Home
» Pendidikan
» Riki Nasrullah Doktor Linguistik FIB Unpad: Bahasa Sunda Bisa Menyembuhkan Pasien Afasia
Saturday, October 3, 2020
Riki sedang mempertahankan Disertasinya |
Tidak percaya, ini ilmiah hasil kajian Disertasi Riki Nasrullah yang telah berhasil mempertahankan Disertasinya dalam Sidang Promosi Doktor secara Daring, Rabu tanggal 30 September 2020.
Riki yang dibimbing (dipromotori) oleh Prof. Dadang Suganda dan Dr. Wagiati, M.Hum, berhasil mendapatkan gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Sastra Konsentrasi Linguistik di Universitas Padjadjaran, dengan predikat Cumlaude (Dengan Pujian).
Riki berhasil mempertahankan Disertasinya, “EKSPRESI VERBAL, POLA PEMULIHAN KOMPETENSI BAHASA, DAN EFEK TRANSFER LINTAS LINGUISTIK PADA PASIEN AFASIA BILINGUAL SUNDA-INDONESIA: KAJIAN NEUROLINGUISTIK”, di hadapan para tim penguji di bidangnya (oponen ahli) seperti Nani Darmayanti, Ph.D., Dr. Wahya, M.Hum, dan Dr. Vitriana Biben, dr., Sp.KFR. (K).
Ingin mengabdikan ilmu untuk almamater tercinta |
Dalam sidang tersebut, Dekan FIB (Fakultas Ilmu Budaya) Yuyu Yohana Risagarniwa, M.Ed., Ph.D bertindak sebagai Ketua Sidang dan Dr. Mumuh Muhsin Z., M.Hum sebagai Sekretaris serta Refresentasi Guru Besar oleh Pro. Dr. Eva Tuckyta Sari S., M.Hum.
Dalam kajian ini Riki merupakan Doktor Linguistik – Neurologi (Neurolinguistik) ke- 7 di Indonesia. Memang belum banyak yang meneliti kajian ini, tahun lalu baru ada 6 Doktor dari 6 universitas di Indonesia seperti UI, Universitas Andalas (Padang), Universitas Udayana (Bali), Universitas Hasanuddin (Makasar) dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). “Berarti saya yang pertama di Unpad dan ke- 7 di Indonesia”, katanya bangga.
Kajian Neurolingistik, kata Riki merupakan gabungan antara Linguistik (ilmu bahasa) dan Neurologi (ilmu Saraf), Lingustik aspek Bahasanya – kemudian dihubungkan dengan aspek Neurologi atau saraf, kemudian otak.
Riki mencontohkan, pada kasus tabrakan si korban mengalami pendarahan di otak kirinya, ada sumbatan, dan itu mengakibatkan si korban mengalami gangguan berbicara. Yang tadinya berbicara lancar tapi karena adanya sumbatan, pendarahan di otaknya, kemungkinan kompetensi bahasannya hilang, nah orang yang terkena itu dinamakan Afasia.
Tapi Afasia dalam kajian disertasi Riki, lebih diarahkan ke Afasia bilingual Sunda – Indonesia, jadi orang yang punya kemampuan dua bahasa Sunda dan bahasa Indonesia
“Tanda-tanda orang terkena Afasia biasanya susah berbicara hilang vokalnya, susah untuk mengungkapkan kata-kata. Sebelum sakit dia bisa mengatakan buku setelah sakit gak bisa mengatakan ini-itu. Nah, saya cari pasien Afasia yang latar belakangnya bisa berbahasa Sunda dan juga punya kemampuan bahasa Indonesia, “jelasnya.
Maka Riki menemukan pasien bernama AS pituin (asli) Sunda tapi tinggal lama di Jakarta. Suatu saat dia mengalami stroke, ada pendarahan di otaknya. Dari semenjak itu dia mengalami gangguan berbicara, kemampuan bahasanya hilang dan kacau sama sekali. Dia mau menyebut Sapi dia malah menyebut kata lain atau malah sama sekali susah menyebutkan kata itu. Begitu juga ketika mau menyebut Ayam Jantan dia malah nyebut Ayam Patin, kacau sekali bicaranya, baik aspek bunyi/vocal termasuk kalimatnya kacau. Itu kata Riki, gara-gara stroke, otaknya mengalami pendarahan sampai mengalami Afasia, bahaya sekali.
Untuk menangani penyakit tersebut sebetulnya kata Riki, Kementerian Kesehatan pun sudah sudah membuat suatu aturan baku tentang tata laksana penanganan pasien Afasia (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2014 tentang standar pelayanan terapi wicara-Kementerian Kesehatan RI, 2014). “Tapi saya melihat di sana masih ada kekurangan. Ketika pasien itu masuk rumah sakit dia langsung diberikan terapi Bahasa Indonesia padahal pasien itu dari segi kedekatan bahasanya menggunakan bahasa Sunda bukan bahasa Indonesia. Nah aspek kedekatan itulah yang saya maksud dengan aspek Familiaritas, jadi dengan makin dekat dengan bahasanya potensi sembuhnya juga makin terbuka , “ terangnya.
Prof. Dadang Suganda, Ketua Promotor |
Daerah lainnya pun harus seperti itu, ada penderita dari Jawa, ya terapi wicaranya menggunakan bahasa Jawa, Batak dengan bahasa Batak, dan seterusnya. “Jadi ini baru bahasa Sunda, kalau mau kita bisa memakai semua bahasa daerah yang ada di Indonesia untuk terapi Afasia ini, tergantung asal pasien. Jadi sekaligus bisa melestarikan semua bahasa daerah di Indonesia yang hampir punah, “ tegasnya.
Alasan Riki melakukan penelitian ini, pertama kajian ini masih sangat langka di Indonesia, kemudian bermanfaat secara kebahasaan dan medis, orang bahasa bisa bermanfaat bagi masyarakat termasuk bagi dunia kedokteran menepis anggapan masyarakat umum seakan orang bahasa hanya berkutat seputar bunyi dan kalimat. Maka Riki ingin membuktikan pada khalayak orang bahasa itu bukan hanya berkutat dengan teori saja, tapi bagaimana caranya orang bahasa itu bisa memberi manfaat praktis kepada masyarakat. “Saya kira dengan mengangkat topik ini mudah-mudahan tingkat kesembuhan pasien- pasien Afasia di Indonesia semakin meningkat. Semakin dekat pasien dengan bahasa ibunya (bahasa daerah) semakin besar peluang untuk sembuhnya”, katanya pasti.
Ingin Mengabdi Ke Almamater Tercinta
Riki Nasrullah kelahiran Parakansalak-Cicurug Sukabumi 5 Mei 1994, pertama kali menginjakkan kakinya di Unpad tahun 2012 saat diterima menjadi mahasiswa Sastra Indonesia Jurusan/Prodi Linguistik (Bahasa), Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad.
Empat tahun kemudian (2016) putra pertama dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Tuti Suhartini – Sur Yani ini mampu meraih gelar Sarjana dengan Skripsi “Bahasa Sunda di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat: Suatu Kajian Geografi Dialek”. Selulus dari sana langsung melanjutkan ke S2 di prodi, fakultas dan universitas yang sama dan lulus tahun 2018 dengan Tesis “Relisasi Leksikal dan Gramatikal Penderita Afasia Broca Fasih di Rumah Sakit Otak Nasional Jakarta: Suatu Kajian Neurolinguistik”, dan setelah mengikuti Program S3 (2018), pada 2020 ini berhasil meraih gelar Doktor dengan predikat Cumlaude.
Riki menikah tahun 2018 dengan teman seangkatannya dari Sastra Jepang Unpad, Siti Julaeha (terah Garut), dan melahirkan buah hatinya Muhammad Salik Sabilihaq Ramadhan (1,5 tahun).
Memperhatikan prestasi pendidikan dan penelitiannya, Dr. Riki Nasrullah, M.Hum, adalah jelas aset Unpad yang harus dipertahankan. Apalagi Riki bertekad akan mengabdikan ilmunya untuk alamamater tercinta. “Jadi jangan sampai kejadian lagi sarjana-sarjana terbaik dari Unpad malah diampihan (diraih) oleh perguruan tinggi lainnya. Sebut saja Yudi Latif (mantan Kepala BPIP - Pemikir keagamaan, kenegaraan dan kebangsaan), Hawe (Haji Wawan) Setiawan (Budayawan) di Unpas, Kang AIS (Acep Iwan Saidi) - ahli gestur Pakar Semiotika, di FSRD ITB dan Wartawan Senior Rana Akbari di UTelkom”, demikian kata salah seorang alumni, mantan aktivis Unpad yang tidak mau disebutkan namanya. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
October 03, 2020
CB Blogger
IndonesiaRiki Nasrullah Doktor Linguistik FIB Unpad: Bahasa Sunda Bisa Menyembuhkan Pasien Afasia
Posted by
Tatarjabar.com on Saturday, October 3, 2020
Riki sedang mempertahankan Disertasinya |
Tidak percaya, ini ilmiah hasil kajian Disertasi Riki Nasrullah yang telah berhasil mempertahankan Disertasinya dalam Sidang Promosi Doktor secara Daring, Rabu tanggal 30 September 2020.
Riki yang dibimbing (dipromotori) oleh Prof. Dadang Suganda dan Dr. Wagiati, M.Hum, berhasil mendapatkan gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Sastra Konsentrasi Linguistik di Universitas Padjadjaran, dengan predikat Cumlaude (Dengan Pujian).
Riki berhasil mempertahankan Disertasinya, “EKSPRESI VERBAL, POLA PEMULIHAN KOMPETENSI BAHASA, DAN EFEK TRANSFER LINTAS LINGUISTIK PADA PASIEN AFASIA BILINGUAL SUNDA-INDONESIA: KAJIAN NEUROLINGUISTIK”, di hadapan para tim penguji di bidangnya (oponen ahli) seperti Nani Darmayanti, Ph.D., Dr. Wahya, M.Hum, dan Dr. Vitriana Biben, dr., Sp.KFR. (K).
Ingin mengabdikan ilmu untuk almamater tercinta |
Dalam sidang tersebut, Dekan FIB (Fakultas Ilmu Budaya) Yuyu Yohana Risagarniwa, M.Ed., Ph.D bertindak sebagai Ketua Sidang dan Dr. Mumuh Muhsin Z., M.Hum sebagai Sekretaris serta Refresentasi Guru Besar oleh Pro. Dr. Eva Tuckyta Sari S., M.Hum.
Dalam kajian ini Riki merupakan Doktor Linguistik – Neurologi (Neurolinguistik) ke- 7 di Indonesia. Memang belum banyak yang meneliti kajian ini, tahun lalu baru ada 6 Doktor dari 6 universitas di Indonesia seperti UI, Universitas Andalas (Padang), Universitas Udayana (Bali), Universitas Hasanuddin (Makasar) dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). “Berarti saya yang pertama di Unpad dan ke- 7 di Indonesia”, katanya bangga.
Kajian Neurolingistik, kata Riki merupakan gabungan antara Linguistik (ilmu bahasa) dan Neurologi (ilmu Saraf), Lingustik aspek Bahasanya – kemudian dihubungkan dengan aspek Neurologi atau saraf, kemudian otak.
Riki mencontohkan, pada kasus tabrakan si korban mengalami pendarahan di otak kirinya, ada sumbatan, dan itu mengakibatkan si korban mengalami gangguan berbicara. Yang tadinya berbicara lancar tapi karena adanya sumbatan, pendarahan di otaknya, kemungkinan kompetensi bahasannya hilang, nah orang yang terkena itu dinamakan Afasia.
Tapi Afasia dalam kajian disertasi Riki, lebih diarahkan ke Afasia bilingual Sunda – Indonesia, jadi orang yang punya kemampuan dua bahasa Sunda dan bahasa Indonesia
“Tanda-tanda orang terkena Afasia biasanya susah berbicara hilang vokalnya, susah untuk mengungkapkan kata-kata. Sebelum sakit dia bisa mengatakan buku setelah sakit gak bisa mengatakan ini-itu. Nah, saya cari pasien Afasia yang latar belakangnya bisa berbahasa Sunda dan juga punya kemampuan bahasa Indonesia, “jelasnya.
Maka Riki menemukan pasien bernama AS pituin (asli) Sunda tapi tinggal lama di Jakarta. Suatu saat dia mengalami stroke, ada pendarahan di otaknya. Dari semenjak itu dia mengalami gangguan berbicara, kemampuan bahasanya hilang dan kacau sama sekali. Dia mau menyebut Sapi dia malah menyebut kata lain atau malah sama sekali susah menyebutkan kata itu. Begitu juga ketika mau menyebut Ayam Jantan dia malah nyebut Ayam Patin, kacau sekali bicaranya, baik aspek bunyi/vocal termasuk kalimatnya kacau. Itu kata Riki, gara-gara stroke, otaknya mengalami pendarahan sampai mengalami Afasia, bahaya sekali.
Untuk menangani penyakit tersebut sebetulnya kata Riki, Kementerian Kesehatan pun sudah sudah membuat suatu aturan baku tentang tata laksana penanganan pasien Afasia (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2014 tentang standar pelayanan terapi wicara-Kementerian Kesehatan RI, 2014). “Tapi saya melihat di sana masih ada kekurangan. Ketika pasien itu masuk rumah sakit dia langsung diberikan terapi Bahasa Indonesia padahal pasien itu dari segi kedekatan bahasanya menggunakan bahasa Sunda bukan bahasa Indonesia. Nah aspek kedekatan itulah yang saya maksud dengan aspek Familiaritas, jadi dengan makin dekat dengan bahasanya potensi sembuhnya juga makin terbuka , “ terangnya.
Prof. Dadang Suganda, Ketua Promotor |
Daerah lainnya pun harus seperti itu, ada penderita dari Jawa, ya terapi wicaranya menggunakan bahasa Jawa, Batak dengan bahasa Batak, dan seterusnya. “Jadi ini baru bahasa Sunda, kalau mau kita bisa memakai semua bahasa daerah yang ada di Indonesia untuk terapi Afasia ini, tergantung asal pasien. Jadi sekaligus bisa melestarikan semua bahasa daerah di Indonesia yang hampir punah, “ tegasnya.
Alasan Riki melakukan penelitian ini, pertama kajian ini masih sangat langka di Indonesia, kemudian bermanfaat secara kebahasaan dan medis, orang bahasa bisa bermanfaat bagi masyarakat termasuk bagi dunia kedokteran menepis anggapan masyarakat umum seakan orang bahasa hanya berkutat seputar bunyi dan kalimat. Maka Riki ingin membuktikan pada khalayak orang bahasa itu bukan hanya berkutat dengan teori saja, tapi bagaimana caranya orang bahasa itu bisa memberi manfaat praktis kepada masyarakat. “Saya kira dengan mengangkat topik ini mudah-mudahan tingkat kesembuhan pasien- pasien Afasia di Indonesia semakin meningkat. Semakin dekat pasien dengan bahasa ibunya (bahasa daerah) semakin besar peluang untuk sembuhnya”, katanya pasti.
Ingin Mengabdi Ke Almamater Tercinta
Riki Nasrullah kelahiran Parakansalak-Cicurug Sukabumi 5 Mei 1994, pertama kali menginjakkan kakinya di Unpad tahun 2012 saat diterima menjadi mahasiswa Sastra Indonesia Jurusan/Prodi Linguistik (Bahasa), Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad.
Empat tahun kemudian (2016) putra pertama dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Tuti Suhartini – Sur Yani ini mampu meraih gelar Sarjana dengan Skripsi “Bahasa Sunda di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat: Suatu Kajian Geografi Dialek”. Selulus dari sana langsung melanjutkan ke S2 di prodi, fakultas dan universitas yang sama dan lulus tahun 2018 dengan Tesis “Relisasi Leksikal dan Gramatikal Penderita Afasia Broca Fasih di Rumah Sakit Otak Nasional Jakarta: Suatu Kajian Neurolinguistik”, dan setelah mengikuti Program S3 (2018), pada 2020 ini berhasil meraih gelar Doktor dengan predikat Cumlaude.
Riki menikah tahun 2018 dengan teman seangkatannya dari Sastra Jepang Unpad, Siti Julaeha (terah Garut), dan melahirkan buah hatinya Muhammad Salik Sabilihaq Ramadhan (1,5 tahun).
Memperhatikan prestasi pendidikan dan penelitiannya, Dr. Riki Nasrullah, M.Hum, adalah jelas aset Unpad yang harus dipertahankan. Apalagi Riki bertekad akan mengabdikan ilmunya untuk alamamater tercinta. “Jadi jangan sampai kejadian lagi sarjana-sarjana terbaik dari Unpad malah diampihan (diraih) oleh perguruan tinggi lainnya. Sebut saja Yudi Latif (mantan Kepala BPIP - Pemikir keagamaan, kenegaraan dan kebangsaan), Hawe (Haji Wawan) Setiawan (Budayawan) di Unpas, Kang AIS (Acep Iwan Saidi) - ahli gestur Pakar Semiotika, di FSRD ITB dan Wartawan Senior Rana Akbari di UTelkom”, demikian kata salah seorang alumni, mantan aktivis Unpad yang tidak mau disebutkan namanya. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment