu yang diperkarakan yang diperbincangkan dan dieksplorasi sebagai kertas.
Apalagi dengan pingpong (Kang Wawan juga atlet Pingpong/Tenis Meja yang hebat, dia pun masih aktif latihan), luar biasa sampai beliau memiliki meja pingpong dari ukuran normal hingga ukuran kecil untuk melatih intuisinya. “Jadi melalui pendekatan Pingpong sampai kepada melatih intuisi tehadap berkeseniannya. Pingpong itu bukan tujuan akhir tapi sebagai sebuah medium atau pendekatan dalam rangka berkesenian. Ya, karena yang terus kemudian beredar di dunia internasional, yaitu tampak pada dunia seni yang ditekuninya terutama dalam dunia kertas dan dua-duanya itu ditekuni dengan sangat radikal artinya sama-sama kuat ditekuni dan memberikan artikulasi satu sama lain,“ jelas Djuli.
Sebagai zihadis (orang yang betul-betul berjuang) di dua garis ini, kang Wawan menurut Djuli, berjuang dengan sangat fenomenal, 40 tahun lebih beliau berada di dunia akademisi dan sekaligus di dunia seniman. Jadi ini layak disebut Guru Besar Zihadis di dunia akademis seni rupa dan juga di dunia seniman. Dan itu tidak mudah diikuti dua-duanya, sama-sama dikembangkan dan masing-masing sama-sama punya jejak.
“Saya kira ini luar biasa dan tidak mudah diikuti oleh pembelajar di seni rupa termasuk saya, masih sangat jauh,“ aku Djuli.
Djuli juga mengaku tertarik dengan kredo-kredo Kang Wawan yang kerap muncul dibicarakan di forum seperti, “Hidup itu ajaib dan ghaib”, “Berkarya harus seperti menghela napas “ dan, “Ketika di atas kertas aku masuk surga”.
“Saya akan melihat dari persfektif sufisme, karena kalau kita melihat sosok itu sudah masuk ke dunia tasawuf, maka tidak dapat didekati secara fikiah dengan hanya menyoal yang sifatnya teknis. Hanya dengan dunia sufisme kita bisa mendekati Kang Wawan,“ katanya serius.
Djuli yang mengenal Kang Wawan tahun 1991 di Pameran Besar Pelukis Indonesia (25 seniman), mengaku sangat terkesan, hingga membuat dirinya masuk dan lulus Doktor di FSRD ITB. Dan itu pintu gerbangnya adalah Kang Wawan. Dia sangat berterima kasih karena sudah dibimbing di Garasi 10 dan Ganesha 10 oleh Kang Wawan.
Menurut Djuli, Kang Wawan adalah fundamentalis seni grafis, sekaligus radikalis kertas dan singkong juga zihadis akademis kaum seniman.
“Pak Wawan layak dinobatkan sebagai fundamentalis seni grafis karena sejak awal beliau konsen pada seni grafis bukan sekedar sebagai bidang ilmu tapi juga dasar sebagai seniman grafis. Karena pertama saya kenal Kang Wawan beliau sebagai seniman grafis yang sudah sangat luar biasa terkenal saat itu,“ pujinya.
Sebagai radikalis (akar) kertas, kata Djuli, Kang Wawan itu tidak tanggung-tanggung masuk ke dunia kertas bukan hanya sekedar sebagai medium, tapi kertas itu sendiri sebagai seni/art paper. Bukan sekedar medium seperti yang dilakukan dalam seni grafis, tetapi kertas itu sebagai subjek meter, sebagai sesuatu yang diperkarakan yang diperbincangkan dan dieksplorasi sebagai kertas.
Apalagi dengan pingpong (Kang Wawan juga atlet Pingpong/Tenis Meja yang hebat, dia pun masih aktif latihan), luar biasa sampai beliau memiliki meja pingpong dari ukuran normal hingga ukuran kecil untuk melatih intuisinya. “Jadi melalui pendekatan Pingpong sampai kepada melatih intuisi tehadap berkeseniannya. Pingpong itu bukan tujuan akhir tapi sebagai sebuah medium atau pendekatan dalam rangka berkesenian. Ya, karena yang terus kemudian beredar di dunia internasional, yaitu tampak pada dunia seni yang ditekuninya terutama dalam dunia kertas dan dua-duanya itu ditekuni dengan sangat radikal artinya sama-sama kuat ditekuni dan memberikan artikulasi satu sama lain,“ jelas Djuli.
Sebagai zihadis (orang yang betul-betul berjuang) di dua garis ini, kang Wawan menurut Djuli, berjuang dengan sangat fenomenal, 40 tahun lebih beliau berada di dunia akademisi dan sekaligus di dunia seniman. Jadi ini layak disebut Guru Besar Zihadis di dunia akademis seni rupa dan juga di dunia seniman. Dan itu tidak mudah diikuti dua-duanya, sama-sama dikembangkan dan masing-masing sama-sama punya jejak.
“Saya kira ini luar biasa dan tidak mudah diikuti oleh pembelajar di seni rupa termasuk saya, masih sangat jauh,“ aku Djuli.
Djuli juga mengaku tertarik dengan kredo-kredo Kang Wawan yang kerap muncul dibicarakan di forum seperti, “Hidup itu ajaib dan ghaib”, “Berkarya harus seperti menghela napas “ dan, “Ketika di atas kertas aku masuk surga”.
“Saya akan melihat dari persfektif sufisme, karena kalau kita melihat sosok itu sudah masuk ke dunia tasawuf, maka tidak dapat didekati secara fikiah dengan hanya menyoal yang sifatnya teknis. Hanya dengan dunia sufisme kita bisa mendekati Kang Wawan,“ katanya serius.
Dunia sufisme sangat percaya bahwa realitas itu adalah emanasi dari Gusti Allah. Jadi refleksi cahaya, pancaran dari Nur Illahi. Dan Kang Wawan itu dengan getaran tertentu, dengan nafas yang kadang sering tersengal, suara bergetar ketika mengucapkan 3 kredonya ini, dengan getaran yang luar biasa. “Artinya memang ini sesuatu yang dihayati dan semua ini sumbernya dari Tuhan Yang Maha Kuasa,“ kata Djuli.
Ketika beliau mengatakan “Hidup Itu Ajaib dan Ghaib” suara Kang Wawan itu seperti mau menangis dan itu bukan hanya refleksi tapi sudah pada kontemplasi. Kang Wawan sudah melampaui cara berpikir yang paling awal, berpikir deskriptif. Berpikir komparatif pun sudah dilampaui, kemudian berpikir Holistik (itu juga sudah dilampaui karena beliau guru besar) dan yang berikutnya melalui seni itu Kang Wawan mengekspresikan sebuah karya yang sudah masuk dunia reflektif dan sekaligus kontemplatif.
Karena sudah sampai ke tataran itu maka Kang Wawan menggunakan kata-kata yang selalu dikaitkan dengan dunia metafisik, dunia ghaib. Ya entitas dari Theosentrisme. Karena beliau selalu katakan: “Hidup itu ajaib dan ghaib.”
Berkarya Harus Seperti Menghela Napas, ini artinya antara hidup dan berkarya itu tidak bisa dipisahkan. Hidup itu adalah berkarya sendiri, berkarya itu ya harus hidup - berkarya itu menghidupi.
Hidup itu adalah napas yang membangun energi biopilia-energi yang terus dikeluarkan dan itu selalu membangun medan magnet pada dunia akademik maupoun non akademik. Dan hal ini tidak hanya bersifat konsep, tetapi itu dilakukan Kang Wawan. Jadi ilmu itu akan bermanfaat jika dilakukan, dibentuk, diekspresikan dan jika ditularkan. “Dan saya kira Pak Wawan sudah sampai pada tahap itu, berkarya harus seperti menghela nafas,“ paparnya.
Di Atas Kertas Aku Masuk Surga. Kertas disini dikasih huruf besar, sebab bukan kertas sembarangan - karena hubungannya dengan Aku Masuk surga.
Kertas itu bisa berupa catatan hidup, kitab suci, bahkan kertas itu berupa semesta – galaksi. Jadi artinya itu kodrat-nasib-fitrah. Jadi kertas itu sebagai metafor dunia metafisik.
“Itu tafsir saya mudah-mudahan tidak keliru. Maknanya sangat mendalam sekali,“ kata Djuli.
Djuli juga menyoroti Garasi Seni 10 yang menurutnya adalah sebuah pesantren, pusat penggodokan, pusat energi bersama, hingga akhirnya melepas murid-muridnya untuk berkembang di luar. Mencari jati dirinya di luar sana. Garasi baginya jadi ruang budaya, ruang edukasi, dan ruang transformasi.
“Pak Wawan orang yang konsen membangun keilmuan seni itu menjadi lebih luas dan lebih banyak kemungkinan yang didasarkan pada kenusantaraan, dan kita tahu kenusantaraan itu laman groundnya adalah spiritualitas. Kepercayaan kuno animisme, dinamisme dalam spritiualitas dan akar pohon keilmuan seni,“ demikian pungkas Djuli.
***
Sementara Nuning Yanti Damayanti, Alumni FSRD ITB ’89 dan menjadi dosen di almamaternya sejak 93 serta aktif menjadi seniman, penyair, budayawan, peneliti internasional dan nasional, dalam materi webinarnya “Bentang Cakrawala Spritualitas Setiawan Sabana”, menganggap Kang Wawan sebagai seorang pendidik sangat berperan besar dalam kehidupannya. Seorang guru, seniman, ilmuwan, sahabat, dan keluarga bagi dirinya.
“Pengalaman studinya dan melanglangbuana ke berbagai Negara membuat wawasannya luas dan kiprahnya luar biasa, dan itu nantinya berdampak kepada spiritualitas beliau yang sudah banyak melihat beragam kebudayaan dunia, Eropa, Asia, Amerika, Australia bahkan Afrika (Mesir), itu kan tidak semua orang bisa begitu,“ kata Nuning serius.
“Pengalaman studinya dan melanglangbuana ke berbagai Negara membuat wawasannya luas dan kiprahnya luar biasa, dan itu nantinya berdampak kepada spiritualitas beliau yang sudah banyak melihat beragam kebudayaan dunia, Eropa, Asia, Amerika, Australia bahkan Afrika (Mesir), itu kan tidak semua orang bisa begitu,“ kata Nuning serius.
Menurut Nuning, Kang Wawan sengaja dilahirkan di tanah Sunda untuk bertugas menjadi seorang guru bagi anak didiknya, menjadi seorang pembimbing bagi yang mengikuti langkahnya, menjadi sahabat bagi yang memahaminya, dan jadi keluarga bagi yang membutuhkannya.
Lalu kenapa harus di tanah Sunda? Karena Kang Wawan akan menjadi Guru Besar Seni Rupa dengan gelar kepakaran bidang seni grafis dan menjadi Maestro kertas di Indonesia. Dan harus menjadi salahsatu seniman yang mewakili masyarakat Sunda wedalan Seni Rupa ITB - Indonesia.
Selain itu juga supaya Kang Wawan akan dikenang sepanjang masa sebagai seorang seniman, budayawan, ilmuwan sekaligus juga pendidik di garis horizon akademik, perguruan tinggi. “Jadi saya melihat SS (Setiawan Sabana) itu figur paket komplit dan tidak semua orang bisa seperti dirinya,“ tegas Nuning.
“Saya merasa bangga sekali menjadi bagian garis horizon SS karena saya juga lahir di tanah Sunda (terah Cianjur) dan rumah saya dekat sekali dengan Pak Wawan,“ imbuhnya.
Nuning juga bersaksi, SS yang ketika menjadi asisten dosen terkesan sangat cool (pendiam/dingin), tapi ternyata aslinya lebih banyak ketawa dan sangat hangat/akrab dengan anak didik dan sangat jarang mengatakan tidak. Nuning tidak pernah melihat SS marah secara frontal. “Yang saya tahu Pak Wawan itu baik pisan, humoris, lucu dan Sunda banget,“ katanya.
SS bagi Nuning, berada pada barisan orang-orang hebat di FSRD ITB. Dia juga pelopor kurator dan sangat manusiawi, juga fleksibel hingga banyak dihormati orang. Itu dibuktikan Nuning ketika diajak pameran di Jerman. Ketika di Frankfurt betapa SS ditawari nginap di rumah Nicole, temannya. Padahal kata Nuning itu bukan kebiasaan orang Jerman. Tapi ini malah rela menyerahkan kamarnya untuk dipakai istirahat SS sementara Nicole sendiri tidur di luar kamar.
Nuning juga terkesan dengan sifat kesenimanan SS, ketika diangkat jadi profesor (guru besar FSRD ITB), SS tampil ke panggung menampilkan tarian Perengkel Jahe (happening art, seni rupa pertunjukan) di Aula Barat, disaksikan 10 rektor perguruan tinggi di Indonesia yang ikut hadir kala itu. (Kang Wawan memang termasuk perintis Perengkel Jahe, ketika dalam perjalanan pulang akan naik kereta api di Solo, di depan stasion Balapan ada yang sedang memainkan musik Keroncong, dia langsung ngibing, ngarengkenek merespon musik khas Inondonesia itu, para musisi pun ikut senang, tapi tak tahu bahwa yang lagi berjoget itu adalah seorang Profesor, red ).
Nuning juga takkan lupa dengan pesan SS. “Belajar itu harus seperti menggali tanah, semakin dalam dan semakin melebar hingga keluar mata air yang berguna bagi siapa pun”, juga “Berkarya itu harus seperti helaan napas” dan “Jadi seniman itu mudah yang sulit itu jadi manusia.”
Dua tahun terakhir garis-garis horisontal Pak Wawan itu berubah jadi vertikal. Mudah-mudahan bisa berguru terus pada Pak Wawan,“ pungkas Nuning.
Pemateri pamungkas, Ana Sungkar yang merupakan Doktor jebolan ISI Yogyakarta dan kini menjadi kurator dalam pameran nasional dan internasional, hampir membedah habis karya lulusan Seni Murni FSRD ITB ’77 kelahiran Bandung 10 Mei 1951 ini, yang dalam perkembangannya dikenal sebagai Pemuka Seni Grafis dan Maestro Kertas.
Lewat “Kesenian dan Kesenimanan Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA”, Ana menafsir karya-karya awal pergumulan SS dengan kertas. Dari karya-karya awal “Nostalgia 77” yang berupa sekumpulan wanita dengan rambut tergerai ada pula yang diikat, dan hampir semuanya sedang memperhatikan seorang wanita yang rambutnya tertiup angin. Wanita itu berbentuk silhuet di bagian atas pada gambar, namun ada juga wanita menghadap ke kiri. “Dari sana kita bisa melihat wanita itu cantik rupawan. Karya ini barangkali menggambarkan sebuah kenangan bahwa wanita itu pernah muda dengan rambut tergerai tertiup angin dan dibuatkan silhuet sebagai tanda telah berlalu. Ini suatu imajinasi atas memori hidup yang sangat berkesan. Kesan yang ditangkap adalah karya tersebut puitis dengan goresan yang tegas sekaligus cair. Sehingga kita dapat menikmati efek gelap - terang pada bagian rambut,“ demikian menurut Ana.
Karya lainnya, Cermin 79, Jendela Alam 84, Gerbang Alam 91 serta karya-karya zaman Dacenta berikutnya , Pemandangan Langit 94.
Ana melihat kertas bagi SS merupakan bentuk miniatur dari makrokosmos karena itu kita dapat melihat karya-karya yang merefleksikan kebesaran atas jagat. Penghayatan atas kebesaran jagat membangkitkan rasa spiritual atas Sang Pencipta. “Salahsatu yang saya sukai dari periode ini adalah Pemandangan Langit. Sebuah dataran merah dengan langit yang hitam, pada bagian atas dari langit hitam itu kita dapat melihat goresan berbentuk segitiga, segi empat, lingkaran dan aksara bertuliskan ‘alam imajinasi kelas iman’, sebuah karya penghayatan atas spiritual, sementara kata spiritual itu sendiri baru muncul pada karya SS periode tahun 2000-an,“ jelas Ana.
Seterusnya Tanpa Judul 95, Spiritualitas Kertas pada 2000-an, Legenda Kertas 2005, Bumi Kertas 2013 dikupas tuntas oleh Ana, hingga menutupnya dengan Kiprah Garasi 10.
Kata Ana, demi memantapkan perjalanan simbolik kertas, SS aktif menjalankan ruang Garasi 10 yang dirintisnya sejak taun 2012 yang berlokasi di rumahnya di Jalan Rebana 10 Bandung. Garasi 10, menurutnya merupakan sebuah ruang gagas yang banyak melakukan aktivitas kebudayaan mulai dari seni rupa, musik, kesundaan, dan diskusi mengenai berbagai ide.
“Garasi 10 berusaha untuk menggali kepekaan terhadap pemaknaan ruang ke potensinya yang lebih luas. Garasi yang malam hari merupakan tempat menyimpan mobil secara sadar diperluas fungsinya sebagai galeri tempat diskusi kelas non formal, kelas pertunjukan musik dan potensi-potenasi lainnya yang menanti untuk diterapkan,“ tutur Ana.
SS dan kertas, menurutnya tidak bisa dipisahkan dan pengabdiannya terhadap dunia kertas sejak dia menempuh pendididkan studi grafis sampai melanglang buana dan kemudian menjadi professor, tak pernah terputus – dia tetap mengeksplorasi dan mempelajari kemungkinan-kemungkinan baru dalam medium kertas.
“Bagi SS, terlihat bahwa kertas yang semula hanyalah media dalam mencapai bentuk rupa dan grafis, pada akhirnya menjadi esensi dalam kiprah kesenimanannya. Seterusnya terjadi pergeseran pemahaman atas kertas dari semula kertas yang merupakan sarana dalam berkarya, pada akhirnya bertransformasi menjadi medium yang memiliki nilai spiritual,“ pungkasnya.
***
Sementara Kang Wawan yang saregep menyaksikan acara ini dari awal hingga akhir, mengaku mendapat informasi-informasi yang tidak terduga dari para pembicara, bahwa kiprah seninya selama ini ternyata menjadi sebuah hal yang menarik bagi orang lain – bagi generasi berikutnya. Intinya dari pengamatan ini dirinya dianggap sebagai penggagas lahirnya renungan untuk seni grafis Indonesia dan kata kang Wawan sekarang dia sedang merencanakan renungan yang lain dari perjalanannya ke mancanagara yang akan dikisahkan awal tahun depan dengan judul, Dongeng keur Anak-Incu.
“Apa yg disampaikan Pak Tisna, Pak Djuli, dan yang lainnya sangat menyentuh saya, bahwa apa yang saya tengah kerjakan itu boleh jadi atau mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi siapa pun generasi berikutnya dalam konteks seni rupa secara khusus, dan kebudayaan secara lebih luas lagi. Makasih… makasih atas acara webinar sore hari ini,“ katanya haru.
“Acara barusan itu waduh mereka itu kan orang-orang yang punya pengalaman, pengamatan, dan kebudayaan secara umum yang luas dan mendalam. Jadi tadi itu mereka betul-betul bercerita tentang Akang dengan begitu jeli dan begitu komprehensif, menekan sampai Akang terharu. Termasuk murid-murid S3, ya alhamdulilah mahasiswa itu juga punya kesan dan pesan tentang saya, “pungkas Kang Wawan dalam perbincangan khusus dengan wartawan usai acara, di Garasi 10. (Asep GP)***
“Apa yg disampaikan Pak Tisna, Pak Djuli, dan yang lainnya sangat menyentuh saya, bahwa apa yang saya tengah kerjakan itu boleh jadi atau mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi siapa pun generasi berikutnya dalam konteks seni rupa secara khusus, dan kebudayaan secara lebih luas lagi. Makasih… makasih atas acara webinar sore hari ini,“ katanya haru.
“Acara barusan itu waduh mereka itu kan orang-orang yang punya pengalaman, pengamatan, dan kebudayaan secara umum yang luas dan mendalam. Jadi tadi itu mereka betul-betul bercerita tentang Akang dengan begitu jeli dan begitu komprehensif, menekan sampai Akang terharu. Termasuk murid-murid S3, ya alhamdulilah mahasiswa itu juga punya kesan dan pesan tentang saya, “pungkas Kang Wawan dalam perbincangan khusus dengan wartawan usai acara, di Garasi 10. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment