Tuesday, May 18, 2021
Jadi Seniman itu Mudah, yang Susah Adalah Jadi Manusia!
Renungan 70 Tahun, Jadi Seniman itu mudah, yang susah jadi manusia! |
Hari Senin, tanggal 10 Mei 2021 Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA, (Kang Wawan) usianya genap 70 tahun. Walau tidak berniat menggelar acara apalagi mengundang teman dan handai taulan, tapi poster bertuliskan “Renungan” yang disebar mantan Dekan FRSD ITB dan Maestro Kertas di WAG, betapa mengundang banyak keingintahuan dan menanyakan zoom link segala. Dikiranya akan ada webinar. Karena banyak sekali yang bertanya, maka Kang Wawan pun mengikuti keinginan semua, diadakanlah webinar dengan tajuk “Renungan 10”.
Acara webinar dimulai dengan mengumandangkan lagu Indonesia Raya, lalu berdoa kepada para pahlawan, diperdengarkan pula lagu Selamat Ulang Tahun dari Jamrud serta kesan pesan dan ucapan selamat dari teman dosen, mahasiswa, seniman, keluarga dan handai taulan lainnya dari Bandung, Jakarta, Surabaya, Bali dan Ternate, lalu diakhiri dengan penampilan Imam Jimbot yang kaul tunggal dengan kacapi-sulingnya, juga petikan gitar Syarif Maulana mengiringi suling, berdendang Bubuy Bulan yang ditiup Iman Jimbot, Musisi Sunda yang sudah magelaran di 27 Negara. Selain itu hadir pula Amy Biola.
Diantara 70 orang yang ikut webinar termasuk Dr. Supriatna (Kang Supri) Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISBI Bandung, terdengar beberapa orang menyampaikan ucapal selamat, kesan dan pesan, seperti Bu Ester dan Irena hampir senada menganggap sosok Kang Wawan jadi inspirasi bagi semua orang. Malah kata Pak Hilman, Kang Wawan tidak bisa dilawan. Telah banyak memberi wawasan bukan teknik tapi pada kedalaman. “Kalau memberi kuliah pada kami gampang dicerna,“ katanya serius.
Sementara yang lainnya menganggap Kang Wawan sebagai desainer seniman dan berharap walau sebentar lagi pensiun dari Fakultas Senirupa dan Desain (FSRD) ITB, tapi masih membuka gudang ilmunya untuk terus digali oleh mereka yang ingin melanjutkan studi. Tak ketinggalan Warli Haryana walau bukan lulusan FSRD ITB, tapi alumni Seni Rupa IKIP (UPI) Bandung yang juga jadi dosen di almamaternya ini, secara jujur mengakui dirinya sebagai murid Kang Wawan tanpa sertifikat/ijasah. Warli mengenal Kang Wawan semasa mahasiswa tahun 90-an ketika beiiau jadi narasumber di suatu seminar tentang kertas yang ketika itu lagi booming dan jadi sumber inspirasi bagi mahasiswa untuk berkarya bernilai ekonomi. “Prof. Wawan adalah sosok kolaborasi antara seniman, pendidik, dan olahragawan (Guru Besar Seni Rupa ITB ini memang terkenal jago pingpong). Banyak sekali yang dilakukan Pak Wawan, dalam berkesenian beliau konsisten dan total dalam art paper. Beliau juga selalu mensupport anak muda/mahasiswa. Kaum seniman dan cerdik cendikia Malaysia pun tahu siapa Pak Wawan,” kata Dosen Seni Rupa UPI yang juga yang juga dikenal sebagi pelukis Wayang ini, bangga. Selain itu ada juga yang mengucapkan selamat lewat sajak, termasuk Prof. Endang Caturwati yang ngahaleuangkeun lagu khusus buat Kang Wawan.
Ah.. kelihatan Haru sekali Kang Wawan mendengar semua itu, malah Maestro Kertas yang sudah ngalanglang ka satangkarak jagat (melanglang buana) ini berurai air mata.. haru.. bahagia.
“Saya ingin sampaikan terharu mendengar apa yang disampaikan rekan-rekan, Haru saya bertambah peka. Makasih-makasih semoga kita diberi kesehatan, sehat walafiat dalam kondisi pandemi yang belum tau entah kapan berakhir. Tapi kita tetap berkarya dan berkarya ya, dan satu lagi tetap berkarya titik, tanpa koma! Juga makasih Iman Jimbot yang memberi kejutan, tiba-tiba ada seniman hebat dari kota Bandung Indonesia ini, ada di garasi untuk negeri, bumi, dan galaksi!!!”, katanya sambil berteriak.
Renungan 10 yang Spiritual
“Kenapa saya memberi tajuk “Renungan”? Ya, saya memang sedang merenung. Angka 10 itu karena saya lahir tanggal 10 Mei, saya tinggal di Jalan Rebana 10, saya kerja di Jalan Ganesha 10 (ITB). Jadi angka 10 bagi saya angka keramat, ajaib. Maka kemana pun saya pergi misalnya ke kafe, saya tanya apa ada meja nomer 10? Kalau tidak ada, saya akan memilih meja no. 28, karena 2+8=10. Begitupun kalau saya pergi ke hotel saya akan tanya apa ada kamar nomor 10? Kalau tak ada ya saya akan terima nomor 37 karena 3 dan 7 adalah 10. Jadi 10 angka penting dan spiritual buat saya,“ jelas Kang Wawan.
Angka 10 ini pun pada tahun 2000 (10 Mei 2000) dijadikan awal “Hari Kertas Sedunia” oleh Kang Wawan. “Kenapa saya ambil gagasan Hari Kertas Sedunia, saya membayangkan kertas suatu hari akan hilang dari permukaan bumi dan suatu hari keberadaan kertas di muka bumi ini harus diapresiasi, harus dikenang sebagai Hari Kertas Sedunia dan saya konsisten hari ini juga sampaikan bahwa 10 Mei 2021 ini adalah Hari Kertas Sedunia dan tolong diingat sepanjang zaman,“ tegasnya.
Haru dan bahagia bersama anak-cucu dan para sahabat |
Tentang kekhawatiran musnahnya kertas ini diistilahkan Prof. Toety Heraty seorang filsuf, dosen, pejabat, penyair, budayawan, sebagai Lampu Kuning Peradaban. Ketika itu Prof. Toety membuka pameran pertama Kang Wawan di Bentara Budaya Jakarta (2005).
“Lampu Kuning Peradaban adalah satu pergeseran dari peradaban kertas ke peradaban digital, itu dalam pandangan Bu Toety,“ jelas Kang Wawan.
Dalam hal kertas ini pun Kang Wawan memakai metafora “Di atas langit ada kertas”. Jadi katanya, Kang Wawan tidak memegang kertas lagi tapi menjadikan metafor bahwa, “Tuh.. di atas langit ada kertas, jadi sudah imajinasi bahwa di langit ada kertas,” terangnya.
Lalu berikutnya, “Di atas kertas aku masuk surga”, itu hanya kata-kata metafor bahwa misalnya di atas kertas Persib menang lawan Persija. Jadi para pemain dan para pelatih sudah berdiskusi atau meramalkan di atas kertas mereka akan menang. Tapi dalam kenyataannya bisa saja jadi kalah, seri atau memang bisa jadi menang. “Jadi ketika kita kaitkan – di atas kertas curat-coret aku masuk surga. Dengan pertimbangan kalkulasi saya melihat itu - ini selama ini, saya boleh jadi mudah-mudahan masuk surga,“ paparnya.
Tapi untuk dua butir metafora kertas tersebut belum dijelmakan jadi pameran. “Saya punya kereteg, saya menduga merasakan getaran tapi wallohualam kalau saya berpameran dengan tajuk yang terakhir. “Di atas kertas aku masuk surga”, feeling saya. saya akan say goodbye to everyone untuk selamanya, bye bye for good,“ katanya dengan nada bergetar.
Ada juga metafor Ngertas itu Ngertos, pengertian Ngertos buat Kang Wawan adalah dirinya belajar banyak ketika ngoprek kertas. “Ketika saya mengerjakan sesuatu lewat kertas, saya mengertos (mengerti) peradaban,“ katanya.
Musisi Sunda Iman Jimbot pun hadir memberi kejutan |
Lagu Bubuy Bulan dari Syarif Maulana dan Iman Jimbot |
“Lakon Tubuh adalah Lakon Kehidupan”, teks kalimat yang diambil dari tajuk pameran tunggalnya di Bentara Budaya (2015) dan dibuka Prof. Endang Caturwati, maksudnya adalah kita selalu melihat tubuh itu hanya tubuh yang di luar. Tubuh, kepala, tangan, kaki dst. Padahal kita lupa di dalam tubuh itu ada tulang, ada otot, ada darah yang mengalir dari atas sampai menyebar ke seluruh tubuh dan memberi kehidupan pada kita. “Makanya pameran dengan tajuk Lakon Tubuh sama dengan Lakon Kehidupan dan ini selalu selalu saya perkenalkan di dalam kesempatan seni dan kesenimanan,“ jelasnya.
“Rasa haru adalah capaian dalam suatu karya seni”. Ini adalah pandangan baru Kang Wawan ketika hampir dalam kesempatan tertentu hatinya selalu merasa terharu. Terkadang sampai meneteskan air mata.
Garasi 10 tak pernah henti dari kegiatan seni |
“Lalu saya jadikan rasa haru adalah capaian terdalam dari suatu karya seni. Jadi bentuk karya seni apapun dalam artistik saya adalah ketika sampai pada suatu apresiasi, pengamatannya akan mendapat rasa haru (saking dalamnya menjiwai ditambah rasa seniman yang peka). Rasa haru mengakomodasi A- Z pengalaman yang dimiliki oleh seseorang. Itu hasil kesimpulan saya,“ terangnya.
Dan sebagai pengagum seniman kelas dunia Pablo Picasso, Kang Wawan sangat mengagumi kata-kata mutiaranya. “Manusia terbaik adalah orang yang bukan kekanakan tapi berlaku seperti anak-anak, dia bebas kesana-kemari, dia bebas berekspresi, mengalir terus di dalam kehidupan, bermain dengan teman-temannya”.
Kang Wawan juga berpendapat, dimensi tertinggi kehidupan adalah kemanusiaan. Dalam kitab hidup dan berkehidupan, katanya, yang penting itu adalah bagaimana kita mencapai prestasi dan prestise dalam konteks kemanusiaan (habluminannass). “Betapa indahnya kalau kita bisa melakukan capaian prestasi dan prestise kehidupan seperti itu,“ katanya sambil menyetel lagu As Tears Go By dari Mick Jagger. Lagu yang selalu menaikan rasa haru buat dirinya.
Ucapan selamat dari dosen Seni Rupa UPI Bandung, Warli Haryana |
Hanya kata Kang Wawan, sayangnya lebih mudah jadi seniman daripada menjadi manusia. “Jadi seniman mah mudah, yang sulit adalah jadi manusia,” katanya serius.
Ketika ditanya apa yang akan dikerjakan setelah pensiun? Seniman berusia 70 tahun tapi masih jagjag waringkas ini mengatakan, “Berkarya itu ibarat helaan napas, berhenti kalau mati,“ katanya pasti.
Ya memang bagi Kang Wawan pensiun itu hanya peraturan akademis sebagai pertimbangan kesehatan, tapi berkarya mah jalan terus katanya. Hal kesehatan, insya Alloh dirinya masih jagjag. Karena selama ini pun rajin berolahraga dan tetap berkarya, tidak terhalang pandemi dan selama bulan puasa pun terus ngabret menggelar acara saperti “Aku Dalam Ramadhan” (Pameran Tunggal dan diskusi bersama pemateri Pak Arsono, Dr. Opan Safari dan Zuspa Roihan, M. Sn, 1 Mei 2021), “Spiritulitas Kertas” (Webinar, bersama Prof. Endang Caturwati dan R. Bhameswara Putra Kencana, 3 Mei 2021) dan ditutup “Renungan”, 10 Mei 2021.
Kang Wawan pun mengatakan, akan selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar buat para mahasiswa yang akan konsultasi atau memerlukan bimbingan hal studi, baik secara online atau offline dengan prokes yang ketat tentunya
Dan sebagai penutup obrolan dengan wartawan menjelang buka puasa, sekali lagi dia menegaskan, Jadi seniman itu mudah yang sulit adalah jadi manusia!
“Maksudnya jadi seniman mah melukis misalnya, ah belajar saja lama-lama juga bisa, tapi jadi manusia susah harus berimbang antara habluminanas dan habluminalloh. Bukan hanya persoalan karir, tapi harus ada manfaatnya buat sesama dan jangan lupa semua ilmu dan pengetahuan yang ada pada kita berasal Alloh SWT,“pungkasnya. Wilujeng Milangkala Kang Wawan ... apanjang-apunjung sehat bagja salawasna. Aamiin. (Asep GP)***
Renungan Milangkala ke-70 Prof. Setiawan Sabana
Posted by
Tatarjabar.com on Tuesday, May 18, 2021
Jadi Seniman itu Mudah, yang Susah Adalah Jadi Manusia!
Renungan 70 Tahun, Jadi Seniman itu mudah, yang susah jadi manusia! |
Hari Senin, tanggal 10 Mei 2021 Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA, (Kang Wawan) usianya genap 70 tahun. Walau tidak berniat menggelar acara apalagi mengundang teman dan handai taulan, tapi poster bertuliskan “Renungan” yang disebar mantan Dekan FRSD ITB dan Maestro Kertas di WAG, betapa mengundang banyak keingintahuan dan menanyakan zoom link segala. Dikiranya akan ada webinar. Karena banyak sekali yang bertanya, maka Kang Wawan pun mengikuti keinginan semua, diadakanlah webinar dengan tajuk “Renungan 10”.
Acara webinar dimulai dengan mengumandangkan lagu Indonesia Raya, lalu berdoa kepada para pahlawan, diperdengarkan pula lagu Selamat Ulang Tahun dari Jamrud serta kesan pesan dan ucapan selamat dari teman dosen, mahasiswa, seniman, keluarga dan handai taulan lainnya dari Bandung, Jakarta, Surabaya, Bali dan Ternate, lalu diakhiri dengan penampilan Imam Jimbot yang kaul tunggal dengan kacapi-sulingnya, juga petikan gitar Syarif Maulana mengiringi suling, berdendang Bubuy Bulan yang ditiup Iman Jimbot, Musisi Sunda yang sudah magelaran di 27 Negara. Selain itu hadir pula Amy Biola.
Diantara 70 orang yang ikut webinar termasuk Dr. Supriatna (Kang Supri) Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISBI Bandung, terdengar beberapa orang menyampaikan ucapal selamat, kesan dan pesan, seperti Bu Ester dan Irena hampir senada menganggap sosok Kang Wawan jadi inspirasi bagi semua orang. Malah kata Pak Hilman, Kang Wawan tidak bisa dilawan. Telah banyak memberi wawasan bukan teknik tapi pada kedalaman. “Kalau memberi kuliah pada kami gampang dicerna,“ katanya serius.
Sementara yang lainnya menganggap Kang Wawan sebagai desainer seniman dan berharap walau sebentar lagi pensiun dari Fakultas Senirupa dan Desain (FSRD) ITB, tapi masih membuka gudang ilmunya untuk terus digali oleh mereka yang ingin melanjutkan studi. Tak ketinggalan Warli Haryana walau bukan lulusan FSRD ITB, tapi alumni Seni Rupa IKIP (UPI) Bandung yang juga jadi dosen di almamaternya ini, secara jujur mengakui dirinya sebagai murid Kang Wawan tanpa sertifikat/ijasah. Warli mengenal Kang Wawan semasa mahasiswa tahun 90-an ketika beiiau jadi narasumber di suatu seminar tentang kertas yang ketika itu lagi booming dan jadi sumber inspirasi bagi mahasiswa untuk berkarya bernilai ekonomi. “Prof. Wawan adalah sosok kolaborasi antara seniman, pendidik, dan olahragawan (Guru Besar Seni Rupa ITB ini memang terkenal jago pingpong). Banyak sekali yang dilakukan Pak Wawan, dalam berkesenian beliau konsisten dan total dalam art paper. Beliau juga selalu mensupport anak muda/mahasiswa. Kaum seniman dan cerdik cendikia Malaysia pun tahu siapa Pak Wawan,” kata Dosen Seni Rupa UPI yang juga yang juga dikenal sebagi pelukis Wayang ini, bangga. Selain itu ada juga yang mengucapkan selamat lewat sajak, termasuk Prof. Endang Caturwati yang ngahaleuangkeun lagu khusus buat Kang Wawan.
Ah.. kelihatan Haru sekali Kang Wawan mendengar semua itu, malah Maestro Kertas yang sudah ngalanglang ka satangkarak jagat (melanglang buana) ini berurai air mata.. haru.. bahagia.
“Saya ingin sampaikan terharu mendengar apa yang disampaikan rekan-rekan, Haru saya bertambah peka. Makasih-makasih semoga kita diberi kesehatan, sehat walafiat dalam kondisi pandemi yang belum tau entah kapan berakhir. Tapi kita tetap berkarya dan berkarya ya, dan satu lagi tetap berkarya titik, tanpa koma! Juga makasih Iman Jimbot yang memberi kejutan, tiba-tiba ada seniman hebat dari kota Bandung Indonesia ini, ada di garasi untuk negeri, bumi, dan galaksi!!!”, katanya sambil berteriak.
Renungan 10 yang Spiritual
“Kenapa saya memberi tajuk “Renungan”? Ya, saya memang sedang merenung. Angka 10 itu karena saya lahir tanggal 10 Mei, saya tinggal di Jalan Rebana 10, saya kerja di Jalan Ganesha 10 (ITB). Jadi angka 10 bagi saya angka keramat, ajaib. Maka kemana pun saya pergi misalnya ke kafe, saya tanya apa ada meja nomer 10? Kalau tidak ada, saya akan memilih meja no. 28, karena 2+8=10. Begitupun kalau saya pergi ke hotel saya akan tanya apa ada kamar nomor 10? Kalau tak ada ya saya akan terima nomor 37 karena 3 dan 7 adalah 10. Jadi 10 angka penting dan spiritual buat saya,“ jelas Kang Wawan.
Angka 10 ini pun pada tahun 2000 (10 Mei 2000) dijadikan awal “Hari Kertas Sedunia” oleh Kang Wawan. “Kenapa saya ambil gagasan Hari Kertas Sedunia, saya membayangkan kertas suatu hari akan hilang dari permukaan bumi dan suatu hari keberadaan kertas di muka bumi ini harus diapresiasi, harus dikenang sebagai Hari Kertas Sedunia dan saya konsisten hari ini juga sampaikan bahwa 10 Mei 2021 ini adalah Hari Kertas Sedunia dan tolong diingat sepanjang zaman,“ tegasnya.
Haru dan bahagia bersama anak-cucu dan para sahabat |
Tentang kekhawatiran musnahnya kertas ini diistilahkan Prof. Toety Heraty seorang filsuf, dosen, pejabat, penyair, budayawan, sebagai Lampu Kuning Peradaban. Ketika itu Prof. Toety membuka pameran pertama Kang Wawan di Bentara Budaya Jakarta (2005).
“Lampu Kuning Peradaban adalah satu pergeseran dari peradaban kertas ke peradaban digital, itu dalam pandangan Bu Toety,“ jelas Kang Wawan.
Dalam hal kertas ini pun Kang Wawan memakai metafora “Di atas langit ada kertas”. Jadi katanya, Kang Wawan tidak memegang kertas lagi tapi menjadikan metafor bahwa, “Tuh.. di atas langit ada kertas, jadi sudah imajinasi bahwa di langit ada kertas,” terangnya.
Lalu berikutnya, “Di atas kertas aku masuk surga”, itu hanya kata-kata metafor bahwa misalnya di atas kertas Persib menang lawan Persija. Jadi para pemain dan para pelatih sudah berdiskusi atau meramalkan di atas kertas mereka akan menang. Tapi dalam kenyataannya bisa saja jadi kalah, seri atau memang bisa jadi menang. “Jadi ketika kita kaitkan – di atas kertas curat-coret aku masuk surga. Dengan pertimbangan kalkulasi saya melihat itu - ini selama ini, saya boleh jadi mudah-mudahan masuk surga,“ paparnya.
Tapi untuk dua butir metafora kertas tersebut belum dijelmakan jadi pameran. “Saya punya kereteg, saya menduga merasakan getaran tapi wallohualam kalau saya berpameran dengan tajuk yang terakhir. “Di atas kertas aku masuk surga”, feeling saya. saya akan say goodbye to everyone untuk selamanya, bye bye for good,“ katanya dengan nada bergetar.
Ada juga metafor Ngertas itu Ngertos, pengertian Ngertos buat Kang Wawan adalah dirinya belajar banyak ketika ngoprek kertas. “Ketika saya mengerjakan sesuatu lewat kertas, saya mengertos (mengerti) peradaban,“ katanya.
Musisi Sunda Iman Jimbot pun hadir memberi kejutan |
Lagu Bubuy Bulan dari Syarif Maulana dan Iman Jimbot |
“Lakon Tubuh adalah Lakon Kehidupan”, teks kalimat yang diambil dari tajuk pameran tunggalnya di Bentara Budaya (2015) dan dibuka Prof. Endang Caturwati, maksudnya adalah kita selalu melihat tubuh itu hanya tubuh yang di luar. Tubuh, kepala, tangan, kaki dst. Padahal kita lupa di dalam tubuh itu ada tulang, ada otot, ada darah yang mengalir dari atas sampai menyebar ke seluruh tubuh dan memberi kehidupan pada kita. “Makanya pameran dengan tajuk Lakon Tubuh sama dengan Lakon Kehidupan dan ini selalu selalu saya perkenalkan di dalam kesempatan seni dan kesenimanan,“ jelasnya.
“Rasa haru adalah capaian dalam suatu karya seni”. Ini adalah pandangan baru Kang Wawan ketika hampir dalam kesempatan tertentu hatinya selalu merasa terharu. Terkadang sampai meneteskan air mata.
Garasi 10 tak pernah henti dari kegiatan seni |
“Lalu saya jadikan rasa haru adalah capaian terdalam dari suatu karya seni. Jadi bentuk karya seni apapun dalam artistik saya adalah ketika sampai pada suatu apresiasi, pengamatannya akan mendapat rasa haru (saking dalamnya menjiwai ditambah rasa seniman yang peka). Rasa haru mengakomodasi A- Z pengalaman yang dimiliki oleh seseorang. Itu hasil kesimpulan saya,“ terangnya.
Dan sebagai pengagum seniman kelas dunia Pablo Picasso, Kang Wawan sangat mengagumi kata-kata mutiaranya. “Manusia terbaik adalah orang yang bukan kekanakan tapi berlaku seperti anak-anak, dia bebas kesana-kemari, dia bebas berekspresi, mengalir terus di dalam kehidupan, bermain dengan teman-temannya”.
Kang Wawan juga berpendapat, dimensi tertinggi kehidupan adalah kemanusiaan. Dalam kitab hidup dan berkehidupan, katanya, yang penting itu adalah bagaimana kita mencapai prestasi dan prestise dalam konteks kemanusiaan (habluminannass). “Betapa indahnya kalau kita bisa melakukan capaian prestasi dan prestise kehidupan seperti itu,“ katanya sambil menyetel lagu As Tears Go By dari Mick Jagger. Lagu yang selalu menaikan rasa haru buat dirinya.
Ucapan selamat dari dosen Seni Rupa UPI Bandung, Warli Haryana |
Hanya kata Kang Wawan, sayangnya lebih mudah jadi seniman daripada menjadi manusia. “Jadi seniman mah mudah, yang sulit adalah jadi manusia,” katanya serius.
Ketika ditanya apa yang akan dikerjakan setelah pensiun? Seniman berusia 70 tahun tapi masih jagjag waringkas ini mengatakan, “Berkarya itu ibarat helaan napas, berhenti kalau mati,“ katanya pasti.
Ya memang bagi Kang Wawan pensiun itu hanya peraturan akademis sebagai pertimbangan kesehatan, tapi berkarya mah jalan terus katanya. Hal kesehatan, insya Alloh dirinya masih jagjag. Karena selama ini pun rajin berolahraga dan tetap berkarya, tidak terhalang pandemi dan selama bulan puasa pun terus ngabret menggelar acara saperti “Aku Dalam Ramadhan” (Pameran Tunggal dan diskusi bersama pemateri Pak Arsono, Dr. Opan Safari dan Zuspa Roihan, M. Sn, 1 Mei 2021), “Spiritulitas Kertas” (Webinar, bersama Prof. Endang Caturwati dan R. Bhameswara Putra Kencana, 3 Mei 2021) dan ditutup “Renungan”, 10 Mei 2021.
Kang Wawan pun mengatakan, akan selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar buat para mahasiswa yang akan konsultasi atau memerlukan bimbingan hal studi, baik secara online atau offline dengan prokes yang ketat tentunya
Dan sebagai penutup obrolan dengan wartawan menjelang buka puasa, sekali lagi dia menegaskan, Jadi seniman itu mudah yang sulit adalah jadi manusia!
“Maksudnya jadi seniman mah melukis misalnya, ah belajar saja lama-lama juga bisa, tapi jadi manusia susah harus berimbang antara habluminanas dan habluminalloh. Bukan hanya persoalan karir, tapi harus ada manfaatnya buat sesama dan jangan lupa semua ilmu dan pengetahuan yang ada pada kita berasal Alloh SWT,“pungkasnya. Wilujeng Milangkala Kang Wawan ... apanjang-apunjung sehat bagja salawasna. Aamiin. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment