Friday, August 14, 2020
Para stakeholder Kongres Sunda harus turut bersama-sama memperjuangkan posisi fiskal Jawa Barat di tengah kenyataan posisi tax ratio (rasio pajak) Indonesia yang menurun tajam dari 11% mungkin menjadi 8 % bahkan 6% persen yaitu keadilan fiscal.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) III Jawa Barat adalah DJP nomer 3 tertinggi perolehan pajaknya setelah DJP Papua, Maluku, dan Jakarta Selatan, ini menunjukkan kekuatan nasional ekonomi Jawa Barat besar, tetapi dibandingkan Jatim, transfer daerah dari nasional kita lebih kecil, sedangkan beban pembangunan nasional dari demografi dan persoalan sosial ekonomi kita besar, ini harus disuarakan dengan penuh kekompakan oleh wakil rakyat, pemerintah daerah, dan para tokoh-tokoh asosiasi serta para inohong Tatar Sunda.
Masyarakat Sunda harus memperhatikan dan memperjuangkan ekonomi Tatar Sunda ke depan termasuk membangun fondasi-fondasi ekonominya ke depan, dan itu memerlukan sebuah kebijakan strategis yang komprehensif yang dikawal dan diimplementasikan dengan tata kelola baik.
Setelah sukses menghadirkan para Jenderal dan inohong Sunda di Sawala Maya pertama, Panitia Kongres Sunda kembali menggelar Sawala Maya Pra-Kongres Sunda yang ke-2.
Sawala Maya yang berlangsung Rabu, tanggal 12 Agustus 2020 ini, bertajuk “Jawa Barat di Resesi 2020 – Sikap, Tantangan dan Solusi ke Masa Depan” dengan menghadirkan para nara sumber: Burhanudin Abdullah (Rektor IKOPIN), Acuviarta Kartabi (Dosen Prodi Ekonomi Unpas), A. Nadjib Qodratullah (Anggota Komisi XI DPR RI), dan Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky serta para Penanggap: Herman Muchtar (Ketua Asosiasi Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Ade Sudrajat Usman (Ketua Kompartemen Industri Tekstil dan Sepatu KADIN Indonesia), Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Jawa Barat Masrura Ram Idjal, dan Iwan Gunawan (Ketua Jaringan Pengusaha Nasional Jawa Barat serta moderator Erwin Kustiman (Redaktur Pelaksana Pikiran Rakyat).
Menarik untuk disimak pernyataan Burhanudin Abdullah yang menggambarkan situasi krisis dimana banyak terdapat pengangguran sebagai akibat perusahaan-perusahaan banyak yang mengurangi tenaga kerja bahkan gulung tikar dan kondisi perusahaan tersebut tentu saja berdampak pada sektor keuangan yang kelihatannya sampai saat ini berjalan baik tetapi tidak sesuai dengan kenyataan mengingat even di luar sangat mempengaruhi perbankan. Serta harga asset yang semakin menurun, baik berupa properti atau asset lainnya. Situasi semakin mengecilnya ekonomi inilah yang dinamakan krisis.
Burhanudin Abdullah, harus ada political capacity untuk selamatkan ekonomi masyarakat dan hentikan pandemi |
Bagi individu menghadapi situasi seperti ini tentu saja harus bisa survive, harus bekerja lebih keras lagi untuk mengembalikan pendapatannya yang sudah mulai berkurang. Bisa dengan cara melakukan usaha kelompok dimana akan memunculkan kreativitas-kreativitas.
Bagi pemerintah pun harus punya kemauan politik (political will) dan menurut Burhanudin, dalam hal ini pemerintah kita sudah banyak berusaha dengan mengeluarkan berbagai aturan, baik perpu, perpres, dan sebagainya. Political will pemerintah untuk menyelesaikan persoalan begitu kuat, begitu besar hasratnya menyelamatkan ekonomi masyarakat dan menghentikan pandemi.
Akan tetapi dia menegaskan persoalannya bukan hanya di political will saja. Itu baru setengah dari persoalan. Tapi juga harus ada political capacity. Harus ada kapasitas politik untuk mengimplementasikannya. Dicontohkannya saat Jepang berhasil meluluhlantakan pangkalan militer Amerika di Pear Harbor saat perang dunia kedua dan juga Vietnam yang berhasil mengusir tentara Amerika, semua itu karena dukungan politik yang sangat kuat.
Tapi menurutnya kalau capacity to implement dan sisi finansial sekarang agak berat, karena kita tidak punya uang. Untuk itu, terpaksa harus pinjam ke masyarakat bahkan melakukan sharing dengan Bank Indonesia sebagainya, Tapi menurutnya Itu jalan keluar yang baik dan menunjukkan persoalan kita ada di situ.
Selain itu, sektor perpajakan juga perlu diperhatikan, karena banyak yang mengatakan akan berkisar pada 8 % dari PDB (produk domestik bruto, nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu Negara pada periode tertentu, PDB adalah salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional). Padahal di tahun sebelumnya yang 11% persen saja dianggap rendah kalau melihat pajak Negara tetangga berkisar di angka 18 %.
Lalu apakah APBN-nya ada duitnya, kalau tidak ada (defisit) berarti kita tidak mampu dan kita harus pinjam.
Kang Burhan juga menyoroti faktor man power capacity. apakah orang-orang yang dipilih ini adalah orang-orang yang ahli di bidangnya, pakar, orang-orang pekerja keras. “Saya gak tahu dalam realitasnya tetapi secara teori ada tiga hal itu yang harus diperhatikan untuk menyelesaikan semua persoalan ini,” pungkasnya.
Mang Nadjib, Orang Sunda harus memperhatikan & memperjuangkan ekonomi Tatar Sunda ke depan |
Sementara itu Ahmad Nadjib Qudratullah, SE (Anggota DPR RI Komisi XI yang membidangi bidang Keuangan, Perencanaan Pembangunan dan Perbankan) berpendapat bahwa krisis atau resesi ini dimulai dari keterlambatan, ketidaksigapan dan ketidakcakapan menangani pandemi Covid-19 pada tahap awal, dimana pemerintah malah berpolemik dengan pemerintah daerah tentang cara pencegahan bahkan Menteri Kesehatan abai dengan menyepelekan pandemi, sehingga sampai kini terjadi lonjakan.
“Ya harusnya kita dapat memprediksikan kapan puncak dan kapan turun. Harusnya pemerintah dapat memprediksikan dari penanganan pandemi masa lalu yang tidak sekali terjadi dan yang sedang berjalan. Bahwa bila kita tidak dapat menangani masalah pandemi secara profesional akan berdampak besar pada situasi sosial, ekonomi dan politik. Kita Tidak dapat melaksanakan Progam Penyelamatan Ekonomi secara baik tanpa terlebih dahulu menuntaskan penanganan pandemi secara cepat, komprehensif dan tepat, “ tegas Nadjib.
Sebagai Wakil Rakyat Komisi XI, Nadjib melihat bahwa kondisi penurunan pertumbuhan ekonomi Triwulan I dan II yang pertumbuhannya negatif cukup berbahaya termasuk bila kita menyatakan Negara dalam resesi pada Triwulan III karena dampak sosial ekonomi politiknya cukup berisiko, maka pemerintah perlu merespon dan bertindak cepat, bijak dan disertai kejujuran termasuk untuk mengajak masyarakat untuk bahu-membahu menangani masalah.
“Kita tidak bisa berbicara Pemulihan Ekonomi bila efektivitas penanganan wabah rendah dan serapan anggaran rendah. Bila krisis ini berkepanjangan saya mengkhawatirkan kebijakan Perpu 01 tentang penanganan Corona dan tentang PUJK yang menjadikan Bank Himbara (Himpunan Bank Negara) sebagai Bank Jangkar ketika krisis melebar, untuk menangani masalah bank-bank lain yang bermasalah secara sistemik, sehingga rentan terhadap terjadinya masalah besar di kelak kemudian hari”, ujarnya.
Sebagai Wakil Rakyat dari Daerah Pemilihan I Jawa Barat, Nadjib pun berharap para stakeholder Kongres Sunda turut bersama-sama memperjuangkan posisi fiskal Jawa Barat di tengah kenyataan posisi tax ratio (rasio pajak) Indonesia yang menurun tajam dari 11% mungkin menjadi 8 % bahkan 6% persen yaitu keadilan fiscal.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) III Jawa Barat adalah DJP nomer 3 tertinggi perolehan pajaknya setelah DJP Papua, Maluku, dan Jakarta Selatan, ini menunjukkan kekuatan nasional ekonomi Jawa Barat besar, tetapi dibandingkan Jatim, transfer daerah dari nasional kita lebih kecil, sedangkan beban pembangunan nasional dari demografi dan persoalan sosial ekonomi kita besar, ini harus disuarakan dengan penuh kekompakan oleh wakil rakyat, pemerintah daerah, dan para tokoh-tokoh asosiasi serta para inohong Tatar Sunda.
“Masyarakat Sunda harus memperhatikan dan memperjuangkan ekonomi Tatar Sunda kedepan termasuk membangun fondasi-fondasi ekonominya ke depan, dan itu memerlukan sebuah kebijakan strategis yang komprehensif yang dikawal dan diimplemntasikan dengan tata kelola baik,” demikian pungkas Nadjib. (Rls / AGP.)***
Solusi Menghadapi Resesi di Jawa Barat Dari Sawalamaya Pra Kongres Sunda
Posted by
Tatarjabar.com on Friday, August 14, 2020
Para stakeholder Kongres Sunda harus turut bersama-sama memperjuangkan posisi fiskal Jawa Barat di tengah kenyataan posisi tax ratio (rasio pajak) Indonesia yang menurun tajam dari 11% mungkin menjadi 8 % bahkan 6% persen yaitu keadilan fiscal.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) III Jawa Barat adalah DJP nomer 3 tertinggi perolehan pajaknya setelah DJP Papua, Maluku, dan Jakarta Selatan, ini menunjukkan kekuatan nasional ekonomi Jawa Barat besar, tetapi dibandingkan Jatim, transfer daerah dari nasional kita lebih kecil, sedangkan beban pembangunan nasional dari demografi dan persoalan sosial ekonomi kita besar, ini harus disuarakan dengan penuh kekompakan oleh wakil rakyat, pemerintah daerah, dan para tokoh-tokoh asosiasi serta para inohong Tatar Sunda.
Masyarakat Sunda harus memperhatikan dan memperjuangkan ekonomi Tatar Sunda ke depan termasuk membangun fondasi-fondasi ekonominya ke depan, dan itu memerlukan sebuah kebijakan strategis yang komprehensif yang dikawal dan diimplementasikan dengan tata kelola baik.
Setelah sukses menghadirkan para Jenderal dan inohong Sunda di Sawala Maya pertama, Panitia Kongres Sunda kembali menggelar Sawala Maya Pra-Kongres Sunda yang ke-2.
Sawala Maya yang berlangsung Rabu, tanggal 12 Agustus 2020 ini, bertajuk “Jawa Barat di Resesi 2020 – Sikap, Tantangan dan Solusi ke Masa Depan” dengan menghadirkan para nara sumber: Burhanudin Abdullah (Rektor IKOPIN), Acuviarta Kartabi (Dosen Prodi Ekonomi Unpas), A. Nadjib Qodratullah (Anggota Komisi XI DPR RI), dan Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky serta para Penanggap: Herman Muchtar (Ketua Asosiasi Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Ade Sudrajat Usman (Ketua Kompartemen Industri Tekstil dan Sepatu KADIN Indonesia), Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Jawa Barat Masrura Ram Idjal, dan Iwan Gunawan (Ketua Jaringan Pengusaha Nasional Jawa Barat serta moderator Erwin Kustiman (Redaktur Pelaksana Pikiran Rakyat).
Menarik untuk disimak pernyataan Burhanudin Abdullah yang menggambarkan situasi krisis dimana banyak terdapat pengangguran sebagai akibat perusahaan-perusahaan banyak yang mengurangi tenaga kerja bahkan gulung tikar dan kondisi perusahaan tersebut tentu saja berdampak pada sektor keuangan yang kelihatannya sampai saat ini berjalan baik tetapi tidak sesuai dengan kenyataan mengingat even di luar sangat mempengaruhi perbankan. Serta harga asset yang semakin menurun, baik berupa properti atau asset lainnya. Situasi semakin mengecilnya ekonomi inilah yang dinamakan krisis.
Burhanudin Abdullah, harus ada political capacity untuk selamatkan ekonomi masyarakat dan hentikan pandemi |
Bagi individu menghadapi situasi seperti ini tentu saja harus bisa survive, harus bekerja lebih keras lagi untuk mengembalikan pendapatannya yang sudah mulai berkurang. Bisa dengan cara melakukan usaha kelompok dimana akan memunculkan kreativitas-kreativitas.
Bagi pemerintah pun harus punya kemauan politik (political will) dan menurut Burhanudin, dalam hal ini pemerintah kita sudah banyak berusaha dengan mengeluarkan berbagai aturan, baik perpu, perpres, dan sebagainya. Political will pemerintah untuk menyelesaikan persoalan begitu kuat, begitu besar hasratnya menyelamatkan ekonomi masyarakat dan menghentikan pandemi.
Akan tetapi dia menegaskan persoalannya bukan hanya di political will saja. Itu baru setengah dari persoalan. Tapi juga harus ada political capacity. Harus ada kapasitas politik untuk mengimplementasikannya. Dicontohkannya saat Jepang berhasil meluluhlantakan pangkalan militer Amerika di Pear Harbor saat perang dunia kedua dan juga Vietnam yang berhasil mengusir tentara Amerika, semua itu karena dukungan politik yang sangat kuat.
Tapi menurutnya kalau capacity to implement dan sisi finansial sekarang agak berat, karena kita tidak punya uang. Untuk itu, terpaksa harus pinjam ke masyarakat bahkan melakukan sharing dengan Bank Indonesia sebagainya, Tapi menurutnya Itu jalan keluar yang baik dan menunjukkan persoalan kita ada di situ.
Selain itu, sektor perpajakan juga perlu diperhatikan, karena banyak yang mengatakan akan berkisar pada 8 % dari PDB (produk domestik bruto, nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu Negara pada periode tertentu, PDB adalah salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional). Padahal di tahun sebelumnya yang 11% persen saja dianggap rendah kalau melihat pajak Negara tetangga berkisar di angka 18 %.
Lalu apakah APBN-nya ada duitnya, kalau tidak ada (defisit) berarti kita tidak mampu dan kita harus pinjam.
Kang Burhan juga menyoroti faktor man power capacity. apakah orang-orang yang dipilih ini adalah orang-orang yang ahli di bidangnya, pakar, orang-orang pekerja keras. “Saya gak tahu dalam realitasnya tetapi secara teori ada tiga hal itu yang harus diperhatikan untuk menyelesaikan semua persoalan ini,” pungkasnya.
Mang Nadjib, Orang Sunda harus memperhatikan & memperjuangkan ekonomi Tatar Sunda ke depan |
Sementara itu Ahmad Nadjib Qudratullah, SE (Anggota DPR RI Komisi XI yang membidangi bidang Keuangan, Perencanaan Pembangunan dan Perbankan) berpendapat bahwa krisis atau resesi ini dimulai dari keterlambatan, ketidaksigapan dan ketidakcakapan menangani pandemi Covid-19 pada tahap awal, dimana pemerintah malah berpolemik dengan pemerintah daerah tentang cara pencegahan bahkan Menteri Kesehatan abai dengan menyepelekan pandemi, sehingga sampai kini terjadi lonjakan.
“Ya harusnya kita dapat memprediksikan kapan puncak dan kapan turun. Harusnya pemerintah dapat memprediksikan dari penanganan pandemi masa lalu yang tidak sekali terjadi dan yang sedang berjalan. Bahwa bila kita tidak dapat menangani masalah pandemi secara profesional akan berdampak besar pada situasi sosial, ekonomi dan politik. Kita Tidak dapat melaksanakan Progam Penyelamatan Ekonomi secara baik tanpa terlebih dahulu menuntaskan penanganan pandemi secara cepat, komprehensif dan tepat, “ tegas Nadjib.
Sebagai Wakil Rakyat Komisi XI, Nadjib melihat bahwa kondisi penurunan pertumbuhan ekonomi Triwulan I dan II yang pertumbuhannya negatif cukup berbahaya termasuk bila kita menyatakan Negara dalam resesi pada Triwulan III karena dampak sosial ekonomi politiknya cukup berisiko, maka pemerintah perlu merespon dan bertindak cepat, bijak dan disertai kejujuran termasuk untuk mengajak masyarakat untuk bahu-membahu menangani masalah.
“Kita tidak bisa berbicara Pemulihan Ekonomi bila efektivitas penanganan wabah rendah dan serapan anggaran rendah. Bila krisis ini berkepanjangan saya mengkhawatirkan kebijakan Perpu 01 tentang penanganan Corona dan tentang PUJK yang menjadikan Bank Himbara (Himpunan Bank Negara) sebagai Bank Jangkar ketika krisis melebar, untuk menangani masalah bank-bank lain yang bermasalah secara sistemik, sehingga rentan terhadap terjadinya masalah besar di kelak kemudian hari”, ujarnya.
Sebagai Wakil Rakyat dari Daerah Pemilihan I Jawa Barat, Nadjib pun berharap para stakeholder Kongres Sunda turut bersama-sama memperjuangkan posisi fiskal Jawa Barat di tengah kenyataan posisi tax ratio (rasio pajak) Indonesia yang menurun tajam dari 11% mungkin menjadi 8 % bahkan 6% persen yaitu keadilan fiscal.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) III Jawa Barat adalah DJP nomer 3 tertinggi perolehan pajaknya setelah DJP Papua, Maluku, dan Jakarta Selatan, ini menunjukkan kekuatan nasional ekonomi Jawa Barat besar, tetapi dibandingkan Jatim, transfer daerah dari nasional kita lebih kecil, sedangkan beban pembangunan nasional dari demografi dan persoalan sosial ekonomi kita besar, ini harus disuarakan dengan penuh kekompakan oleh wakil rakyat, pemerintah daerah, dan para tokoh-tokoh asosiasi serta para inohong Tatar Sunda.
“Masyarakat Sunda harus memperhatikan dan memperjuangkan ekonomi Tatar Sunda kedepan termasuk membangun fondasi-fondasi ekonominya ke depan, dan itu memerlukan sebuah kebijakan strategis yang komprehensif yang dikawal dan diimplemntasikan dengan tata kelola baik,” demikian pungkas Nadjib. (Rls / AGP.)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment