Saturday, October 30, 2021
Dekan FSRD, Dr. Supriatna tengah membuka pameran (Foto Asep GP) |
Hal tersebut ditegaskan Dekan Fakultas Seni Rupa & Desain (FSRD) Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, Dr. Supriatna di sela-sela acara Pameran Seni Rupa FSRD ISBI Bandung, Heritage Of Native Jabar Exhibition (HONJE) #2 : LEGACY di Thee Huis Gallerry, Taman Budaya Jawa Barat Jl. Bukit Dago Selatan No. 53 A Dago, Kota Bandung (17/10/2021).
Pameran rangkaian acara Dies Natalis ISBI Bandung yang ke-53 berlangsung dari tanggal 17 – 22 Oktober 2021 dengan menggelar 40 karya terbaru para mahasiswa, alumni, dan staf pangajar Prodi Seni Murni, Kriya, dan Rias Busana.
Supriatna yang didampingi Kurator Pameran, Nandang Gumelar Wahyudi (GaWe), menjelaskan program FSRD ISBI menuju pusat kajian seni rupa Nusantara sudah dicanangkan ketika dia menjabat Dekan FSRD ISBI Bandung tahun 2019. Programnya dimulai dengan pengkajian lokal di Bandung, Priangan, Jawa Barat, Nasional, dan seterusnya ke tingkat regional ASEAN, Asia dan global – Internasional.
Ki Pahare (Pakujajar) Karya Shafanissa (Foto Asep GP) |
Memang kata Supriatna tidak gampang meraih semua itu, harus berjuang keras melalui tahapan. Tapi dia optimis di tahun 2035 semua itu akan terwujud. Oleh karena itu Supriatna mengajak mohon dukungan dari semua pihak dan berharap programnya bisa diteruskan oleh dekan-dekan selanjutnya yang menggantikan dirinya.
“Demikian garis besar roadmap, cita-cita FSRD ISBI. Semoga para dekan generasi sesudah saya konsisten meneruskan program ini. Jangan sampai ganti dekan ganti kebijakan. Diharapkan dukungan dan kerjasamanya demi terwujudnya cita-cita FSRD ISBI jadi pusat kajian seni rupa Nusantara,“ kata Supriatna serius.
Batik Tenun Bulu Garut Motif Jalahure karya Khoerusa (Foto Asep GP) |
Supriatna juga blak-blakan pada wartawan, sebenarnya dirinya masih punya peluang untuk kembali menjadi dekan satu periode lagi, tapi kalau ternyata ada teman sekampusnya ada yang ingin mencalonkan jadi Dekan, silakan saja. Supriatna juga akan memberi kesempatan pada yang lain, jangan terkesan Seni Rupa ISBI di-hak oleh dirinya. "Pasti banyak kader. Tapi kalau tidak ada yang maju, ya lahaola saja, saya punya tanggung jawab moral untuk meneruskan kepemimpinan dan akan mewujudkan cita-cita FSRD ISBI Bandung jadi Pusat Kajian Seni Rupa di Nusantara," ujarnya pasti.
Kata Supriatna ISBI harus punya ciri khas, berbeda konsep dengan perguruan tinggi seni lainnya di Kota Bandung. Kalau mau mengejar reputasi Seni Rupa ITB yang mengacu pada konsep teknologi, seni kontemporer, seni Barat yang kental pasti jadi saingan berat. Makanya konsep FSRD ISBI akan lebih lebih mengusung seni tradisi. Demikian kata Pak Dekan.
Karya Nathalia dengan unsur budaya Bataknya (Foto Asep GP) |
Salah satu out put nya adalah pameran yang berlangsung di Thee Huis Gallery-Dago yang menampilkan Seni Kriya, Busana, dan Seni Murni yang konsepnya mengacu pada seni rupa tradisi.
Sependapat dengan apa yang disampaikan Pak Dekan, Ketua Prodi Rias Busana Suharno, M.Sn (alumni ISI Yogya – Pascasarjana FSRD ITB), pun selama ini berharap para mahasiswanya ketika membuat tugas akhir (skripsi/TA) berbasis budaya-budaya lokal/tradisi. Hal tersebut mendapat respon bagus, terbukti dalam pameran tersebut, ada 5 karya busana buatan para alumni dan mahasiswanya dari angkatan 2016 dan 2017 yang berbasis seni tradisi.
Dr. Gustiyan dengan Hariara Sundung di Langitnya |
Diantaranya, Shafanissa (angkatan 2017) memamerkan hiasan (pernak-pernik/bros) baju yang diberi nama Ki Pahare, motif tumbuhan khas Sukabumi yang terkenal di kalangan Sunda disebut Pakujajar Tanaman tersebut dalam Pantun Bogor disebutkan sebagai simbol/bendera Kerajaan Pajajaran yang dipadukan dengan Kujang Papasangan (sepasang Kujang kembar - saling berhadapan). Shafanisa menambahkan, Pakujajar juga ada hubungannya dengan cerita Pajajaran di Gunung Parang.
Ki Pahare, kata Shafanissa yang sekarang hampir punah dan tidak terlalu dikenal oleh orang Sukabumi dan Orang Sunda pada umumnya, pernah dijadikan motif Batik Sukabumi oleh Teni Hasyanti (ibunya Shafanissa) tahun 2008. Guna melestarikan tanaman sakral Kerajaan Pajajaran yang langka dan hampir punah itu.
Erik dengan Dwi Tarung - lukis kaca Cirebon |
Begitu juga Nathalia Rachel Destriani Naibaho (angkatan 2017), konsep karyanya mengandung unsur Budaya Batak, motif Gorga hiasan yang biasa terlihat di rumah adat Batak, dan Ulos Mangiring (yang biasa diberikan kepada perempuan yang baru melahirkan dengan harapan kedepannya akan banyak anak yang lahir lagi). Simbol semangat Nathalia untuk terus menerus melahirkan karya-karyanya.
Motif Gorga, kata Nathalia, sekarang sudah dipakai di alat musik Batak. Selain Gorga, Nathalia juga memakai motif makhluk Raksasa, Ulu Paung, Iran-iran, geometris dan tumbuhan Si Meomeo yang hingga sekarang masih ada di pedesaan Batak.
Sani Khoerusa (angkatan 2017) menampilkan karya Batik Tenun Bulu Garut motif Jalahure (tumbuhan hias langka yang berpotensi jadi tanaman pangan, tepungnya untuk bahan pembuatan kue). Batik tekstur yang unik dan berbulu, menambah khazanah perbatikan di Garut. Kata Sani di Garut memang sudah ada Batik Bulu tapi yang bermotif Jalahure murni buatannya. Konsepnya “Batik Tulis pada Tenun Bulu Garut motif Jalahure.”
Untuk karya Seni Murni, diantaranya, Tugu Simatupang, “Hariara Sundung di Langit” (Kosmologi Batak) karya Dr. Gustiyan Rachmadi (S1 Gustin, FSRD ITB 87). Monumen urban 21 meter karya kolaborasi dengan arsitek Jimy Purba ini aslinya aya di Muara Tapanuli Utara (Sumut).
Yang lainnya, Erik Rifky Prayudhi S.Sn, memamerkan Lukisan Kaca “Dwitarung”. Berupa gambar macan kumbang dan makhluk air, simbol api dan air yang berseberangan tapi keduanya berkaitan. Lukisan kaca ini mengacu pada lukis kaca Cirebon. “Ketika di ISBI memang saya harus mengusahakan mengolah ranah tradisi jadi karya kiwari,“ katanya, menutup obrolan. (Asep GP)***
FSRD ISBI Bandung, Pusat Kajian Seni Rupa Nusantara
Posted by
Tatarjabar.com on Saturday, October 30, 2021
Dekan FSRD, Dr. Supriatna tengah membuka pameran (Foto Asep GP) |
Hal tersebut ditegaskan Dekan Fakultas Seni Rupa & Desain (FSRD) Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, Dr. Supriatna di sela-sela acara Pameran Seni Rupa FSRD ISBI Bandung, Heritage Of Native Jabar Exhibition (HONJE) #2 : LEGACY di Thee Huis Gallerry, Taman Budaya Jawa Barat Jl. Bukit Dago Selatan No. 53 A Dago, Kota Bandung (17/10/2021).
Pameran rangkaian acara Dies Natalis ISBI Bandung yang ke-53 berlangsung dari tanggal 17 – 22 Oktober 2021 dengan menggelar 40 karya terbaru para mahasiswa, alumni, dan staf pangajar Prodi Seni Murni, Kriya, dan Rias Busana.
Supriatna yang didampingi Kurator Pameran, Nandang Gumelar Wahyudi (GaWe), menjelaskan program FSRD ISBI menuju pusat kajian seni rupa Nusantara sudah dicanangkan ketika dia menjabat Dekan FSRD ISBI Bandung tahun 2019. Programnya dimulai dengan pengkajian lokal di Bandung, Priangan, Jawa Barat, Nasional, dan seterusnya ke tingkat regional ASEAN, Asia dan global – Internasional.
Ki Pahare (Pakujajar) Karya Shafanissa (Foto Asep GP) |
Memang kata Supriatna tidak gampang meraih semua itu, harus berjuang keras melalui tahapan. Tapi dia optimis di tahun 2035 semua itu akan terwujud. Oleh karena itu Supriatna mengajak mohon dukungan dari semua pihak dan berharap programnya bisa diteruskan oleh dekan-dekan selanjutnya yang menggantikan dirinya.
“Demikian garis besar roadmap, cita-cita FSRD ISBI. Semoga para dekan generasi sesudah saya konsisten meneruskan program ini. Jangan sampai ganti dekan ganti kebijakan. Diharapkan dukungan dan kerjasamanya demi terwujudnya cita-cita FSRD ISBI jadi pusat kajian seni rupa Nusantara,“ kata Supriatna serius.
Batik Tenun Bulu Garut Motif Jalahure karya Khoerusa (Foto Asep GP) |
Supriatna juga blak-blakan pada wartawan, sebenarnya dirinya masih punya peluang untuk kembali menjadi dekan satu periode lagi, tapi kalau ternyata ada teman sekampusnya ada yang ingin mencalonkan jadi Dekan, silakan saja. Supriatna juga akan memberi kesempatan pada yang lain, jangan terkesan Seni Rupa ISBI di-hak oleh dirinya. "Pasti banyak kader. Tapi kalau tidak ada yang maju, ya lahaola saja, saya punya tanggung jawab moral untuk meneruskan kepemimpinan dan akan mewujudkan cita-cita FSRD ISBI Bandung jadi Pusat Kajian Seni Rupa di Nusantara," ujarnya pasti.
Kata Supriatna ISBI harus punya ciri khas, berbeda konsep dengan perguruan tinggi seni lainnya di Kota Bandung. Kalau mau mengejar reputasi Seni Rupa ITB yang mengacu pada konsep teknologi, seni kontemporer, seni Barat yang kental pasti jadi saingan berat. Makanya konsep FSRD ISBI akan lebih lebih mengusung seni tradisi. Demikian kata Pak Dekan.
Karya Nathalia dengan unsur budaya Bataknya (Foto Asep GP) |
Salah satu out put nya adalah pameran yang berlangsung di Thee Huis Gallery-Dago yang menampilkan Seni Kriya, Busana, dan Seni Murni yang konsepnya mengacu pada seni rupa tradisi.
Sependapat dengan apa yang disampaikan Pak Dekan, Ketua Prodi Rias Busana Suharno, M.Sn (alumni ISI Yogya – Pascasarjana FSRD ITB), pun selama ini berharap para mahasiswanya ketika membuat tugas akhir (skripsi/TA) berbasis budaya-budaya lokal/tradisi. Hal tersebut mendapat respon bagus, terbukti dalam pameran tersebut, ada 5 karya busana buatan para alumni dan mahasiswanya dari angkatan 2016 dan 2017 yang berbasis seni tradisi.
Dr. Gustiyan dengan Hariara Sundung di Langitnya |
Diantaranya, Shafanissa (angkatan 2017) memamerkan hiasan (pernak-pernik/bros) baju yang diberi nama Ki Pahare, motif tumbuhan khas Sukabumi yang terkenal di kalangan Sunda disebut Pakujajar Tanaman tersebut dalam Pantun Bogor disebutkan sebagai simbol/bendera Kerajaan Pajajaran yang dipadukan dengan Kujang Papasangan (sepasang Kujang kembar - saling berhadapan). Shafanisa menambahkan, Pakujajar juga ada hubungannya dengan cerita Pajajaran di Gunung Parang.
Ki Pahare, kata Shafanissa yang sekarang hampir punah dan tidak terlalu dikenal oleh orang Sukabumi dan Orang Sunda pada umumnya, pernah dijadikan motif Batik Sukabumi oleh Teni Hasyanti (ibunya Shafanissa) tahun 2008. Guna melestarikan tanaman sakral Kerajaan Pajajaran yang langka dan hampir punah itu.
Erik dengan Dwi Tarung - lukis kaca Cirebon |
Begitu juga Nathalia Rachel Destriani Naibaho (angkatan 2017), konsep karyanya mengandung unsur Budaya Batak, motif Gorga hiasan yang biasa terlihat di rumah adat Batak, dan Ulos Mangiring (yang biasa diberikan kepada perempuan yang baru melahirkan dengan harapan kedepannya akan banyak anak yang lahir lagi). Simbol semangat Nathalia untuk terus menerus melahirkan karya-karyanya.
Motif Gorga, kata Nathalia, sekarang sudah dipakai di alat musik Batak. Selain Gorga, Nathalia juga memakai motif makhluk Raksasa, Ulu Paung, Iran-iran, geometris dan tumbuhan Si Meomeo yang hingga sekarang masih ada di pedesaan Batak.
Sani Khoerusa (angkatan 2017) menampilkan karya Batik Tenun Bulu Garut motif Jalahure (tumbuhan hias langka yang berpotensi jadi tanaman pangan, tepungnya untuk bahan pembuatan kue). Batik tekstur yang unik dan berbulu, menambah khazanah perbatikan di Garut. Kata Sani di Garut memang sudah ada Batik Bulu tapi yang bermotif Jalahure murni buatannya. Konsepnya “Batik Tulis pada Tenun Bulu Garut motif Jalahure.”
Untuk karya Seni Murni, diantaranya, Tugu Simatupang, “Hariara Sundung di Langit” (Kosmologi Batak) karya Dr. Gustiyan Rachmadi (S1 Gustin, FSRD ITB 87). Monumen urban 21 meter karya kolaborasi dengan arsitek Jimy Purba ini aslinya aya di Muara Tapanuli Utara (Sumut).
Yang lainnya, Erik Rifky Prayudhi S.Sn, memamerkan Lukisan Kaca “Dwitarung”. Berupa gambar macan kumbang dan makhluk air, simbol api dan air yang berseberangan tapi keduanya berkaitan. Lukisan kaca ini mengacu pada lukis kaca Cirebon. “Ketika di ISBI memang saya harus mengusahakan mengolah ranah tradisi jadi karya kiwari,“ katanya, menutup obrolan. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment