Home
» Seni Budaya
» Prof. Setiawan Sabana : Prestasi budaya nenek moyang kita lebih unggul dibanding karya nenek moyang bangsa lainnya
Sunday, August 15, 2021
Prof. Wawan, Nenek Moyangku Orang Pelaut dan Perupa |
Pada hari Kamis, (12/8/2021) berlangsung Webinar yang diselenggarakan Universitas Kristen Maranatha bertajuk “Nusantara Suatu Harapan – Kreativitas Seni Rupa Esok Hari”. Pembicara dan moderatornya adalah profesor di bidang kepakarannya masing-masing, Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA seorang seniman/perupa atau Maestro Kertas juga akademisi, Guru Besar Seni Rupa ITB yang baru saja pensiun di usia 70 tahun, tapi makin pensiun makin aktif berkesenian, pameran, nguji ujian mahasiswa pascasarjana, konsultan seni, juga jadi pembicara di webinar-webinar seperti ini.
Karena tetap bugar akibat rajin olahraga dan beribadah, dimanapun pengundangnya dia layani, lagian bisa memanfaatkan teknologi digital lewat aplikasi zoom, tidak perlu datang ke lokasi seperti di zaman normal – sebelum pandemi.
Pembicara kedua adalah Prof. Dr. Dharsono, M.Sn., Guru Besar Estetika Seni dari Surakarta ini membahas Estetika “Citarasa” – Munculnya kembali Paradigma Baru Dalam Pencarian Identitas Kekaryaan Seni pada Era Revolusi Industri digital di Abad Milenial.
Dan Moderatornya adalah Guru Besar Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Prof. Dr. Endang Caturwati, M.Sn, yang tetap cantik.
Kata Kang Wawan (sapaan akrab Prof. Setiawan Sabana), "Memang Maranatha kelihatan sekarang tambah aktif, karena banyak orang-orang kreatif dan didukung pimpinan disana,” pujinya.
Sementara Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Maranartha, Irena Vanessa Gunawan, S.T., M.Com, mengatakan bahwa webinar ini rangkaian acara ASEDAS (Asean Digital Art Society) dan dia berharap, “Akan terus mengingatkan kita betapa kayanya kita dan untuk terus jangan terbawa alur modernisasi dan melupakan apa yang menjadi modal utama kita. ASEDAS ini merupakan salahsatu acara berwawasan internasional, terakhir diikuti oleh 40 negara dan ini merupakan salahsatu kesempatan kita untuk muncul sebagai duta-duta budaya,” terangnya.
Eyang Dharso, Zaman Estetika Citarasa |
Irena pun mengajak semua peserta webinar untuk terus bersyukur. “Karena saya lihat Tuhan itu sangat mencintai kita – manusia-manusia Indoneisa. Jadi kita itu bukan hanya dianugerahi tanah air yang luar biasa suburnya tapi juga modal kita merupakan kekayaan dari 600 lebih suku dengan budayanya yang begitu beragamnya dan saya rasa webinar-webinar seperti ini akan terus menguatkan kita menginspirasi kita supaya kita terus mengklaim dan muncul sebagai proud owner (pemilik yang bangga) dari kebudayaan Nusantara,” katanya pasti.
Hal senada dikatakan Kang Wawan, Indonesia memang terkenal sejak dulu kala, Negara yang sangat kaya dan disayang Tuhan, selain diwarisi kekayaan alam yang luar biasa melimpah-ruah, juga kekayaan budaya yang sangat beragam dari ratusan suku yang ada di nusantara. Bahkan prestasi budaya dari nenek moyang kita jauh lebih dulu dan lebih unggul dibanding karya nenek moyang bangsa lainnya. “Ini menjadi modal besar sebagai inspirasi, ruh, jiwa spirit dan ideliasme bangsa kita, khususnya para seniman kita. Tapi sayangnya seniman kita lebih suka menjadikan Barat sebagai referensi dan orientasi,“ katanya amat menyayangkan.
Hal unggulnya prestasi kebudayaan nenek moyang bangsa kita tersebut, lebih jauh dipaparkan Kang Wawan dalam materi webinarnya yang bertopik: “Seni Rupa Nusantara Dulu, Kini dan Esok, Menapak Jejak Seni Cetak Nusantara”. Satu perjalanan seperti apa seni cetak di nusantara ini, di hadapan layar 130 peserta webinar dari dalam dan luar negeri.
Menurut Kang Wawan, demikian dia akrab disapa, sebagai seniman dan akademisi, dirinya ingin menemukan tapak dan jejak awal bagaimana seni cetak hadir dalam perjalanan seni rupa di wilayah kebudayaan dan peradaban nusantara ini.
Dan ternyata sangat mencengangkan, ketika melacak prestasi dan capaian budaya visual nenek moyang di kawasan nusantara ini, ternyata di kawasan Sulawesi Selatan terdapat sejumlah bukit yang di dalamnya terdapat lukisan-lukisan tua (Lukisan Cadas).
Penelusuaran literatur dimulai dari kawasan yang disebut Gua Leang Bulu Sipong 4 dan diasumsikan Kang Wawan bahwa jejak seni cetak Nusanatara itu terdapat pada lukisan-lukisan gua atau lukisan cadas di sana.
Bagaimana tidak, Situs Leang Bulu Sipong 4 itu menggegerkan dunia. Leang atau gua yang berdiri 20 meter di atas lembah ini di dalamnya terdapat gambar cadas tertua di dunia berumur 44.000 tahun yang lalu. Gambar berukuran panjang 4,5 meter lebar 3 meter saat ini didaulat sebagai gambar cadas atau gambar gua piguratif bercerita (bernarasi) tertua di dunia.
Ini telah dibuktikan oleh tenaga ahli secara seksama melalui analisis pertanggalan dengan menggunakan metode uranium siregoti pada koloid (usia dari gambar ini diketahui dari pengukuran peluruhan radioaktif uranium serta elemen lain dari pembentukan mineral goa tersebut).
Gambar lukisan itu memaparkan/bercerita/bernarasi sekelompok figur setengah manusia setengah hewan (therianthropes) yang tengah berburu mamalia khas Sulawesi, anoa dan empat babi rusa.
Selain itu, gambar telapak tangan pun tergambar di dinding gua tersebut yang oleh Kang Wawan disebut sebagai Seni Cetak Masa Silam, Seni Cetak Purba. Gambar tangan itu memperlihatkan sesuatu yang istimewa berada di gua-gua tersebut yang bermakna sebagai medium penolak bala demi keselamatan kelompok manusia penghuni goa tersebut agar selamat dari marabahaya, dari segala gangguan yang ada ketika masa itu.
Gambar tertua di dunia ini menurut para ahli telah diciptakan atau dibuat disebuah area yang khusus/istimewa dengan kemampuan kecerdasan yang tinggi dan penggambaran yang apik dibanding kecerdasan manusia masa kini.
Gambar bercerita ini berada di tempat yang memang diistimewakan atau dispesialkan oleh penggambarnya digambar dengan menggunakan alat bantu. Gambar-gambar tersebut ada yang diperbaharui, ditambah, ada juga yang tidak. Ini menunjukan perkembangan waktu dan juga generasi.
Warna yang dipakai menunjukkan kisaran tahun pembuatan gambar tersebut. Selanjutnya gambar-gambar tangan yang biasa ada di gua-gua gugusan Karst Maros Mangga digambar dengan proses semburan langsung melalui media sembur maupun melalui proses pewarnaan di tangan lalu ditempelkan ke dinding.
Gambar Cadas tertua di dunia ini menegaskan bahwa komponen utama dari budaya artistik yang sangat maju dan tertua di dunia telah hadir di Sulsel termasuk seni piguratif tertua di dunia khususnya penggambaran therianthropes tertua di dunia dan gambaran adegan dimedia berkisah tertua di dunia.
Maka dengan ditemukannya gambar purba ini, peta arkeologi dunia pun berubah. Kalau di tahun-tahun sebelumnya pada awalnya para peneliti mengira gambar bercerita dan tertua hanya ada di Eropa. Sehingga penenilitian awal para dewan purba pun terkonsentrasi di sana, namun ternyata gambar di Leang Bulu Sipong 4 selain jauh lebih tua, juga jauh lebih menakjubkan dibanding gambar gua yang ditemukan di Eropa (hanya berupa simbol dalam bentuk abstrak, tidak naratif/ tidak bercerita) maka konsentrasi penelitian dan keilmuan pun berubah, akhirnya banyak ilmuwan yang datang untuk meneliti dan menjelajah poegunungan Karst Maros Mangga.
Foto Asep GP |
Dan setelah ditemukan peninggalan purba tertua yang tersingkap di sini, tidak mustahil akan ditemukan lagi gambar purba yang lain yang lebih menakjubkan di daerah ini.
Masih banyak peninggalan arkeologi di gugusan Maros Mangga yang belum dijamah, diteliti dan ekskavasi.
Jadi kesimpulannya menurut Kang Wawan, Budaya nusantara telah melahirkan berbagai artefak rupa patung batu, gambar cadas, budaya gambar cadas yang telah tersimpan puluhan ribu tahun, cap tangan menjadi awal tapak dan jejak perjalanan seni cetak Nusanatara.
Bukit-bukit dan gua-gua ibarat museum-museum alam yang siap dikunjungi. Nenek moyang kita juga layak mendapat predikat ahli permuseuman purba.
Maka, “Semboyan yang terkenal nenek moyangku orang pelaut, saya tambahkan menjadi ‘Nenek Moyangku Orang Pelaut dan Perupa’, perupa batu, lukisan dan cap cadas dan ahli museum, ahli museum gua dan cadas. Nusantara Baru saya namakan sebagai ruh, jiwa spirit dan ideliasme zaman baru. Mari kita jadikan nusantara ini sebagai markas besar filosofi dan kreatifitas budayawan serta seniman Indonesia. Sikapi secara cerdas dan kreatif progres yang namanya teknologi digital serta produktif dalam masa pandemi ini,“ demikian pungkasnya.
Sementara itu pemateri lainnya, Dr. Dharsono, M.Sn, (Eyang Dharsono) mengatakan, ada Perjumpaan dua Estetika dalam revolusi Industri Digital sekarang ini.
Dulu, 50 tahun yang lalu ada estetika empaty yang pernah ditolak oleh kaum akademik dan kini muncul kembali. Sehingga ada perjumpaan antara estetika empaty dan estetika formal, keduanya saling bergesekan dan saling tarik-menarik, bahkan di dalam kesenian-kesenian masa kini dan esok hari akan terjadi tarik-menarik dan etika non formal akan menggeser etika formal.
Pada abad milenial sebagai era revolusi digital, estetika non formal menjadi pilihan mereka menggeser estetika formal, sehingga membuat baliho tidak perlu membuat tiang pancang di jalan protokol atau sebuah jalan, mereka bisa menggunakan digital, ada potret untuk tawarkan produk tertentu, ditambah foto perempuan yang tinggi cantik, tidak semahal baliho biasa yang ada di jalan-jalan utama. Itu pilihan mereka dalam menawarkan sebuah dagangannya.
Para seniman dan desain memanfaatkan media digital sebagai aset yang lebih bagus dan efisien yang mampu menggantikan media cetak yang cukup mahal itu, maka estetika tersebut dikaitkan sebagai Estetika Citarasa.
“Ya memang, ada persoalan baru yang tarik-menarik dan saat ini tidak mustahil bahwa baliho-baliho yang ada di protokol jalan-jalan utama sekarang ada di film Ikatan Cinta. Jadi terjadi seperti itu dan ini akan menjadi warning bagi sebuah perguruan tinggi seni rupa,“ demikian papar Eyang Dharso. (Asep GP)***
Prof. Setiawan Sabana : Prestasi budaya nenek moyang kita lebih unggul dibanding karya nenek moyang bangsa lainnya
Posted by
Tatarjabar.com on Sunday, August 15, 2021
Prof. Wawan, Nenek Moyangku Orang Pelaut dan Perupa |
Pada hari Kamis, (12/8/2021) berlangsung Webinar yang diselenggarakan Universitas Kristen Maranatha bertajuk “Nusantara Suatu Harapan – Kreativitas Seni Rupa Esok Hari”. Pembicara dan moderatornya adalah profesor di bidang kepakarannya masing-masing, Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA seorang seniman/perupa atau Maestro Kertas juga akademisi, Guru Besar Seni Rupa ITB yang baru saja pensiun di usia 70 tahun, tapi makin pensiun makin aktif berkesenian, pameran, nguji ujian mahasiswa pascasarjana, konsultan seni, juga jadi pembicara di webinar-webinar seperti ini.
Karena tetap bugar akibat rajin olahraga dan beribadah, dimanapun pengundangnya dia layani, lagian bisa memanfaatkan teknologi digital lewat aplikasi zoom, tidak perlu datang ke lokasi seperti di zaman normal – sebelum pandemi.
Pembicara kedua adalah Prof. Dr. Dharsono, M.Sn., Guru Besar Estetika Seni dari Surakarta ini membahas Estetika “Citarasa” – Munculnya kembali Paradigma Baru Dalam Pencarian Identitas Kekaryaan Seni pada Era Revolusi Industri digital di Abad Milenial.
Dan Moderatornya adalah Guru Besar Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Prof. Dr. Endang Caturwati, M.Sn, yang tetap cantik.
Kata Kang Wawan (sapaan akrab Prof. Setiawan Sabana), "Memang Maranatha kelihatan sekarang tambah aktif, karena banyak orang-orang kreatif dan didukung pimpinan disana,” pujinya.
Sementara Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Maranartha, Irena Vanessa Gunawan, S.T., M.Com, mengatakan bahwa webinar ini rangkaian acara ASEDAS (Asean Digital Art Society) dan dia berharap, “Akan terus mengingatkan kita betapa kayanya kita dan untuk terus jangan terbawa alur modernisasi dan melupakan apa yang menjadi modal utama kita. ASEDAS ini merupakan salahsatu acara berwawasan internasional, terakhir diikuti oleh 40 negara dan ini merupakan salahsatu kesempatan kita untuk muncul sebagai duta-duta budaya,” terangnya.
Eyang Dharso, Zaman Estetika Citarasa |
Irena pun mengajak semua peserta webinar untuk terus bersyukur. “Karena saya lihat Tuhan itu sangat mencintai kita – manusia-manusia Indoneisa. Jadi kita itu bukan hanya dianugerahi tanah air yang luar biasa suburnya tapi juga modal kita merupakan kekayaan dari 600 lebih suku dengan budayanya yang begitu beragamnya dan saya rasa webinar-webinar seperti ini akan terus menguatkan kita menginspirasi kita supaya kita terus mengklaim dan muncul sebagai proud owner (pemilik yang bangga) dari kebudayaan Nusantara,” katanya pasti.
Hal senada dikatakan Kang Wawan, Indonesia memang terkenal sejak dulu kala, Negara yang sangat kaya dan disayang Tuhan, selain diwarisi kekayaan alam yang luar biasa melimpah-ruah, juga kekayaan budaya yang sangat beragam dari ratusan suku yang ada di nusantara. Bahkan prestasi budaya dari nenek moyang kita jauh lebih dulu dan lebih unggul dibanding karya nenek moyang bangsa lainnya. “Ini menjadi modal besar sebagai inspirasi, ruh, jiwa spirit dan ideliasme bangsa kita, khususnya para seniman kita. Tapi sayangnya seniman kita lebih suka menjadikan Barat sebagai referensi dan orientasi,“ katanya amat menyayangkan.
Hal unggulnya prestasi kebudayaan nenek moyang bangsa kita tersebut, lebih jauh dipaparkan Kang Wawan dalam materi webinarnya yang bertopik: “Seni Rupa Nusantara Dulu, Kini dan Esok, Menapak Jejak Seni Cetak Nusantara”. Satu perjalanan seperti apa seni cetak di nusantara ini, di hadapan layar 130 peserta webinar dari dalam dan luar negeri.
Menurut Kang Wawan, demikian dia akrab disapa, sebagai seniman dan akademisi, dirinya ingin menemukan tapak dan jejak awal bagaimana seni cetak hadir dalam perjalanan seni rupa di wilayah kebudayaan dan peradaban nusantara ini.
Dan ternyata sangat mencengangkan, ketika melacak prestasi dan capaian budaya visual nenek moyang di kawasan nusantara ini, ternyata di kawasan Sulawesi Selatan terdapat sejumlah bukit yang di dalamnya terdapat lukisan-lukisan tua (Lukisan Cadas).
Penelusuaran literatur dimulai dari kawasan yang disebut Gua Leang Bulu Sipong 4 dan diasumsikan Kang Wawan bahwa jejak seni cetak Nusanatara itu terdapat pada lukisan-lukisan gua atau lukisan cadas di sana.
Bagaimana tidak, Situs Leang Bulu Sipong 4 itu menggegerkan dunia. Leang atau gua yang berdiri 20 meter di atas lembah ini di dalamnya terdapat gambar cadas tertua di dunia berumur 44.000 tahun yang lalu. Gambar berukuran panjang 4,5 meter lebar 3 meter saat ini didaulat sebagai gambar cadas atau gambar gua piguratif bercerita (bernarasi) tertua di dunia.
Ini telah dibuktikan oleh tenaga ahli secara seksama melalui analisis pertanggalan dengan menggunakan metode uranium siregoti pada koloid (usia dari gambar ini diketahui dari pengukuran peluruhan radioaktif uranium serta elemen lain dari pembentukan mineral goa tersebut).
Gambar lukisan itu memaparkan/bercerita/bernarasi sekelompok figur setengah manusia setengah hewan (therianthropes) yang tengah berburu mamalia khas Sulawesi, anoa dan empat babi rusa.
Selain itu, gambar telapak tangan pun tergambar di dinding gua tersebut yang oleh Kang Wawan disebut sebagai Seni Cetak Masa Silam, Seni Cetak Purba. Gambar tangan itu memperlihatkan sesuatu yang istimewa berada di gua-gua tersebut yang bermakna sebagai medium penolak bala demi keselamatan kelompok manusia penghuni goa tersebut agar selamat dari marabahaya, dari segala gangguan yang ada ketika masa itu.
Gambar tertua di dunia ini menurut para ahli telah diciptakan atau dibuat disebuah area yang khusus/istimewa dengan kemampuan kecerdasan yang tinggi dan penggambaran yang apik dibanding kecerdasan manusia masa kini.
Gambar bercerita ini berada di tempat yang memang diistimewakan atau dispesialkan oleh penggambarnya digambar dengan menggunakan alat bantu. Gambar-gambar tersebut ada yang diperbaharui, ditambah, ada juga yang tidak. Ini menunjukan perkembangan waktu dan juga generasi.
Warna yang dipakai menunjukkan kisaran tahun pembuatan gambar tersebut. Selanjutnya gambar-gambar tangan yang biasa ada di gua-gua gugusan Karst Maros Mangga digambar dengan proses semburan langsung melalui media sembur maupun melalui proses pewarnaan di tangan lalu ditempelkan ke dinding.
Gambar Cadas tertua di dunia ini menegaskan bahwa komponen utama dari budaya artistik yang sangat maju dan tertua di dunia telah hadir di Sulsel termasuk seni piguratif tertua di dunia khususnya penggambaran therianthropes tertua di dunia dan gambaran adegan dimedia berkisah tertua di dunia.
Maka dengan ditemukannya gambar purba ini, peta arkeologi dunia pun berubah. Kalau di tahun-tahun sebelumnya pada awalnya para peneliti mengira gambar bercerita dan tertua hanya ada di Eropa. Sehingga penenilitian awal para dewan purba pun terkonsentrasi di sana, namun ternyata gambar di Leang Bulu Sipong 4 selain jauh lebih tua, juga jauh lebih menakjubkan dibanding gambar gua yang ditemukan di Eropa (hanya berupa simbol dalam bentuk abstrak, tidak naratif/ tidak bercerita) maka konsentrasi penelitian dan keilmuan pun berubah, akhirnya banyak ilmuwan yang datang untuk meneliti dan menjelajah poegunungan Karst Maros Mangga.
Foto Asep GP |
Dan setelah ditemukan peninggalan purba tertua yang tersingkap di sini, tidak mustahil akan ditemukan lagi gambar purba yang lain yang lebih menakjubkan di daerah ini.
Masih banyak peninggalan arkeologi di gugusan Maros Mangga yang belum dijamah, diteliti dan ekskavasi.
Jadi kesimpulannya menurut Kang Wawan, Budaya nusantara telah melahirkan berbagai artefak rupa patung batu, gambar cadas, budaya gambar cadas yang telah tersimpan puluhan ribu tahun, cap tangan menjadi awal tapak dan jejak perjalanan seni cetak Nusanatara.
Bukit-bukit dan gua-gua ibarat museum-museum alam yang siap dikunjungi. Nenek moyang kita juga layak mendapat predikat ahli permuseuman purba.
Maka, “Semboyan yang terkenal nenek moyangku orang pelaut, saya tambahkan menjadi ‘Nenek Moyangku Orang Pelaut dan Perupa’, perupa batu, lukisan dan cap cadas dan ahli museum, ahli museum gua dan cadas. Nusantara Baru saya namakan sebagai ruh, jiwa spirit dan ideliasme zaman baru. Mari kita jadikan nusantara ini sebagai markas besar filosofi dan kreatifitas budayawan serta seniman Indonesia. Sikapi secara cerdas dan kreatif progres yang namanya teknologi digital serta produktif dalam masa pandemi ini,“ demikian pungkasnya.
Sementara itu pemateri lainnya, Dr. Dharsono, M.Sn, (Eyang Dharsono) mengatakan, ada Perjumpaan dua Estetika dalam revolusi Industri Digital sekarang ini.
Dulu, 50 tahun yang lalu ada estetika empaty yang pernah ditolak oleh kaum akademik dan kini muncul kembali. Sehingga ada perjumpaan antara estetika empaty dan estetika formal, keduanya saling bergesekan dan saling tarik-menarik, bahkan di dalam kesenian-kesenian masa kini dan esok hari akan terjadi tarik-menarik dan etika non formal akan menggeser etika formal.
Pada abad milenial sebagai era revolusi digital, estetika non formal menjadi pilihan mereka menggeser estetika formal, sehingga membuat baliho tidak perlu membuat tiang pancang di jalan protokol atau sebuah jalan, mereka bisa menggunakan digital, ada potret untuk tawarkan produk tertentu, ditambah foto perempuan yang tinggi cantik, tidak semahal baliho biasa yang ada di jalan-jalan utama. Itu pilihan mereka dalam menawarkan sebuah dagangannya.
Para seniman dan desain memanfaatkan media digital sebagai aset yang lebih bagus dan efisien yang mampu menggantikan media cetak yang cukup mahal itu, maka estetika tersebut dikaitkan sebagai Estetika Citarasa.
“Ya memang, ada persoalan baru yang tarik-menarik dan saat ini tidak mustahil bahwa baliho-baliho yang ada di protokol jalan-jalan utama sekarang ada di film Ikatan Cinta. Jadi terjadi seperti itu dan ini akan menjadi warning bagi sebuah perguruan tinggi seni rupa,“ demikian papar Eyang Dharso. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment