Monday, August 24, 2020
Sebagaimana kita ketahui, Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB yang juga Maestro Kertas Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA (Kang Wawan), menggelar Pemeran Seni Rupa Virtual di Hari Kemerdekaan RI dengan bermarkas di rumahnya Jalan Rebana 10 Bandung (Garasi Seni - 10), sebagai penghormatan dan mengenang jasa para pahlawan serta para pemimpin yang telah memperjuangkan dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia juga untuk meneladani semangat juang pahlawan kemerdekaan mengorbankan jiwa dan raganya (lihat tatarjabar.com : Pameran Virtual Buku Seni Jagat Nusantara di Hari Kemerdekaan RI ke-75).
Selain Pameran, Artis Talk dan Workshop Daring, ada juga Seminar Daring. Untuk Seminar Daring I berlangsung hari Jumat (21/8/2020) dengan topik “Membaca Buku – Seni Kajian Semiotika dan Artistika. Pemantiknya Prof. Setiawan Sabana (Kang Wawan) serta Pemateri Dr. Acep Iwan Saidi, S.S., M. Hum (Kang AIS).
Nah, di Seminar Daring II yang berlangsung hari Sabtu (22/8/2020) pematerinya adalah Hikmat Kurnia dan Dra. Ira Adriati, S.Sn., M.Sn. Adalah menarik untuk disimak paparan materi Hikmat Kurnia karena Ketua Umum IKA (Ikatan Alumni) Unpad ini adalah Ketua IKAPI Jakarta dan pendiri sekaligus pemilik Kelompok Agromedia yang sudah lama malang melintang di dunia perbukuan.
Hikmat yang membawakan materi berjudul “BukuSebagai Anak Zaman”, membuka diskusinya dengan mengutip kata-kata tokoh sastra abad ke 20 dari Argentina, Jorje Luis Borges (dalam Fernando Baez, 2013 – pakar perbukuan dan perpustakaan Venezuela), bahwa buku adalah wadah bagi pikiran manusia, “Jika mikroskop dan teleskop adalah perpanjangan penglihatan, telepon adalah perpanjangan suara, atau pedang adalah perpanjangan tangan, maka buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi manusia. Bukulah yang memberi wadah bagi pikiran manusia”.
Buku adalah produk anak zaman, produk kebudayaan sebuah masyarakat
Dalam peralihan revolusioner dari lisan ke tulisan, buku mencoba menatanya sebagai nalar. Buku lebih dari sekedar struktur fisik yang menopang ingatan kolektif atau individu. Buku adalah pelembagaan ingatan bagi permanensi dari berbagai kepingan kunci warisan budaya suatu masyarakat.
Sebagai warisan budaya, buku memiliki kemampuan untuk menggugah rasa afirmasi dan kepemilikan yang bisa dialih-tularkan, memperkuat, atau menstimulus identitas diri sebuah masyarakat dalam satu wilayah.
“Dalam posisi inilah buku adalah produk anak zaman, produk kebudayaan sebuah masyarakat, “ tegas Hikmat.
Sebagai produk anak zaman, kata dia, sejatinya buku merekam peristiwa, ingatan, gagasan, keinginan, bahkan imajinasi dari penulis dan penerbitnya.
Saat sebuah buku terbit perlu dipahami konteks ruang dan waktunya. Buku tak pernah terbit dalam ruang kosong. Ia terbit dalam situasi tertentu.
“Sebagai anak zaman, terbitnya sebuah buku pasti mempunyai tujuan tertentu. Entah untuk tujuan pendidikan, sebagai sarana penyebar ilmu pengetahuan, sebagai alat bercerita tentang sebuah peristiwa, sebagai alat bagi kepentingan tertentu, sebagai komoditas komersial, atau kepentingan lainnya.”
Dengan memahami konteks ruang dan waktu, kata Hikmat, kita bisa mendiskusikan buku dari berbagai sudut pandang. Dalam hal ini Hikmat mencoba menempatkan buku dari berbagai perspektif sejarah dan perspektif seni.
Perspektif Sejarah: Dari Pra Kemerdekaan ke Orde Baru
Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandsche Chool en Volkslectuur), 1908. Pemerintah Hindia Belanda mempunyai tujuan untuk mengimbangi maraknya penerbitan buku di akhir abad ke-19 oleh kalangan Indo-Eropa. Peranakan Tionghoa, dan pribumi.
Balai Pustaka (1917): Siti Noerbaja karya Marah Rusli dan puluhan karya lainnya, banyak menuliskan persoalan adat yang kaku, kebebasan individu yang terkungkung, penindasan hak perempuan, dan kesewenangan kaum tua (adat) terhadap kaum muda.
Saat Indonesia merdeka hingga tahun 1950, Balai Pustaka masih mendominasi dunia perbukuan: ada 128 judul buku yang terbit. Mulai dari penerbit buku swasta: Pustaka Antara dan Pustaka Rakyat (Dian Rakyat) di Jakarta dan Ganaco di Bandung. Berubah setelah adanya Pengakuan Kedaulatan Indonesia lewat Konferensi Meja Bundar. Awalnya pendirian penerbit itu, kata Hikmat, bermotif politik dan idealis, untuk mengambil alih dominasi para penerbit Belanda. Pemerintah Soekarno pun mendirikan Yayasan Lektur yang mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku.
Di Zaman Orba, juga banyak muncul para penerbit yang berbasis dari perusahaan press, seperti Gramedia Pustaka Utama, Grafiti Press, Pustaka Kartini, Penebar Swadaya, dan sebagainya. Juga berdiri penerbit yang berbasis dari lembaga kajian atau perpanjangan dari lembaga induk, seperti Pustaka LP3ES, LP3M, CSIS, YOI, Pustaka Jaya, dsb. Ada buku popular, juga buku serius, pemikiran, dan kajian keilmuan. Bahkan, marak penerbitan buku sekolah. Tahun 80an muncul penerbit buku Islam dengan warna yang berbeda: Mizan dan Gema Insani Press.
“Saat Orba berkuasa, dunia perbukuan banyak mencatat sejarah yang muram. Pelarangan buku dan sensor atas terbitan buku menjadi warna yang dominan.. Buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan beberapa penulis yang dianggap kiri tidak bisa dipasarkan.
"Buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai karya Soegiarso Soerojo dilarang beredar. Acara yang mendiskusikan buku tersebut pun tidak diberikan ijin,” papar Hikmat.
Perspektif Sejarah: Era Reformasi
Muncul buku-buku politik yang bermisikan menata ulang kehidupan politik, ekonomi, dan segala aspek kehidupan, juga muncul buku yang membahas “dunia malam”. Larisnya buku “Jakarta Undercover” adalah fenomena lain dari reformasi. Buku itu seakan menegaskan bahwa kebebasan di negara ini begitu terbuka.
Persoalan buku pelajaran menjadi mencuat. Kebijakan untuk menyerahkan pengadaan buku pelajaran pada mekanisme pasar memunculkan ketidaksehatan dalam pemasaran buku sekolah.
Larisnya buku-buku motivasi, panduan berbisnis, atau pengembangan diri seperti karya-karya terjemahan dari Robert Kiyosaki, David J. Schawart, dan pengarang lokal seperti Tung Desem Waringin,
Larisnya buku fiksi yang mengajak pembaca untuk tidak takut bermimpi. Buku “Laskah Pelangi” karya Andrea Hirata atau “Ayat-ayat Cinta” karya Kang Abik.
Tumbuhnya komunitas perbukuan, baik komunitas pembaca, komunitas literasi, komunitas penulis, atau lainnya. “Forum Lingkar Pena” mampu melahirkan ribuan penulis dengan genre muslim. Dari anggota komunitas ini lahir ratusan judul buku.
Era sosial media ini kita juga mencatat terbitnya buku yang berbasiskan Blog, Twitter, Instagram, Youtube, dan sejenisnya. Radya Dika, Arif Muhammad, Fiersa Besari, Boy Candra, Retno Hening, Gita Savitri, dan lainnya adalah penulis-penulis yang besar di sosial media. Generasi penulis ini sangat memanfaatkan sosial media sebagai basis produksi, marketing, dan promosi.
Menjamurnya sosial media dan platfom penjualan buku daring, lewat marketplace dan sebagainya, muncul juga para penerbit indie dan self-publisher. Apalagi setelah hadirnya teknologi cetak print on demand (POD). Menerbitkan dan menjual buku menjadi mudah. Tidak harus beroplah besar seperti yang dilakukan para penerbit besar, mereka bisa mencetak buku sesuai kebutuhan, walaupun rata-rata buku dalam kategori ini dicetak 500 eksemplar per judul. Bahkan, tidak hanya penerbit indie yang melakukan, penulis pun banyak yang menjual bukunya langsung kepada pembaca
Perspektif Seni
- Seni menulis
- Seni bercerita
- Seni perwajahan isi dan sampul
Era Balai Pustaka
MAX HAVELLAR
SAMPUL BUKU
- Desain sampul
- Diksi judul
- Font
- Element pendukung
- Teknologi cetak
Desain isi Buku
Jadi intinya, “Dengan memahami kondisi saat buku terbit, kita bisa memahami bahwa sebuah buku terbit pasti punya alasan tertentu. Buku terbit punya misi tertentu. Bisa misi komunitas untuk kepentingan besar, atau hanya untuk kepentingan personal. Bisa untuk kepentingan memajukan kebudayaan, atau untuk sekedar memenuhi kebutuhan pasar.
"Untuk profesi-profesi yang bergerak dalam pengolahan buku, perlu memahami tentang kondisi ini. Perlu memahami bahwa buku adalah anak zaman”, demikian pungkas Hikmat. (AGP)***
Hikmat Kurnia, Buku Sebagai Anak Zaman
Posted by
Tatarjabar.com on Monday, August 24, 2020
Sebagaimana kita ketahui, Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB yang juga Maestro Kertas Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA (Kang Wawan), menggelar Pemeran Seni Rupa Virtual di Hari Kemerdekaan RI dengan bermarkas di rumahnya Jalan Rebana 10 Bandung (Garasi Seni - 10), sebagai penghormatan dan mengenang jasa para pahlawan serta para pemimpin yang telah memperjuangkan dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia juga untuk meneladani semangat juang pahlawan kemerdekaan mengorbankan jiwa dan raganya (lihat tatarjabar.com : Pameran Virtual Buku Seni Jagat Nusantara di Hari Kemerdekaan RI ke-75).
Selain Pameran, Artis Talk dan Workshop Daring, ada juga Seminar Daring. Untuk Seminar Daring I berlangsung hari Jumat (21/8/2020) dengan topik “Membaca Buku – Seni Kajian Semiotika dan Artistika. Pemantiknya Prof. Setiawan Sabana (Kang Wawan) serta Pemateri Dr. Acep Iwan Saidi, S.S., M. Hum (Kang AIS).
Nah, di Seminar Daring II yang berlangsung hari Sabtu (22/8/2020) pematerinya adalah Hikmat Kurnia dan Dra. Ira Adriati, S.Sn., M.Sn. Adalah menarik untuk disimak paparan materi Hikmat Kurnia karena Ketua Umum IKA (Ikatan Alumni) Unpad ini adalah Ketua IKAPI Jakarta dan pendiri sekaligus pemilik Kelompok Agromedia yang sudah lama malang melintang di dunia perbukuan.
Hikmat yang membawakan materi berjudul “BukuSebagai Anak Zaman”, membuka diskusinya dengan mengutip kata-kata tokoh sastra abad ke 20 dari Argentina, Jorje Luis Borges (dalam Fernando Baez, 2013 – pakar perbukuan dan perpustakaan Venezuela), bahwa buku adalah wadah bagi pikiran manusia, “Jika mikroskop dan teleskop adalah perpanjangan penglihatan, telepon adalah perpanjangan suara, atau pedang adalah perpanjangan tangan, maka buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi manusia. Bukulah yang memberi wadah bagi pikiran manusia”.
Buku adalah produk anak zaman, produk kebudayaan sebuah masyarakat
Dalam peralihan revolusioner dari lisan ke tulisan, buku mencoba menatanya sebagai nalar. Buku lebih dari sekedar struktur fisik yang menopang ingatan kolektif atau individu. Buku adalah pelembagaan ingatan bagi permanensi dari berbagai kepingan kunci warisan budaya suatu masyarakat.
Sebagai warisan budaya, buku memiliki kemampuan untuk menggugah rasa afirmasi dan kepemilikan yang bisa dialih-tularkan, memperkuat, atau menstimulus identitas diri sebuah masyarakat dalam satu wilayah.
“Dalam posisi inilah buku adalah produk anak zaman, produk kebudayaan sebuah masyarakat, “ tegas Hikmat.
Sebagai produk anak zaman, kata dia, sejatinya buku merekam peristiwa, ingatan, gagasan, keinginan, bahkan imajinasi dari penulis dan penerbitnya.
Saat sebuah buku terbit perlu dipahami konteks ruang dan waktunya. Buku tak pernah terbit dalam ruang kosong. Ia terbit dalam situasi tertentu.
“Sebagai anak zaman, terbitnya sebuah buku pasti mempunyai tujuan tertentu. Entah untuk tujuan pendidikan, sebagai sarana penyebar ilmu pengetahuan, sebagai alat bercerita tentang sebuah peristiwa, sebagai alat bagi kepentingan tertentu, sebagai komoditas komersial, atau kepentingan lainnya.”
Dengan memahami konteks ruang dan waktu, kata Hikmat, kita bisa mendiskusikan buku dari berbagai sudut pandang. Dalam hal ini Hikmat mencoba menempatkan buku dari berbagai perspektif sejarah dan perspektif seni.
Perspektif Sejarah: Dari Pra Kemerdekaan ke Orde Baru
Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandsche Chool en Volkslectuur), 1908. Pemerintah Hindia Belanda mempunyai tujuan untuk mengimbangi maraknya penerbitan buku di akhir abad ke-19 oleh kalangan Indo-Eropa. Peranakan Tionghoa, dan pribumi.
Balai Pustaka (1917): Siti Noerbaja karya Marah Rusli dan puluhan karya lainnya, banyak menuliskan persoalan adat yang kaku, kebebasan individu yang terkungkung, penindasan hak perempuan, dan kesewenangan kaum tua (adat) terhadap kaum muda.
Saat Indonesia merdeka hingga tahun 1950, Balai Pustaka masih mendominasi dunia perbukuan: ada 128 judul buku yang terbit. Mulai dari penerbit buku swasta: Pustaka Antara dan Pustaka Rakyat (Dian Rakyat) di Jakarta dan Ganaco di Bandung. Berubah setelah adanya Pengakuan Kedaulatan Indonesia lewat Konferensi Meja Bundar. Awalnya pendirian penerbit itu, kata Hikmat, bermotif politik dan idealis, untuk mengambil alih dominasi para penerbit Belanda. Pemerintah Soekarno pun mendirikan Yayasan Lektur yang mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku.
Di Zaman Orba, juga banyak muncul para penerbit yang berbasis dari perusahaan press, seperti Gramedia Pustaka Utama, Grafiti Press, Pustaka Kartini, Penebar Swadaya, dan sebagainya. Juga berdiri penerbit yang berbasis dari lembaga kajian atau perpanjangan dari lembaga induk, seperti Pustaka LP3ES, LP3M, CSIS, YOI, Pustaka Jaya, dsb. Ada buku popular, juga buku serius, pemikiran, dan kajian keilmuan. Bahkan, marak penerbitan buku sekolah. Tahun 80an muncul penerbit buku Islam dengan warna yang berbeda: Mizan dan Gema Insani Press.
“Saat Orba berkuasa, dunia perbukuan banyak mencatat sejarah yang muram. Pelarangan buku dan sensor atas terbitan buku menjadi warna yang dominan.. Buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan beberapa penulis yang dianggap kiri tidak bisa dipasarkan.
"Buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai karya Soegiarso Soerojo dilarang beredar. Acara yang mendiskusikan buku tersebut pun tidak diberikan ijin,” papar Hikmat.
Perspektif Sejarah: Era Reformasi
Muncul buku-buku politik yang bermisikan menata ulang kehidupan politik, ekonomi, dan segala aspek kehidupan, juga muncul buku yang membahas “dunia malam”. Larisnya buku “Jakarta Undercover” adalah fenomena lain dari reformasi. Buku itu seakan menegaskan bahwa kebebasan di negara ini begitu terbuka.
Persoalan buku pelajaran menjadi mencuat. Kebijakan untuk menyerahkan pengadaan buku pelajaran pada mekanisme pasar memunculkan ketidaksehatan dalam pemasaran buku sekolah.
Larisnya buku-buku motivasi, panduan berbisnis, atau pengembangan diri seperti karya-karya terjemahan dari Robert Kiyosaki, David J. Schawart, dan pengarang lokal seperti Tung Desem Waringin,
Larisnya buku fiksi yang mengajak pembaca untuk tidak takut bermimpi. Buku “Laskah Pelangi” karya Andrea Hirata atau “Ayat-ayat Cinta” karya Kang Abik.
Tumbuhnya komunitas perbukuan, baik komunitas pembaca, komunitas literasi, komunitas penulis, atau lainnya. “Forum Lingkar Pena” mampu melahirkan ribuan penulis dengan genre muslim. Dari anggota komunitas ini lahir ratusan judul buku.
Era sosial media ini kita juga mencatat terbitnya buku yang berbasiskan Blog, Twitter, Instagram, Youtube, dan sejenisnya. Radya Dika, Arif Muhammad, Fiersa Besari, Boy Candra, Retno Hening, Gita Savitri, dan lainnya adalah penulis-penulis yang besar di sosial media. Generasi penulis ini sangat memanfaatkan sosial media sebagai basis produksi, marketing, dan promosi.
Menjamurnya sosial media dan platfom penjualan buku daring, lewat marketplace dan sebagainya, muncul juga para penerbit indie dan self-publisher. Apalagi setelah hadirnya teknologi cetak print on demand (POD). Menerbitkan dan menjual buku menjadi mudah. Tidak harus beroplah besar seperti yang dilakukan para penerbit besar, mereka bisa mencetak buku sesuai kebutuhan, walaupun rata-rata buku dalam kategori ini dicetak 500 eksemplar per judul. Bahkan, tidak hanya penerbit indie yang melakukan, penulis pun banyak yang menjual bukunya langsung kepada pembaca
Perspektif Seni
- Seni menulis
- Seni bercerita
- Seni perwajahan isi dan sampul
Era Balai Pustaka
MAX HAVELLAR
SAMPUL BUKU
- Desain sampul
- Diksi judul
- Font
- Element pendukung
- Teknologi cetak
Desain isi Buku
Jadi intinya, “Dengan memahami kondisi saat buku terbit, kita bisa memahami bahwa sebuah buku terbit pasti punya alasan tertentu. Buku terbit punya misi tertentu. Bisa misi komunitas untuk kepentingan besar, atau hanya untuk kepentingan personal. Bisa untuk kepentingan memajukan kebudayaan, atau untuk sekedar memenuhi kebutuhan pasar.
"Untuk profesi-profesi yang bergerak dalam pengolahan buku, perlu memahami tentang kondisi ini. Perlu memahami bahwa buku adalah anak zaman”, demikian pungkas Hikmat. (AGP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment