Tuesday, July 7, 2020
Karya Prof. Setiawan Sabana di masa pandemi C-19 |
Wabah Covid-19 semakin hari semakin unjuk gigi dan semakin banyak orang yang tertular dan tak tahu entah kapan berakhirnya, bahkan menuju gelombang ke-2 di seluruh Indonesia. Hal ini tentu membuat orang khawatir, waswas dan riskan, menegangkan, apa lagi bagi manula (manusia lanjut usia) yang rawan tertular virus yang belum ada vaksin atau obatnya ini.
Tapi bagi Prof. Setiawan Sabana semua itu tak jadi halangan untuk tetap aktif dan kreatif, walaupun dalam keadaaan terkurung tak bisa pergi kemana-mana karena pemerintah menerapkan lockdown (warga dilarang masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat) atau social distancing (mengurangi ativitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain) untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, tapi Guru Besar Seni Rupa ITB ini tetap aktif melakukan kegiatan yang ada tantangannnya dan menyegarkan pikiran dan badan, menyibukan diri dengan hal yang positif, intinya agar tidak stress.
Hampir tiap minggu Kang Wawan (sapaan akrabnya) menerima undangan untuk jadi “Pembicara” di webinar, dan dia tak bisa menolak apalagi diundang teman dekat seperti di webinar K-PAS Bandung yang merupakan Komunintas Peduli Anak Spesial (difabel), dimana Kang Wawan disana sebagai Penasehat.
Beberapa hari yang lalu (30/6/2020), mantan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini juga bersama dua pembicara lainnya, Prof. Dr. Inajati Adrisijantiar (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM) dan Drs. Indung Panca Putra, M.Hum (Ka. Subbag TU BPCB DIY) jadi narasumber di diskusi daring “Tantangan Pelestarian Cagar Budaya Masa Kini dan Yang Akan Datang”, yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya D.I. Yogyakarta, memperingati 107 Tahun Hari Purbakala 14 Juni (1913-2020). Kang Wawan dalam kesempatan itu membedah “Cagar Seni Rupa Tantangannya Hari Ini dan Besok”.
Prof. Dr. Setiawan Sabana tetap aktif dan kreatif di masa pandemi C-19 |
Dia buka kartu, sebenarnya Cagar Budaya itu dekat dengan Arkeologi sedangkan dia sendiri dari Seni Rupa, jadi merasa belum akrab. Tapi itulah cerdasnya Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA, dia hanya mengganti “Cagar Budaya” dengan “ Cagar Seni Rupa” dalam judul dan bahasannya, jadi itu tadi “Cagar Seni Rupa Tantangannya Hari Ini dan Besok” dan kebetulan panitia pun berharap Kang Wawan memberikan topik berbeda.
Yang dibahas Kang Wawan, seni rupa zaman silam dari zaman megalitik, tradisi, modern, hingga kontemporer dan periode kontemporer ini dikaitkan dengan seni rupa masa depan termasuk yang lahir di masa pandemi C-19.
Misalnya zaman megalitik, ketika Kang Wawan ke Nias, di Pasemah melihat patung batu di lahan terbuka yang sebelumnya diduga orang berupa berhala, padahal setelah diteliti adalah konsep ekologi nenek moyang kita yang canggih.
Seni Rupa Tradisi, dibahas relief-relief candi Borubudur dan Prambanan, dari sana ke Seni Rupa Modern yang ada di Bandung, Yogya, dan Bali yang merupakan hasil karya seniman-seniman terkenal berkelas dunia seperti Barli Sasmitawinata, Popo Iskandar, Sunaryo hingga yang termuda Tisna Sanjaya (Bandung), Affandi termasuk generasi mudanya Heridono, Nasirun (Yogya). Juga contoh-contoh karya di masa pandemi C-19 karya Kang Wawan diantaranya Manusia Isolasi, Manusia Terkunci (Lockdowned), Kembang-Kembang Kertas Mewangi yang merupakan karya kolaborasi dengan sang istri Lilis Nuryati. Terakhir ada juga contoh karya dari Diani, seniwati Indonesia yang bermukim di Sydney Australia berupa video. “Jadi yang saya bahas mencakup dari zaman megalit hingga periode new normal. Fase cagar seni rupa di Indonesia itu seperti apa, “ demikian terang Kang Wawan.
Selain itu, Kang Wawan juga jadi pembicara di Webinar “Kreativitas dan Eksplorasi Desain dan Warna Pada Batik”, bersama pembicara lainnya seperti Sendy Dede Yusuf (Ketua Umum Yayasan Batik Jawa Barat, Keynote Speaker), Dra. S. Ken Atik, M. Ds (Yayasan Batik Jawa Barat, Kriya Tekstil dan Fashion Universitas Muhammadyah Bandung), Benny Adrianto (Perupa kain dan kriya Indonesia, Ketua Yayasan Karya Adipurna Indonesia) serta moderator M. Pribadi S.Pd, M.Pd (APPBI, Batik Mahadewi – Solo). Pada acara yang diselenggarakan Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), Kamis (2/7/2020), Kang Wawan membahas lebih luas lagi bagaimana sebetulnya kreativitas harus lahir dari sebuah iklim masyarakat, terkadang dari keluarga misalnya seorang anak/individu apakah kreativitasnya itu karena warisan keluarga/bakat, atau karena pengaruh lingkungan besar yang banyak coraknya.
“Makanya saya berbicara tentang Cirebon sebagai masyarakat kreatif, segala rupa etnik & karyanya sangat beragam, ada topeng, tari, wayang cepak, tarling, batik, dsb. Saya melihat Cirebon sebagai kota atau masyarakat kreatif dan semua itu dengan sendirinya mempengaruhi komunitas-komunitas supaya kreatif, terpengaruh oleh lingkungannya hingga ke kelompok kecil juga akhirnya ke individu. Jadi seorang Pak Komar (Pengusaha Batik Komar) memang ada pengaruh dari keluarga, selain itu juga ada pengaruh dari kota Cirebon yang heterogen, “demikian pungkas Kang Wawan. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
July 07, 2020
CB Blogger
IndonesiaProf. Dr. Setiawan Sabana, MFA : Semakin Aktif dan Kreatif di Pandemi Covid
Posted by
Tatarjabar.com on Tuesday, July 7, 2020
Karya Prof. Setiawan Sabana di masa pandemi C-19 |
Wabah Covid-19 semakin hari semakin unjuk gigi dan semakin banyak orang yang tertular dan tak tahu entah kapan berakhirnya, bahkan menuju gelombang ke-2 di seluruh Indonesia. Hal ini tentu membuat orang khawatir, waswas dan riskan, menegangkan, apa lagi bagi manula (manusia lanjut usia) yang rawan tertular virus yang belum ada vaksin atau obatnya ini.
Tapi bagi Prof. Setiawan Sabana semua itu tak jadi halangan untuk tetap aktif dan kreatif, walaupun dalam keadaaan terkurung tak bisa pergi kemana-mana karena pemerintah menerapkan lockdown (warga dilarang masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat) atau social distancing (mengurangi ativitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain) untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, tapi Guru Besar Seni Rupa ITB ini tetap aktif melakukan kegiatan yang ada tantangannnya dan menyegarkan pikiran dan badan, menyibukan diri dengan hal yang positif, intinya agar tidak stress.
Hampir tiap minggu Kang Wawan (sapaan akrabnya) menerima undangan untuk jadi “Pembicara” di webinar, dan dia tak bisa menolak apalagi diundang teman dekat seperti di webinar K-PAS Bandung yang merupakan Komunintas Peduli Anak Spesial (difabel), dimana Kang Wawan disana sebagai Penasehat.
Beberapa hari yang lalu (30/6/2020), mantan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini juga bersama dua pembicara lainnya, Prof. Dr. Inajati Adrisijantiar (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM) dan Drs. Indung Panca Putra, M.Hum (Ka. Subbag TU BPCB DIY) jadi narasumber di diskusi daring “Tantangan Pelestarian Cagar Budaya Masa Kini dan Yang Akan Datang”, yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya D.I. Yogyakarta, memperingati 107 Tahun Hari Purbakala 14 Juni (1913-2020). Kang Wawan dalam kesempatan itu membedah “Cagar Seni Rupa Tantangannya Hari Ini dan Besok”.
Prof. Dr. Setiawan Sabana tetap aktif dan kreatif di masa pandemi C-19 |
Dia buka kartu, sebenarnya Cagar Budaya itu dekat dengan Arkeologi sedangkan dia sendiri dari Seni Rupa, jadi merasa belum akrab. Tapi itulah cerdasnya Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA, dia hanya mengganti “Cagar Budaya” dengan “ Cagar Seni Rupa” dalam judul dan bahasannya, jadi itu tadi “Cagar Seni Rupa Tantangannya Hari Ini dan Besok” dan kebetulan panitia pun berharap Kang Wawan memberikan topik berbeda.
Yang dibahas Kang Wawan, seni rupa zaman silam dari zaman megalitik, tradisi, modern, hingga kontemporer dan periode kontemporer ini dikaitkan dengan seni rupa masa depan termasuk yang lahir di masa pandemi C-19.
Misalnya zaman megalitik, ketika Kang Wawan ke Nias, di Pasemah melihat patung batu di lahan terbuka yang sebelumnya diduga orang berupa berhala, padahal setelah diteliti adalah konsep ekologi nenek moyang kita yang canggih.
Seni Rupa Tradisi, dibahas relief-relief candi Borubudur dan Prambanan, dari sana ke Seni Rupa Modern yang ada di Bandung, Yogya, dan Bali yang merupakan hasil karya seniman-seniman terkenal berkelas dunia seperti Barli Sasmitawinata, Popo Iskandar, Sunaryo hingga yang termuda Tisna Sanjaya (Bandung), Affandi termasuk generasi mudanya Heridono, Nasirun (Yogya). Juga contoh-contoh karya di masa pandemi C-19 karya Kang Wawan diantaranya Manusia Isolasi, Manusia Terkunci (Lockdowned), Kembang-Kembang Kertas Mewangi yang merupakan karya kolaborasi dengan sang istri Lilis Nuryati. Terakhir ada juga contoh karya dari Diani, seniwati Indonesia yang bermukim di Sydney Australia berupa video. “Jadi yang saya bahas mencakup dari zaman megalit hingga periode new normal. Fase cagar seni rupa di Indonesia itu seperti apa, “ demikian terang Kang Wawan.
Selain itu, Kang Wawan juga jadi pembicara di Webinar “Kreativitas dan Eksplorasi Desain dan Warna Pada Batik”, bersama pembicara lainnya seperti Sendy Dede Yusuf (Ketua Umum Yayasan Batik Jawa Barat, Keynote Speaker), Dra. S. Ken Atik, M. Ds (Yayasan Batik Jawa Barat, Kriya Tekstil dan Fashion Universitas Muhammadyah Bandung), Benny Adrianto (Perupa kain dan kriya Indonesia, Ketua Yayasan Karya Adipurna Indonesia) serta moderator M. Pribadi S.Pd, M.Pd (APPBI, Batik Mahadewi – Solo). Pada acara yang diselenggarakan Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), Kamis (2/7/2020), Kang Wawan membahas lebih luas lagi bagaimana sebetulnya kreativitas harus lahir dari sebuah iklim masyarakat, terkadang dari keluarga misalnya seorang anak/individu apakah kreativitasnya itu karena warisan keluarga/bakat, atau karena pengaruh lingkungan besar yang banyak coraknya.
“Makanya saya berbicara tentang Cirebon sebagai masyarakat kreatif, segala rupa etnik & karyanya sangat beragam, ada topeng, tari, wayang cepak, tarling, batik, dsb. Saya melihat Cirebon sebagai kota atau masyarakat kreatif dan semua itu dengan sendirinya mempengaruhi komunitas-komunitas supaya kreatif, terpengaruh oleh lingkungannya hingga ke kelompok kecil juga akhirnya ke individu. Jadi seorang Pak Komar (Pengusaha Batik Komar) memang ada pengaruh dari keluarga, selain itu juga ada pengaruh dari kota Cirebon yang heterogen, “demikian pungkas Kang Wawan. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment