Thursday, January 21, 2021
E.S. Edos (53) di studio lukis berAnda Edos |
Pandemi Covid-19 (Virus Corona) di awal tahun 2021 ini bukannya berkurang, tapi malah makin menggila dan mengancam, mengganggu aktivitas kehidupan dan penghidupan manusia. Tapi bagi orang-orang kreatif, pandemi Corona ini tidak menjadikan halangan untuk melakukan kegiatan positif seperti mengajar, menuntut ilmu, diskusi, melukis, bercocok tanam, dan kegiatan lainnya, toh bisa Work From Home (WFH) dan memanfaatkan teknologi digital.
Seperti yang dilakukan oleh seorang perupa (seniman lukis) E.S. Edos (Edos: Eman Dalam Olah Seni). Selain tetap melukis, dia juga rajin menanam bunga di studio lukis sekaligus rumahnya, “berAnda Edos”, di kawasan Rancakendal Luhur, Sekepicung Atas Rt 04/ Rw 05 Dago Resort, Ciburial- Bandung.
Sedikit tentang “berAnda” adalah singkatan dari ber – Anda : senantiasa bersama Anda. Konsep pertamanya adalah sebuah ruang kecil di depan rumah tempat rehat dan ngadu bako mengobrol sambil minum kopi.
berAnda yang apik artistik |
“Ya kan kini sedang musim bunga dimana-mana. Bagi saya bunga filosofinya bisa menjadi buah. Jadi sekarang bagaimana kita mencari bibit yang baik kemudian merawatnya dengan baik kemudian menghasilkan menuai panen-mendapatkan sesuatu/buahnya. Tentu saja tidak terlepas dari seleksi alam kan ada hama, dan itu juga mebutuhkan kecintaan – rasa cinta kita bagaimana memelihara merawatnya dengan baik,” katanya sambil memperlihatkan tanaman bunga digenggaman tangannya yang baru saja dia temukan di belukar jalanan, sering terinjak, tidak diperhatikan orang. Bunga aneh itu akan ditempatkan di pot yang baik. Itu mungkin cara seniman membuat nilai-nilai, yang tadinya diabaikan orang, setelah dirawat, dipelihara dengan baik mungkin nanti disukai orang dan bahkan bisa bernilai ekonomi.
Hobinya menanam bunga diikuti istrinya, Tika Wartika, yang kini sudah mengoleksi 30-40 bunga. Padahal dulu istrinya tidak begitu suka bunga karena takut ulat. Tapi setelah dikasih kiat-kiat menghadapi ulat dan setelah tahu dari medsos bunga lagi booming, akhirnya mau memelihara bunga.
Bunga pun bagi Edos sebagai terapi di masa pandemi, agar tetap segar tidak stress karena di rumah terus, jadi harus membuat suasana yang betah, adem, kalem menenangkan jiwa-raga supaya bisa tetap berpikir dengan tenang dan jernih, serta sehat walafiat.
Bunga-bunga yang didapatnya dari teman dan sebagian dibeli, dikumpulkan dan ditata dengan rapih menjadi galeri bunga. Ada yang ditempatkan di ruang tamu, di sekeliling kolam ikan, di dapur, di studio lukis, dimanapun artistik dan menenangkan bathin.
Hobinya menanam bunga diikuti istrinya, Tika Wartika, yang kini sudah mengoleksi 30-40 bunga. Padahal dulu istrinya tidak begitu suka bunga karena takut ulat. Tapi setelah dikasih kiat-kiat menghadapi ulat dan setelah tahu dari medsos bunga lagi booming, akhirnya mau memelihara bunga.
Bunga pun bagi Edos sebagai terapi di masa pandemi, agar tetap segar tidak stress karena di rumah terus, jadi harus membuat suasana yang betah, adem, kalem menenangkan jiwa-raga supaya bisa tetap berpikir dengan tenang dan jernih, serta sehat walafiat.
Bunga-bunga yang didapatnya dari teman dan sebagian dibeli, dikumpulkan dan ditata dengan rapih menjadi galeri bunga. Ada yang ditempatkan di ruang tamu, di sekeliling kolam ikan, di dapur, di studio lukis, dimanapun artistik dan menenangkan bathin.
Bercengkrama dengan ikan |
Lihatlah, ada Wijayakusumah warna pink, orange, putih ada yang besar dan kecil. Ada juga Kuping Gajah beberapa jenis, ada Sirih Walanda dan Sirih Keraton, khusus tanaman warisan Uyutnya dari Conggeang Sumedang ini kata Edos, ya kalaupun tidak punya keraton tapi paling tidak memiliki sirihnya lah, hahay. Saking cintanya pada bunga dan lingkungan hidup, banyak lukisan Edos yang bertemakan bunga, digabung dengan serangga (kupu-kupu, papatong/capung dan turaes/siang-siang), dsb.
Yang lainnya, ada Taleus Hideung (Keladi Hitam), Hanjuang yang sakral (karena konon dipakai untuk teman sesaji atau tanda petilasan Pajajaran atau batas tanah/sawah), Sampeu (singkong) yang pucuknya bisa dilalab, Jaksi, dan banyak lagi. Tapi yang paling historis adalah tanaman Pete, sekaligus menjadi ciri studio dan rumahnya. Pohon pete yang menjulang tinggi yang kalau kita naik ke atasnya bisa melihat Gunung Papandayan dengan jelas ke arah Selatan itu, ditanam semenjak pertama kali membangun studio (Beranda). Dan hasilnya pun selalu dibagikan ke tetangga, dan teman-teman seniman, budayawan, penulis, penyanyi, malah suka ada yang membelinya. Bahkan seorang pejabat dari Kementerian Perdagangan dari Jakarta, menjadi orang yang pertama kali memakan pete ini ketika pertama kalinya berbuah.
Orang Sunda di pedesaan miliki budaya membuat balong untuk memelihara ikan, tradisi ngabedahkeun balong dan makan ikan bersama para tetangga dan masyarakat yang dilakukan Uyut Haji Guru Murtia’ah dan suaminya Mantri Guru Uyut Kanta Sudardja di Cidudut, Cipamekar, Conggeang- Sumedang, terekam oleh Edos semasa kecil. Maka di studionya pun sekarang dia membuat kolam ikan kecil berisi ikan-ikan Koi, Lele, Tawes Kumpay, Patin Putih dan Hitam, malah ada Ikan Dewa Buhun (Kanca jenis Soro) dari Ciburial Cimalaka - Sumedang. Kolam ikan yang artistik berlatar lukisan-lukisan buah karyanya tersebut sekaligus sebagai pengobat rindu pada cucunya Cezayn Saka Hidayat yang kini tinggal jauh di Cikarang Jawa Barat karena ibunya Hanny Figurhawa (putra cikal Edos) dan ayahnya Aviamto Hidayat, sudah bumen-bumen di sana dan cucunya pun sering Video Call ingin melihat ikan punya kakeknya.
Pernah Menginspirasi Berdirinya 3 Ruang Seni Rupa di Bandung
Lukisan dimasa pandemi dirasakan Edos energinya tidak begitu kuat. Tapi dia berusaha agar dapurnya tetap ngebul dan bisa menutup kebutuhan kuliah anaknya. Selain silaturahmi pada teman sesama profesi Edos pun tetap melukis, membuat karya-karya yang bersejarah, ekspresi yang greget misalnya tentang “Hai Soe” – itu inspirasi dari sebuah lagu Inti Nirmana-musisi balada dari Babakan Ciamis Bandung. “Waktu itu sedang ada acara amal untuk bencana alam. Nirmana ngarang lagu dan mungkin membaca persoalan yang ada di Indonesia dan saya menafsirkannya ada 2 dinamika, misalnya dari 2 tokoh pendiri bangsa Pak Dirman pimpinan tentara saat itu dan Bung Karno pimpinan Nasional. Mereka berdua berpelukan padahal sedang beperang. Dia berperang dalam pelukan. Dan itu foto sejarah, ada fotonya. Saya lukis dengan ukuran 60 x 70 Cm dengan acrilik di atas kanvas,“ jelas Edos.
Lukisan tokoh sejarah lainnya, adalah tokoh pemersatu bangsa-bangsa di Asia-Afrika, diantaranya Ali Sastro Amidjojo, lukisan tersebut didedikasikan kepada keluarga besarnya dan sekarang jadi koleksi keluarga besarnya serta dibuat bukunya “Tonggak-Tonggak di Perjalananku”. Edos juga melukis tokoh nasional Ir. Soekarno, ini juga sudah menjadi koleksi keluarganya, yang lain Gubernur Jabar Kang Aher bersama istrinya, Netty Prasetiyani.
Lukisan lainnya lebih banyak bunga, ada juga kuda. “Ada temen yang seneng bunga, ya saya buatkan dan memang lukisan saya terinspirasi dari bunga-bunga yang ada di sekitar beranda. Kalau kita bisa menata rumah dan lingkungannya akan lebih sehat dan mungkin kehidupannya pun akan lebih maju, jadi manusia berbudaya, itu harapan saya,“ papar Edos.
Yang lainnya, ada Taleus Hideung (Keladi Hitam), Hanjuang yang sakral (karena konon dipakai untuk teman sesaji atau tanda petilasan Pajajaran atau batas tanah/sawah), Sampeu (singkong) yang pucuknya bisa dilalab, Jaksi, dan banyak lagi. Tapi yang paling historis adalah tanaman Pete, sekaligus menjadi ciri studio dan rumahnya. Pohon pete yang menjulang tinggi yang kalau kita naik ke atasnya bisa melihat Gunung Papandayan dengan jelas ke arah Selatan itu, ditanam semenjak pertama kali membangun studio (Beranda). Dan hasilnya pun selalu dibagikan ke tetangga, dan teman-teman seniman, budayawan, penulis, penyanyi, malah suka ada yang membelinya. Bahkan seorang pejabat dari Kementerian Perdagangan dari Jakarta, menjadi orang yang pertama kali memakan pete ini ketika pertama kalinya berbuah.
Orang Sunda di pedesaan miliki budaya membuat balong untuk memelihara ikan, tradisi ngabedahkeun balong dan makan ikan bersama para tetangga dan masyarakat yang dilakukan Uyut Haji Guru Murtia’ah dan suaminya Mantri Guru Uyut Kanta Sudardja di Cidudut, Cipamekar, Conggeang- Sumedang, terekam oleh Edos semasa kecil. Maka di studionya pun sekarang dia membuat kolam ikan kecil berisi ikan-ikan Koi, Lele, Tawes Kumpay, Patin Putih dan Hitam, malah ada Ikan Dewa Buhun (Kanca jenis Soro) dari Ciburial Cimalaka - Sumedang. Kolam ikan yang artistik berlatar lukisan-lukisan buah karyanya tersebut sekaligus sebagai pengobat rindu pada cucunya Cezayn Saka Hidayat yang kini tinggal jauh di Cikarang Jawa Barat karena ibunya Hanny Figurhawa (putra cikal Edos) dan ayahnya Aviamto Hidayat, sudah bumen-bumen di sana dan cucunya pun sering Video Call ingin melihat ikan punya kakeknya.
Pernah Menginspirasi Berdirinya 3 Ruang Seni Rupa di Bandung
Lukisan dimasa pandemi dirasakan Edos energinya tidak begitu kuat. Tapi dia berusaha agar dapurnya tetap ngebul dan bisa menutup kebutuhan kuliah anaknya. Selain silaturahmi pada teman sesama profesi Edos pun tetap melukis, membuat karya-karya yang bersejarah, ekspresi yang greget misalnya tentang “Hai Soe” – itu inspirasi dari sebuah lagu Inti Nirmana-musisi balada dari Babakan Ciamis Bandung. “Waktu itu sedang ada acara amal untuk bencana alam. Nirmana ngarang lagu dan mungkin membaca persoalan yang ada di Indonesia dan saya menafsirkannya ada 2 dinamika, misalnya dari 2 tokoh pendiri bangsa Pak Dirman pimpinan tentara saat itu dan Bung Karno pimpinan Nasional. Mereka berdua berpelukan padahal sedang beperang. Dia berperang dalam pelukan. Dan itu foto sejarah, ada fotonya. Saya lukis dengan ukuran 60 x 70 Cm dengan acrilik di atas kanvas,“ jelas Edos.
Lukisan tokoh sejarah lainnya, adalah tokoh pemersatu bangsa-bangsa di Asia-Afrika, diantaranya Ali Sastro Amidjojo, lukisan tersebut didedikasikan kepada keluarga besarnya dan sekarang jadi koleksi keluarga besarnya serta dibuat bukunya “Tonggak-Tonggak di Perjalananku”. Edos juga melukis tokoh nasional Ir. Soekarno, ini juga sudah menjadi koleksi keluarganya, yang lain Gubernur Jabar Kang Aher bersama istrinya, Netty Prasetiyani.
Lukisan lainnya lebih banyak bunga, ada juga kuda. “Ada temen yang seneng bunga, ya saya buatkan dan memang lukisan saya terinspirasi dari bunga-bunga yang ada di sekitar beranda. Kalau kita bisa menata rumah dan lingkungannya akan lebih sehat dan mungkin kehidupannya pun akan lebih maju, jadi manusia berbudaya, itu harapan saya,“ papar Edos.
Berlatar belakang lukisan Hai Soe (dia berperang dalam pelukan) |
Jumlah lukisan Edos kurang lebih ada seratus. Seniman Alumni HI Fisip Unpas ini memang bukan pelukis produktif, tergantung mood, tapi tiap lukisannya detail dan matang. Jenisnya pun tergantung periode, selain bunga ada juga kontemporer X – Ray.
Lukisan Edos sudah tersebar di Belanda, di Museum Asia - Afrika Bandung, juga diteman-temannya dari berbagai profesi termasuk dikoleksi oleh teman-temannya dari Kementerian Perdagangan. Bahkan karya lukisnya oleh teman-temannya dipamerkan di pegunungan Himalaya, dibawa keliling Eropa, bahkan di tempat-tempat suci Islam, di depan Masjid Nabawi, Masjidil Harom dan Masjidil Aqso.
Hebatnya Edos juga pernah menginspirasi berdirinya 3 ruang seni rupa. Diantaranya Galeri Taman Budaya Jawa Barat tahun 95. “Waktu itu saya pertama kali pameran lukisan di beranda (belum ada galeri) Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat, kemudian datanglah Pak Barli (almarhum) juga Pak Toni Yusuf dari Sanggar Babakan Siliwangi Bandung, kemudian waktu itu ngobrol dengan kepala taman budaya, alhamdulillah jadilah galeri taman budaya,” kata Edos bangga.
Lukisan Edos sudah tersebar di Belanda, di Museum Asia - Afrika Bandung, juga diteman-temannya dari berbagai profesi termasuk dikoleksi oleh teman-temannya dari Kementerian Perdagangan. Bahkan karya lukisnya oleh teman-temannya dipamerkan di pegunungan Himalaya, dibawa keliling Eropa, bahkan di tempat-tempat suci Islam, di depan Masjid Nabawi, Masjidil Harom dan Masjidil Aqso.
Hebatnya Edos juga pernah menginspirasi berdirinya 3 ruang seni rupa. Diantaranya Galeri Taman Budaya Jawa Barat tahun 95. “Waktu itu saya pertama kali pameran lukisan di beranda (belum ada galeri) Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat, kemudian datanglah Pak Barli (almarhum) juga Pak Toni Yusuf dari Sanggar Babakan Siliwangi Bandung, kemudian waktu itu ngobrol dengan kepala taman budaya, alhamdulillah jadilah galeri taman budaya,” kata Edos bangga.
Pete Dan Gunung Papandayan Nun Jauh Di Selatan Sana |
Kedua, Kebun Seni. Waktu itu mau ada relokasi Babakan Siliwangi ke Ujungberung kemudian Edos terlibat obrolan dengan Pak Maman Ki Sunda (Alm), T.B. Hasanuddin dan Kang Nasti Gagak Lumayung. Edos mencoba mengusulkan agar Bandung punya tempat ngumpul para seniman dan khalayak termasuk para pengusaha. Seminggu kemudian diperlihatkanlah gambarnya dan kebetulan ternyata Pak Maman itu teman Pak Romli pemilik/pengelola Kebun Binatang Bandung. Maka dibuatkanlah ruang kesenian di Kebun Seni tahun 2009 – operasional 2010.
Ketiga, mendirikan Klab Budaya Menggambar – sebagai Sahabat Museum Konferensi Asia-Afrika. Setelah sebelumnya Edos bertemu dengan kepala museum dan mengusulkan alangkah baiknya bila museum tidak hanya bisa menghidupkan orang yang sudah mati, tapi yang penting bisa menghidupkan orang yang masih hidup. “Dan alhmadulillah kemudian kita dikasih tempat untuk beraktivitas dari tahun 2011 hingga 2014. Kita tidak dibayar sebagai voluntir dan pesertanya para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung dan diteruskan oleh generasi lainnya,“ kenang Edos.
Tahun 2014 berhubung kepala museum dan kasubag museum tugas ke luar negeri, akhirnya daripada culang-cileung Edos kembali ke berAnda. Hingga kini Edos dari mulai menikah tahun 93 dan menyatakan dirinya sebagai pelukis, dia tetap konsisten menjadi pelukis dan selamanya akan jadi pelukis, soalnya ga ada pekerjaan lain, katanya sambil ketawa dan tak lupa memberi oleh-oleh beberapa ranggeuy pete. Hatur nuhun Kang Edos. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
January 21, 2021
CB Blogger
IndonesiaKetiga, mendirikan Klab Budaya Menggambar – sebagai Sahabat Museum Konferensi Asia-Afrika. Setelah sebelumnya Edos bertemu dengan kepala museum dan mengusulkan alangkah baiknya bila museum tidak hanya bisa menghidupkan orang yang sudah mati, tapi yang penting bisa menghidupkan orang yang masih hidup. “Dan alhmadulillah kemudian kita dikasih tempat untuk beraktivitas dari tahun 2011 hingga 2014. Kita tidak dibayar sebagai voluntir dan pesertanya para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung dan diteruskan oleh generasi lainnya,“ kenang Edos.
Tahun 2014 berhubung kepala museum dan kasubag museum tugas ke luar negeri, akhirnya daripada culang-cileung Edos kembali ke berAnda. Hingga kini Edos dari mulai menikah tahun 93 dan menyatakan dirinya sebagai pelukis, dia tetap konsisten menjadi pelukis dan selamanya akan jadi pelukis, soalnya ga ada pekerjaan lain, katanya sambil ketawa dan tak lupa memberi oleh-oleh beberapa ranggeuy pete. Hatur nuhun Kang Edos. (Asep GP)***
Mengintip Studio Lukis berAnda Edos di Masa Pandemi
Posted by
Tatarjabar.com on Thursday, January 21, 2021
E.S. Edos (53) di studio lukis berAnda Edos |
Pandemi Covid-19 (Virus Corona) di awal tahun 2021 ini bukannya berkurang, tapi malah makin menggila dan mengancam, mengganggu aktivitas kehidupan dan penghidupan manusia. Tapi bagi orang-orang kreatif, pandemi Corona ini tidak menjadikan halangan untuk melakukan kegiatan positif seperti mengajar, menuntut ilmu, diskusi, melukis, bercocok tanam, dan kegiatan lainnya, toh bisa Work From Home (WFH) dan memanfaatkan teknologi digital.
Seperti yang dilakukan oleh seorang perupa (seniman lukis) E.S. Edos (Edos: Eman Dalam Olah Seni). Selain tetap melukis, dia juga rajin menanam bunga di studio lukis sekaligus rumahnya, “berAnda Edos”, di kawasan Rancakendal Luhur, Sekepicung Atas Rt 04/ Rw 05 Dago Resort, Ciburial- Bandung.
Sedikit tentang “berAnda” adalah singkatan dari ber – Anda : senantiasa bersama Anda. Konsep pertamanya adalah sebuah ruang kecil di depan rumah tempat rehat dan ngadu bako mengobrol sambil minum kopi.
berAnda yang apik artistik |
“Ya kan kini sedang musim bunga dimana-mana. Bagi saya bunga filosofinya bisa menjadi buah. Jadi sekarang bagaimana kita mencari bibit yang baik kemudian merawatnya dengan baik kemudian menghasilkan menuai panen-mendapatkan sesuatu/buahnya. Tentu saja tidak terlepas dari seleksi alam kan ada hama, dan itu juga mebutuhkan kecintaan – rasa cinta kita bagaimana memelihara merawatnya dengan baik,” katanya sambil memperlihatkan tanaman bunga digenggaman tangannya yang baru saja dia temukan di belukar jalanan, sering terinjak, tidak diperhatikan orang. Bunga aneh itu akan ditempatkan di pot yang baik. Itu mungkin cara seniman membuat nilai-nilai, yang tadinya diabaikan orang, setelah dirawat, dipelihara dengan baik mungkin nanti disukai orang dan bahkan bisa bernilai ekonomi.
Hobinya menanam bunga diikuti istrinya, Tika Wartika, yang kini sudah mengoleksi 30-40 bunga. Padahal dulu istrinya tidak begitu suka bunga karena takut ulat. Tapi setelah dikasih kiat-kiat menghadapi ulat dan setelah tahu dari medsos bunga lagi booming, akhirnya mau memelihara bunga.
Bunga pun bagi Edos sebagai terapi di masa pandemi, agar tetap segar tidak stress karena di rumah terus, jadi harus membuat suasana yang betah, adem, kalem menenangkan jiwa-raga supaya bisa tetap berpikir dengan tenang dan jernih, serta sehat walafiat.
Bunga-bunga yang didapatnya dari teman dan sebagian dibeli, dikumpulkan dan ditata dengan rapih menjadi galeri bunga. Ada yang ditempatkan di ruang tamu, di sekeliling kolam ikan, di dapur, di studio lukis, dimanapun artistik dan menenangkan bathin.
Hobinya menanam bunga diikuti istrinya, Tika Wartika, yang kini sudah mengoleksi 30-40 bunga. Padahal dulu istrinya tidak begitu suka bunga karena takut ulat. Tapi setelah dikasih kiat-kiat menghadapi ulat dan setelah tahu dari medsos bunga lagi booming, akhirnya mau memelihara bunga.
Bunga pun bagi Edos sebagai terapi di masa pandemi, agar tetap segar tidak stress karena di rumah terus, jadi harus membuat suasana yang betah, adem, kalem menenangkan jiwa-raga supaya bisa tetap berpikir dengan tenang dan jernih, serta sehat walafiat.
Bunga-bunga yang didapatnya dari teman dan sebagian dibeli, dikumpulkan dan ditata dengan rapih menjadi galeri bunga. Ada yang ditempatkan di ruang tamu, di sekeliling kolam ikan, di dapur, di studio lukis, dimanapun artistik dan menenangkan bathin.
Bercengkrama dengan ikan |
Lihatlah, ada Wijayakusumah warna pink, orange, putih ada yang besar dan kecil. Ada juga Kuping Gajah beberapa jenis, ada Sirih Walanda dan Sirih Keraton, khusus tanaman warisan Uyutnya dari Conggeang Sumedang ini kata Edos, ya kalaupun tidak punya keraton tapi paling tidak memiliki sirihnya lah, hahay. Saking cintanya pada bunga dan lingkungan hidup, banyak lukisan Edos yang bertemakan bunga, digabung dengan serangga (kupu-kupu, papatong/capung dan turaes/siang-siang), dsb.
Yang lainnya, ada Taleus Hideung (Keladi Hitam), Hanjuang yang sakral (karena konon dipakai untuk teman sesaji atau tanda petilasan Pajajaran atau batas tanah/sawah), Sampeu (singkong) yang pucuknya bisa dilalab, Jaksi, dan banyak lagi. Tapi yang paling historis adalah tanaman Pete, sekaligus menjadi ciri studio dan rumahnya. Pohon pete yang menjulang tinggi yang kalau kita naik ke atasnya bisa melihat Gunung Papandayan dengan jelas ke arah Selatan itu, ditanam semenjak pertama kali membangun studio (Beranda). Dan hasilnya pun selalu dibagikan ke tetangga, dan teman-teman seniman, budayawan, penulis, penyanyi, malah suka ada yang membelinya. Bahkan seorang pejabat dari Kementerian Perdagangan dari Jakarta, menjadi orang yang pertama kali memakan pete ini ketika pertama kalinya berbuah.
Orang Sunda di pedesaan miliki budaya membuat balong untuk memelihara ikan, tradisi ngabedahkeun balong dan makan ikan bersama para tetangga dan masyarakat yang dilakukan Uyut Haji Guru Murtia’ah dan suaminya Mantri Guru Uyut Kanta Sudardja di Cidudut, Cipamekar, Conggeang- Sumedang, terekam oleh Edos semasa kecil. Maka di studionya pun sekarang dia membuat kolam ikan kecil berisi ikan-ikan Koi, Lele, Tawes Kumpay, Patin Putih dan Hitam, malah ada Ikan Dewa Buhun (Kanca jenis Soro) dari Ciburial Cimalaka - Sumedang. Kolam ikan yang artistik berlatar lukisan-lukisan buah karyanya tersebut sekaligus sebagai pengobat rindu pada cucunya Cezayn Saka Hidayat yang kini tinggal jauh di Cikarang Jawa Barat karena ibunya Hanny Figurhawa (putra cikal Edos) dan ayahnya Aviamto Hidayat, sudah bumen-bumen di sana dan cucunya pun sering Video Call ingin melihat ikan punya kakeknya.
Pernah Menginspirasi Berdirinya 3 Ruang Seni Rupa di Bandung
Lukisan dimasa pandemi dirasakan Edos energinya tidak begitu kuat. Tapi dia berusaha agar dapurnya tetap ngebul dan bisa menutup kebutuhan kuliah anaknya. Selain silaturahmi pada teman sesama profesi Edos pun tetap melukis, membuat karya-karya yang bersejarah, ekspresi yang greget misalnya tentang “Hai Soe” – itu inspirasi dari sebuah lagu Inti Nirmana-musisi balada dari Babakan Ciamis Bandung. “Waktu itu sedang ada acara amal untuk bencana alam. Nirmana ngarang lagu dan mungkin membaca persoalan yang ada di Indonesia dan saya menafsirkannya ada 2 dinamika, misalnya dari 2 tokoh pendiri bangsa Pak Dirman pimpinan tentara saat itu dan Bung Karno pimpinan Nasional. Mereka berdua berpelukan padahal sedang beperang. Dia berperang dalam pelukan. Dan itu foto sejarah, ada fotonya. Saya lukis dengan ukuran 60 x 70 Cm dengan acrilik di atas kanvas,“ jelas Edos.
Lukisan tokoh sejarah lainnya, adalah tokoh pemersatu bangsa-bangsa di Asia-Afrika, diantaranya Ali Sastro Amidjojo, lukisan tersebut didedikasikan kepada keluarga besarnya dan sekarang jadi koleksi keluarga besarnya serta dibuat bukunya “Tonggak-Tonggak di Perjalananku”. Edos juga melukis tokoh nasional Ir. Soekarno, ini juga sudah menjadi koleksi keluarganya, yang lain Gubernur Jabar Kang Aher bersama istrinya, Netty Prasetiyani.
Lukisan lainnya lebih banyak bunga, ada juga kuda. “Ada temen yang seneng bunga, ya saya buatkan dan memang lukisan saya terinspirasi dari bunga-bunga yang ada di sekitar beranda. Kalau kita bisa menata rumah dan lingkungannya akan lebih sehat dan mungkin kehidupannya pun akan lebih maju, jadi manusia berbudaya, itu harapan saya,“ papar Edos.
Yang lainnya, ada Taleus Hideung (Keladi Hitam), Hanjuang yang sakral (karena konon dipakai untuk teman sesaji atau tanda petilasan Pajajaran atau batas tanah/sawah), Sampeu (singkong) yang pucuknya bisa dilalab, Jaksi, dan banyak lagi. Tapi yang paling historis adalah tanaman Pete, sekaligus menjadi ciri studio dan rumahnya. Pohon pete yang menjulang tinggi yang kalau kita naik ke atasnya bisa melihat Gunung Papandayan dengan jelas ke arah Selatan itu, ditanam semenjak pertama kali membangun studio (Beranda). Dan hasilnya pun selalu dibagikan ke tetangga, dan teman-teman seniman, budayawan, penulis, penyanyi, malah suka ada yang membelinya. Bahkan seorang pejabat dari Kementerian Perdagangan dari Jakarta, menjadi orang yang pertama kali memakan pete ini ketika pertama kalinya berbuah.
Orang Sunda di pedesaan miliki budaya membuat balong untuk memelihara ikan, tradisi ngabedahkeun balong dan makan ikan bersama para tetangga dan masyarakat yang dilakukan Uyut Haji Guru Murtia’ah dan suaminya Mantri Guru Uyut Kanta Sudardja di Cidudut, Cipamekar, Conggeang- Sumedang, terekam oleh Edos semasa kecil. Maka di studionya pun sekarang dia membuat kolam ikan kecil berisi ikan-ikan Koi, Lele, Tawes Kumpay, Patin Putih dan Hitam, malah ada Ikan Dewa Buhun (Kanca jenis Soro) dari Ciburial Cimalaka - Sumedang. Kolam ikan yang artistik berlatar lukisan-lukisan buah karyanya tersebut sekaligus sebagai pengobat rindu pada cucunya Cezayn Saka Hidayat yang kini tinggal jauh di Cikarang Jawa Barat karena ibunya Hanny Figurhawa (putra cikal Edos) dan ayahnya Aviamto Hidayat, sudah bumen-bumen di sana dan cucunya pun sering Video Call ingin melihat ikan punya kakeknya.
Pernah Menginspirasi Berdirinya 3 Ruang Seni Rupa di Bandung
Lukisan dimasa pandemi dirasakan Edos energinya tidak begitu kuat. Tapi dia berusaha agar dapurnya tetap ngebul dan bisa menutup kebutuhan kuliah anaknya. Selain silaturahmi pada teman sesama profesi Edos pun tetap melukis, membuat karya-karya yang bersejarah, ekspresi yang greget misalnya tentang “Hai Soe” – itu inspirasi dari sebuah lagu Inti Nirmana-musisi balada dari Babakan Ciamis Bandung. “Waktu itu sedang ada acara amal untuk bencana alam. Nirmana ngarang lagu dan mungkin membaca persoalan yang ada di Indonesia dan saya menafsirkannya ada 2 dinamika, misalnya dari 2 tokoh pendiri bangsa Pak Dirman pimpinan tentara saat itu dan Bung Karno pimpinan Nasional. Mereka berdua berpelukan padahal sedang beperang. Dia berperang dalam pelukan. Dan itu foto sejarah, ada fotonya. Saya lukis dengan ukuran 60 x 70 Cm dengan acrilik di atas kanvas,“ jelas Edos.
Lukisan tokoh sejarah lainnya, adalah tokoh pemersatu bangsa-bangsa di Asia-Afrika, diantaranya Ali Sastro Amidjojo, lukisan tersebut didedikasikan kepada keluarga besarnya dan sekarang jadi koleksi keluarga besarnya serta dibuat bukunya “Tonggak-Tonggak di Perjalananku”. Edos juga melukis tokoh nasional Ir. Soekarno, ini juga sudah menjadi koleksi keluarganya, yang lain Gubernur Jabar Kang Aher bersama istrinya, Netty Prasetiyani.
Lukisan lainnya lebih banyak bunga, ada juga kuda. “Ada temen yang seneng bunga, ya saya buatkan dan memang lukisan saya terinspirasi dari bunga-bunga yang ada di sekitar beranda. Kalau kita bisa menata rumah dan lingkungannya akan lebih sehat dan mungkin kehidupannya pun akan lebih maju, jadi manusia berbudaya, itu harapan saya,“ papar Edos.
Berlatar belakang lukisan Hai Soe (dia berperang dalam pelukan) |
Jumlah lukisan Edos kurang lebih ada seratus. Seniman Alumni HI Fisip Unpas ini memang bukan pelukis produktif, tergantung mood, tapi tiap lukisannya detail dan matang. Jenisnya pun tergantung periode, selain bunga ada juga kontemporer X – Ray.
Lukisan Edos sudah tersebar di Belanda, di Museum Asia - Afrika Bandung, juga diteman-temannya dari berbagai profesi termasuk dikoleksi oleh teman-temannya dari Kementerian Perdagangan. Bahkan karya lukisnya oleh teman-temannya dipamerkan di pegunungan Himalaya, dibawa keliling Eropa, bahkan di tempat-tempat suci Islam, di depan Masjid Nabawi, Masjidil Harom dan Masjidil Aqso.
Hebatnya Edos juga pernah menginspirasi berdirinya 3 ruang seni rupa. Diantaranya Galeri Taman Budaya Jawa Barat tahun 95. “Waktu itu saya pertama kali pameran lukisan di beranda (belum ada galeri) Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat, kemudian datanglah Pak Barli (almarhum) juga Pak Toni Yusuf dari Sanggar Babakan Siliwangi Bandung, kemudian waktu itu ngobrol dengan kepala taman budaya, alhamdulillah jadilah galeri taman budaya,” kata Edos bangga.
Lukisan Edos sudah tersebar di Belanda, di Museum Asia - Afrika Bandung, juga diteman-temannya dari berbagai profesi termasuk dikoleksi oleh teman-temannya dari Kementerian Perdagangan. Bahkan karya lukisnya oleh teman-temannya dipamerkan di pegunungan Himalaya, dibawa keliling Eropa, bahkan di tempat-tempat suci Islam, di depan Masjid Nabawi, Masjidil Harom dan Masjidil Aqso.
Hebatnya Edos juga pernah menginspirasi berdirinya 3 ruang seni rupa. Diantaranya Galeri Taman Budaya Jawa Barat tahun 95. “Waktu itu saya pertama kali pameran lukisan di beranda (belum ada galeri) Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat, kemudian datanglah Pak Barli (almarhum) juga Pak Toni Yusuf dari Sanggar Babakan Siliwangi Bandung, kemudian waktu itu ngobrol dengan kepala taman budaya, alhamdulillah jadilah galeri taman budaya,” kata Edos bangga.
Pete Dan Gunung Papandayan Nun Jauh Di Selatan Sana |
Kedua, Kebun Seni. Waktu itu mau ada relokasi Babakan Siliwangi ke Ujungberung kemudian Edos terlibat obrolan dengan Pak Maman Ki Sunda (Alm), T.B. Hasanuddin dan Kang Nasti Gagak Lumayung. Edos mencoba mengusulkan agar Bandung punya tempat ngumpul para seniman dan khalayak termasuk para pengusaha. Seminggu kemudian diperlihatkanlah gambarnya dan kebetulan ternyata Pak Maman itu teman Pak Romli pemilik/pengelola Kebun Binatang Bandung. Maka dibuatkanlah ruang kesenian di Kebun Seni tahun 2009 – operasional 2010.
Ketiga, mendirikan Klab Budaya Menggambar – sebagai Sahabat Museum Konferensi Asia-Afrika. Setelah sebelumnya Edos bertemu dengan kepala museum dan mengusulkan alangkah baiknya bila museum tidak hanya bisa menghidupkan orang yang sudah mati, tapi yang penting bisa menghidupkan orang yang masih hidup. “Dan alhmadulillah kemudian kita dikasih tempat untuk beraktivitas dari tahun 2011 hingga 2014. Kita tidak dibayar sebagai voluntir dan pesertanya para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung dan diteruskan oleh generasi lainnya,“ kenang Edos.
Tahun 2014 berhubung kepala museum dan kasubag museum tugas ke luar negeri, akhirnya daripada culang-cileung Edos kembali ke berAnda. Hingga kini Edos dari mulai menikah tahun 93 dan menyatakan dirinya sebagai pelukis, dia tetap konsisten menjadi pelukis dan selamanya akan jadi pelukis, soalnya ga ada pekerjaan lain, katanya sambil ketawa dan tak lupa memberi oleh-oleh beberapa ranggeuy pete. Hatur nuhun Kang Edos. (Asep GP)***
Ketiga, mendirikan Klab Budaya Menggambar – sebagai Sahabat Museum Konferensi Asia-Afrika. Setelah sebelumnya Edos bertemu dengan kepala museum dan mengusulkan alangkah baiknya bila museum tidak hanya bisa menghidupkan orang yang sudah mati, tapi yang penting bisa menghidupkan orang yang masih hidup. “Dan alhmadulillah kemudian kita dikasih tempat untuk beraktivitas dari tahun 2011 hingga 2014. Kita tidak dibayar sebagai voluntir dan pesertanya para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung dan diteruskan oleh generasi lainnya,“ kenang Edos.
Tahun 2014 berhubung kepala museum dan kasubag museum tugas ke luar negeri, akhirnya daripada culang-cileung Edos kembali ke berAnda. Hingga kini Edos dari mulai menikah tahun 93 dan menyatakan dirinya sebagai pelukis, dia tetap konsisten menjadi pelukis dan selamanya akan jadi pelukis, soalnya ga ada pekerjaan lain, katanya sambil ketawa dan tak lupa memberi oleh-oleh beberapa ranggeuy pete. Hatur nuhun Kang Edos. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment