Monday, July 27, 2020
Jadi Host di Sawalamaya Pra Kongres Sunda |
Kehadiran host perempuan berbaju dan berjilbab kayas (pink) di acara Sawalamaya itu sungguh menjadi pemanis acara. Usai membuka acara dan membacakan tata tertib, dengan cekatan dia memanggil dan mempersilakan para jenderal, baik yang hadir di dalam ruangan, maupun yang ada di layar komputer untuk berbicara mengungkapkan pendapatnya.
Ya, saat itu dia sedang membawakan acara Sawalamaya (webinar via zoom meeting) Pra Kongres Sunda, Revitalisasi Pelaksanaan Tujuan Bernegara - “Mendorong Masyarakat Sunda Menatap Jauh ke Depan Dalam Menghadapi Perang Modern” yang berlangsung di Aula Pikiran Rakyat, Jalan Asia-Afrika 77 Bandung, Kamis (16/7/2020).
Ada 5 (lima) jenderal Sunda yang jadi Narasumber saat itu, Jenderal TNI (Purn.) Budiman (hadir di aula PR), Laksamana TNI (Purn.) Dr. Ade Supandi, M.A.P., Komjen Pol (Purn.) Drs. Nanan Soekarna (hadir di Aula PR), Komjen Pol (Purn.) Adang Daradjatun dan Letnan Jenderal TNI (Purn.) Djaja Suparman. Sedangkan yang jadi Penanggap adalah: Prof. Dr. Karim suryadi, Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA, dan Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, juga Moderator Noe Firman (Pemred Pikiran Rakyat) dan Dr. Yudi Latif sebagai Pemantik.
Acara Sawalamaya pra Kongres Sunda itu sukses dengan kesimpulan: Bahwa etnis Sunda sebagai bagian dari nasional dan global tidak bisa menghindari Perang Hybrid (non militer) ini, walau tidak merasa tapi dampaknya sudah mulai terasa. Untuk menghadapinya tiada jalan lain harus memperkuat ketahanan budaya, harus ada persatuan dan kesatuan di seluruh elemen bangsa termasuk elemen kasundaan, perkuat identitas nasional.
Orang Sunda juga harus sadar dan bangga dengan potensinya yang hebat, tapi juga harus mengoreksi kakurangannya supaya bisa meraih masa depannya yang cerah untuk lemah caina (tanah airnya), serta sejatinya memperkuat kasundaan, itu artinya memperkuat NKRI.
Dan untuk selanjutnya akan ada Webinar Adumanis Sunda-Islam, Webinar Wanoja Sunda, Webinar Agraria, Tataruang dan Lingkungan Hidup serta Pertanian, Nanti juga ada seri-seri webinar Sumberdaya Unggul Sunda, jadi ahli-ahli pertanian, pendidikan, kebudayaan, dsb, akan berbicara di Kongres Sunda Virtual. Begitu kata perempuan pembawa acara tersebut, mengingatkan, sebelum menutup acara.
Iya tapi siapa perempuan yang menjadi host tadi?
Civitas Akademika Unpad, alumni Daya Mahasiswa Sunda (KADAMAS), Caraka Sundanologi, wartawan, penulis, politikus, anggota KPU Kota Bandung, seniman, budayawan Sunda, pasti tahu sama perempuan satu ini, ya benar, dialah Dr. Evie Ariadne, Shinta Dewi, M.Pd,.
Evie Ariadne Konsisten di Kasundaan |
Evie Ariadne taun 2002 sudah dikenal di lingkungan kampus karena jadi Dosen di Fikom Unpad. Selain itu, Evie juga pernah jadi Anggota KPU Kota Bandung periode 2008-2013 dan pernah masuk 14 besar Calon Anggota KPU RI periode 2012-2017. Evie juga jadi anggota Damas entragan/angkatan Dewi Sinta (1986) dan sekarang jadi Pengurus Bidang Komunikasi & Publikasi Korps Alumni Damas (Kadamas), juga pernah jadi pengurus Di ICMI Orwil Jabar, di dunia kewartawanan Evie pernah bergaung dengan Galamedia, penulis di Majalah Sunda Mangle,Kujang, Galura juga PR serta sering mengisi acara “Sisindiran” di Caraka Sundanologi.
Tapi dari sebelum pandemi Covid-19, Evie memang jarang kelihatan aktif di organisasi, begitu pun tulisan-tulisannya di media massa, atau kegiatan di luar lainnya, karena dari tahun 2013 sampai 2020 Evie asik mengajar (ngadosenan), membimbing mahasiswanya, melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat.
Asik berkutat dengan kegiatan di kampus, Evie memang lagi ngejar target untuk jadi “Guru Besar”. Maklum saat ini baru jadi Lektor Kepala (jabatan fungsional dosen yang memiliki keistimewaan, seperti berhak menjadi Promotor mahasiswa S3), jadi untuk jadi guru besar (profesor) poinnya masih jauh. “Saya masih harus nulis jurnal internasional, scopus (pangkalan data pustaka mengandung abstrak dan sistiran artikel jurnal akademik) masih belum terpenuhi. Jadi saya harus benar-benar bekerja keras dan fokus. Jadi aktivitas saya sekarang nulis artikel dan penelitian membuat karya-karya ilmiah karena disitulah ranah sana”, tegas Evie ketika ditemui usai membawakan acara.
Pidato Ilmiah di Ulang Tahun Damas |
Tapi walau begitu, kalau ada yang memanggilnya terutama menyangkut kegiatan kasundaan dia tak bisa menolaknya. Maka ketika dia diajak Andri Perkasa Kantaprawira (Panitia Pengarah Kongres Sunda) untuk menjadi Pembawa Acara di Sawalamaya, dia tinggalkan kegiatan kampusnya sejenak. Evie ingin balance, seimbang jiwanya, Evie merasa berharga kalau ikut andil di kegiatan kasundaan.
“Ya itu panggilan jiwa kasundaan saya, walaupun sebenarnya mengganggu fokus saya di kampus, tapi saya kan orang Sunda pituin (asli) dan kebetulan dipercaya untuk ikut memajukan kasundaan, kalau tidak sama kita, sama siapa lagi? Lagi pula kata Evie, jadi host di Sawalamaya adalah salah satu bentuk pengabdian pada masyarakat, “ katanya serius.
Evie mengaku sok teu tega (merasa tidak tega) kalau diajak berjuang oleh teman-temannya dari komunitas kasundaan. Bagaimana tidak, dari awal kuliah Evie memang aktivis di kasundaan, dia aktif di Caraka Sundanologi (asuhan Adang S. - Alm), juga di Daya Mahasiswa Sunda (Damas), belum menulis di majalah Mangle, Kujang, Galura, jarang sekali ada mahasiswi yang mau atau mampu nulis di media berbahasa Sunda seperti Evie.
Semua itu dia jadikan laboratorium belajar. Oleh karena itu dia mengaku sangat sedih dan merasa punya hutang budi ketika teringat guru-guru menulisnya, para budayawan Sunda seperti Adang S, Aam Amilia, Abdullah Mustafa, Usep Romli Hamid Martha (Almarhum) dan guru khususnya Rustandi Kartakusumah (Alm). “Saya teh banyak berhutang ke Kang Adang S, Ceu Aam, Kang Abdullah Mustafa sareng Kang Usep Romli yang belum lama ini meninggal, ya Alloh benar-benar sakit hati ini dan sedih ditinggalkan karena beliau-beliaulah yang ngajar saya nulis, tiap Jumat saya kursus ngarang bahasa Sunda di Caraka Sundanologi di Gedung Merdeka, saya juga berguru khusus ke Kang Rustandi Kartakusumah, dari merekalah saya mengenal Sastra Sunda. Walau jauh dari bidang ilmu saya (Evie S1 di Jurusan Hubungan Internasional Fisip Unpad, S2 di IKIP dan S3 di Fikom Unpad), bahkan teman-teman saya mencibir, naon (kenapa) Si Efi teh aneh di (dosen) Fikom tapi susundaan (lebih aktif di kasundaan).Ya biar saja, saya memang suka dan itu tanggung jawab saya sebagai orang Sunda, maka hingga sekarang pun saya komitmen aktif di organisasi kasundaan “, katanya pasti.
Bersama para Jenderal dan kaum intelektual Sunda |
Selain itu, aktif di organisasi kasundaan baginya adalah “penyeimbang” dari aktivitas akademiknya yang terkadang melelahkan, apalagi di masa pandemi Covid -19 harus bekerja dari rumah (WFH – Work From Home) dari bulan pertengahan Maret sampai sekarang, kegiatan di kampus dihentikan bahkan hingga semester depan pun seluruh mahasiswa Unpad diperkirakan masih harus belajar di rumah dan yang namanya WFH itu bukannya enak tapi malah tambah banyak pekerjaan.
Apalagi yang namanya ngajar semuanya harus pakai teknologi digital, jarak jauh, lewat semacam webinar zoom, lebih melelahkan, mata harus melototin laptop berjam jam, belum nyeri cangkeng (sakit pinggang). “Beda loh berinteraksi di zoom dengan tatap muka seperti ini. Benar dalam teori, komunikasi interpersonal yang langsung itu, face to face, itu jauh lebih hangat daripada lewat media laptop dan apa coba jawaban para mahasiswa ketika saya tanya apa yang kalian rindukan di masa pandemi ini, mereka banyak yang merindukan bau keringat teman-temannya, bahkan ada yang bilang … Bu aku ingin ngambeuan (mencium) bau mulut teman-teman habis main bola, mulutnya bau seblak. Jadi sesuatu yang tadinya dibenci sekarang dirindukan dan saya sebagai dosennya juga sama saja jenuhnya. Saya ngajar pake zoom 20-30 mahasiswa, satu persatu harus dilihat lewat video apalagi pake goggle meet mah kita tidak bisa lihat video/visualnya hanya layar saja. Sangat berbeda ketika ngajar di depan kelas, kita bisa lihat nonverbal nya, mereka ada yang nunundutan (ngantuk), heuay (menguap) ada juga yang unggut-unggutan (manggut-manggut) semangat, serius mendengarkan dsb, bagi saya semua itu melelahkan tapi gimana lagi ini fase yang harus kita alami bersama, mudah-mudahan saja di masa pandemi Covid -19 ini saya bisa menghasilkan sesuatu lah, entah buku atau apa tapi ada sesuatu”, harapnya.
Posisi Sunda Selama Ini Sangat Berceceran Tidak Tersinergikan
Sisi lain kesenangan Evie adalah diajak diskusi, apalagi diskusi serius tentang Revitalisasi Pelaksanaan Tujuan Bernegara, apalagi menyangkut Sunda adrenalinnya tambah memuncak, karena sebagai peneliti ilmu sosial politik, Evie tahu betul posisi Sunda selama ini sangat berceceran, tidak ada akumulasi, tidak tersinergikan, yang ada malah pada parasea (ribut terus, tidak bersatu). Untuk itu sebagai orang yang paham pada persoalan, Evie berusaha ikut terus bergerak baik secara teoritis atau pada tataran praktis.
Makanya dia optimis Kongres Sunda akan jadi digelar sebab didukung para Jenderal. Dan tentang salah satu agenda yang akan diajukan dalam Kongres Sunda yaitu mengganti nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Tatar Sunda, Pasundan, atau Sunda, kata Evie sebenarnya itu hal yang mudah, tinggal ngobrol dengan Depdagri terus dikomunikasikan dengan DPR, lalu buat SK nya.
Tapi yang susah itu menggalang dukungan. Untuk itulah para Jenderal dan para inohong Sunda dikumpulkan untuk duduk bersama membahas semua ini. “Nah ketika ada gejed /mandeg/ halangan di Depdagri, di Senayan kita sudah punya pasukan, banyak dukungan. Sekarang yang penting kita harus bersatu dulu, satu pemikiran, sesuai apa yang dikatakan Kang Ganjar Kurnia bahwa nama Provinsi Jawa Barat itu sudah layak diganti dan tentu saja harus ada alasan akademis yang dipahami semua orang jangan sampai nanti kita dicap primordialis atau rasialis karena sebagaimana yang dikatakan Kang Yudi Latif, bicara Sunda itu berbicara keterkaitan emosi antara seseorang dengan lemah caina. Jadi orang Sunda jangan malu mengaku Sunda tapi harus bangga dengan kasundaanana, bukankah suku-suku itu adalah penyokong tegaknya rumah besar yang bernama Indonesia, “ papar Evie berapi-api.
Makanya kata Evie, suku (etnik) Sunda harus banyak kakinya, kalau kakinya kurang menopang kasundaanana akan pincang dan akan terus terpincang-pincang. “Jadi kalau diibaratkan Indonesia rumah besar harus banyak kaki yang menopangnya dan kalau suku Sunda ada 50 juta jiwa dan semuanya menyokong Indonesia pasti Negara ini akan kokoh tegak berdiri. Jadilah Sunda mulya Nusantara jaya, “ tegas Evie.
Tapi kata Evie, semua itu adalah perbincangan diantara kita (para kaum intelektual, inohong Sunda) yang terdengar membosankan karena dibicarakan berulang-ulang. Sekarang tinggal bagaimana mengkomunikasikan ide-ide besar itu kepada orang lain, terutama kepada sakumna orang Sunda, mereka semua harus paham dan ikut mendukung jangan sampai mencibir karena tidak mengerti persoalan.
“Maka dari itulah sebelum Kongres Sunda berlangsung, panitia sengaja menggelar dulu Sawalamaya pra Kongres Sunda 5-6 kali ditambah beberapa kali sebelum pandemi. Inilah salah satu bentuk sosialisasi atau salah satu komunikasi kita ke masyarakat awam bahwa yang namanya Sunda itu sudah saatnya disatukan tapi bukan disatukan diberi duit oleh Caleg Sunda seperti pada pemilu. Dan ketika sudah jadi Provinsi Tatar Sunda (bukan Jawa Barat lagi), semoga kata Sunda di sini jadi pemersatu, jadi kebanggaan bagi orang Sunda, jadi penyemangat untuk memajukan Ki Sunda dan kejayaan Nusantara“, pungkasnya. (Asep GP.)***
Tatarjabar.com
July 27, 2020
CB Blogger
IndonesiaEvie Ariadne Shinta Dewi : Tetap Pengkuh, Konsisten di Kasundaan
Posted by
Tatarjabar.com on Monday, July 27, 2020
Jadi Host di Sawalamaya Pra Kongres Sunda |
Kehadiran host perempuan berbaju dan berjilbab kayas (pink) di acara Sawalamaya itu sungguh menjadi pemanis acara. Usai membuka acara dan membacakan tata tertib, dengan cekatan dia memanggil dan mempersilakan para jenderal, baik yang hadir di dalam ruangan, maupun yang ada di layar komputer untuk berbicara mengungkapkan pendapatnya.
Ya, saat itu dia sedang membawakan acara Sawalamaya (webinar via zoom meeting) Pra Kongres Sunda, Revitalisasi Pelaksanaan Tujuan Bernegara - “Mendorong Masyarakat Sunda Menatap Jauh ke Depan Dalam Menghadapi Perang Modern” yang berlangsung di Aula Pikiran Rakyat, Jalan Asia-Afrika 77 Bandung, Kamis (16/7/2020).
Ada 5 (lima) jenderal Sunda yang jadi Narasumber saat itu, Jenderal TNI (Purn.) Budiman (hadir di aula PR), Laksamana TNI (Purn.) Dr. Ade Supandi, M.A.P., Komjen Pol (Purn.) Drs. Nanan Soekarna (hadir di Aula PR), Komjen Pol (Purn.) Adang Daradjatun dan Letnan Jenderal TNI (Purn.) Djaja Suparman. Sedangkan yang jadi Penanggap adalah: Prof. Dr. Karim suryadi, Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA, dan Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, juga Moderator Noe Firman (Pemred Pikiran Rakyat) dan Dr. Yudi Latif sebagai Pemantik.
Acara Sawalamaya pra Kongres Sunda itu sukses dengan kesimpulan: Bahwa etnis Sunda sebagai bagian dari nasional dan global tidak bisa menghindari Perang Hybrid (non militer) ini, walau tidak merasa tapi dampaknya sudah mulai terasa. Untuk menghadapinya tiada jalan lain harus memperkuat ketahanan budaya, harus ada persatuan dan kesatuan di seluruh elemen bangsa termasuk elemen kasundaan, perkuat identitas nasional.
Orang Sunda juga harus sadar dan bangga dengan potensinya yang hebat, tapi juga harus mengoreksi kakurangannya supaya bisa meraih masa depannya yang cerah untuk lemah caina (tanah airnya), serta sejatinya memperkuat kasundaan, itu artinya memperkuat NKRI.
Dan untuk selanjutnya akan ada Webinar Adumanis Sunda-Islam, Webinar Wanoja Sunda, Webinar Agraria, Tataruang dan Lingkungan Hidup serta Pertanian, Nanti juga ada seri-seri webinar Sumberdaya Unggul Sunda, jadi ahli-ahli pertanian, pendidikan, kebudayaan, dsb, akan berbicara di Kongres Sunda Virtual. Begitu kata perempuan pembawa acara tersebut, mengingatkan, sebelum menutup acara.
Iya tapi siapa perempuan yang menjadi host tadi?
Civitas Akademika Unpad, alumni Daya Mahasiswa Sunda (KADAMAS), Caraka Sundanologi, wartawan, penulis, politikus, anggota KPU Kota Bandung, seniman, budayawan Sunda, pasti tahu sama perempuan satu ini, ya benar, dialah Dr. Evie Ariadne, Shinta Dewi, M.Pd,.
Evie Ariadne Konsisten di Kasundaan |
Evie Ariadne taun 2002 sudah dikenal di lingkungan kampus karena jadi Dosen di Fikom Unpad. Selain itu, Evie juga pernah jadi Anggota KPU Kota Bandung periode 2008-2013 dan pernah masuk 14 besar Calon Anggota KPU RI periode 2012-2017. Evie juga jadi anggota Damas entragan/angkatan Dewi Sinta (1986) dan sekarang jadi Pengurus Bidang Komunikasi & Publikasi Korps Alumni Damas (Kadamas), juga pernah jadi pengurus Di ICMI Orwil Jabar, di dunia kewartawanan Evie pernah bergaung dengan Galamedia, penulis di Majalah Sunda Mangle,Kujang, Galura juga PR serta sering mengisi acara “Sisindiran” di Caraka Sundanologi.
Tapi dari sebelum pandemi Covid-19, Evie memang jarang kelihatan aktif di organisasi, begitu pun tulisan-tulisannya di media massa, atau kegiatan di luar lainnya, karena dari tahun 2013 sampai 2020 Evie asik mengajar (ngadosenan), membimbing mahasiswanya, melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat.
Asik berkutat dengan kegiatan di kampus, Evie memang lagi ngejar target untuk jadi “Guru Besar”. Maklum saat ini baru jadi Lektor Kepala (jabatan fungsional dosen yang memiliki keistimewaan, seperti berhak menjadi Promotor mahasiswa S3), jadi untuk jadi guru besar (profesor) poinnya masih jauh. “Saya masih harus nulis jurnal internasional, scopus (pangkalan data pustaka mengandung abstrak dan sistiran artikel jurnal akademik) masih belum terpenuhi. Jadi saya harus benar-benar bekerja keras dan fokus. Jadi aktivitas saya sekarang nulis artikel dan penelitian membuat karya-karya ilmiah karena disitulah ranah sana”, tegas Evie ketika ditemui usai membawakan acara.
Pidato Ilmiah di Ulang Tahun Damas |
Tapi walau begitu, kalau ada yang memanggilnya terutama menyangkut kegiatan kasundaan dia tak bisa menolaknya. Maka ketika dia diajak Andri Perkasa Kantaprawira (Panitia Pengarah Kongres Sunda) untuk menjadi Pembawa Acara di Sawalamaya, dia tinggalkan kegiatan kampusnya sejenak. Evie ingin balance, seimbang jiwanya, Evie merasa berharga kalau ikut andil di kegiatan kasundaan.
“Ya itu panggilan jiwa kasundaan saya, walaupun sebenarnya mengganggu fokus saya di kampus, tapi saya kan orang Sunda pituin (asli) dan kebetulan dipercaya untuk ikut memajukan kasundaan, kalau tidak sama kita, sama siapa lagi? Lagi pula kata Evie, jadi host di Sawalamaya adalah salah satu bentuk pengabdian pada masyarakat, “ katanya serius.
Evie mengaku sok teu tega (merasa tidak tega) kalau diajak berjuang oleh teman-temannya dari komunitas kasundaan. Bagaimana tidak, dari awal kuliah Evie memang aktivis di kasundaan, dia aktif di Caraka Sundanologi (asuhan Adang S. - Alm), juga di Daya Mahasiswa Sunda (Damas), belum menulis di majalah Mangle, Kujang, Galura, jarang sekali ada mahasiswi yang mau atau mampu nulis di media berbahasa Sunda seperti Evie.
Semua itu dia jadikan laboratorium belajar. Oleh karena itu dia mengaku sangat sedih dan merasa punya hutang budi ketika teringat guru-guru menulisnya, para budayawan Sunda seperti Adang S, Aam Amilia, Abdullah Mustafa, Usep Romli Hamid Martha (Almarhum) dan guru khususnya Rustandi Kartakusumah (Alm). “Saya teh banyak berhutang ke Kang Adang S, Ceu Aam, Kang Abdullah Mustafa sareng Kang Usep Romli yang belum lama ini meninggal, ya Alloh benar-benar sakit hati ini dan sedih ditinggalkan karena beliau-beliaulah yang ngajar saya nulis, tiap Jumat saya kursus ngarang bahasa Sunda di Caraka Sundanologi di Gedung Merdeka, saya juga berguru khusus ke Kang Rustandi Kartakusumah, dari merekalah saya mengenal Sastra Sunda. Walau jauh dari bidang ilmu saya (Evie S1 di Jurusan Hubungan Internasional Fisip Unpad, S2 di IKIP dan S3 di Fikom Unpad), bahkan teman-teman saya mencibir, naon (kenapa) Si Efi teh aneh di (dosen) Fikom tapi susundaan (lebih aktif di kasundaan).Ya biar saja, saya memang suka dan itu tanggung jawab saya sebagai orang Sunda, maka hingga sekarang pun saya komitmen aktif di organisasi kasundaan “, katanya pasti.
Bersama para Jenderal dan kaum intelektual Sunda |
Selain itu, aktif di organisasi kasundaan baginya adalah “penyeimbang” dari aktivitas akademiknya yang terkadang melelahkan, apalagi di masa pandemi Covid -19 harus bekerja dari rumah (WFH – Work From Home) dari bulan pertengahan Maret sampai sekarang, kegiatan di kampus dihentikan bahkan hingga semester depan pun seluruh mahasiswa Unpad diperkirakan masih harus belajar di rumah dan yang namanya WFH itu bukannya enak tapi malah tambah banyak pekerjaan.
Apalagi yang namanya ngajar semuanya harus pakai teknologi digital, jarak jauh, lewat semacam webinar zoom, lebih melelahkan, mata harus melototin laptop berjam jam, belum nyeri cangkeng (sakit pinggang). “Beda loh berinteraksi di zoom dengan tatap muka seperti ini. Benar dalam teori, komunikasi interpersonal yang langsung itu, face to face, itu jauh lebih hangat daripada lewat media laptop dan apa coba jawaban para mahasiswa ketika saya tanya apa yang kalian rindukan di masa pandemi ini, mereka banyak yang merindukan bau keringat teman-temannya, bahkan ada yang bilang … Bu aku ingin ngambeuan (mencium) bau mulut teman-teman habis main bola, mulutnya bau seblak. Jadi sesuatu yang tadinya dibenci sekarang dirindukan dan saya sebagai dosennya juga sama saja jenuhnya. Saya ngajar pake zoom 20-30 mahasiswa, satu persatu harus dilihat lewat video apalagi pake goggle meet mah kita tidak bisa lihat video/visualnya hanya layar saja. Sangat berbeda ketika ngajar di depan kelas, kita bisa lihat nonverbal nya, mereka ada yang nunundutan (ngantuk), heuay (menguap) ada juga yang unggut-unggutan (manggut-manggut) semangat, serius mendengarkan dsb, bagi saya semua itu melelahkan tapi gimana lagi ini fase yang harus kita alami bersama, mudah-mudahan saja di masa pandemi Covid -19 ini saya bisa menghasilkan sesuatu lah, entah buku atau apa tapi ada sesuatu”, harapnya.
Posisi Sunda Selama Ini Sangat Berceceran Tidak Tersinergikan
Sisi lain kesenangan Evie adalah diajak diskusi, apalagi diskusi serius tentang Revitalisasi Pelaksanaan Tujuan Bernegara, apalagi menyangkut Sunda adrenalinnya tambah memuncak, karena sebagai peneliti ilmu sosial politik, Evie tahu betul posisi Sunda selama ini sangat berceceran, tidak ada akumulasi, tidak tersinergikan, yang ada malah pada parasea (ribut terus, tidak bersatu). Untuk itu sebagai orang yang paham pada persoalan, Evie berusaha ikut terus bergerak baik secara teoritis atau pada tataran praktis.
Makanya dia optimis Kongres Sunda akan jadi digelar sebab didukung para Jenderal. Dan tentang salah satu agenda yang akan diajukan dalam Kongres Sunda yaitu mengganti nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Tatar Sunda, Pasundan, atau Sunda, kata Evie sebenarnya itu hal yang mudah, tinggal ngobrol dengan Depdagri terus dikomunikasikan dengan DPR, lalu buat SK nya.
Tapi yang susah itu menggalang dukungan. Untuk itulah para Jenderal dan para inohong Sunda dikumpulkan untuk duduk bersama membahas semua ini. “Nah ketika ada gejed /mandeg/ halangan di Depdagri, di Senayan kita sudah punya pasukan, banyak dukungan. Sekarang yang penting kita harus bersatu dulu, satu pemikiran, sesuai apa yang dikatakan Kang Ganjar Kurnia bahwa nama Provinsi Jawa Barat itu sudah layak diganti dan tentu saja harus ada alasan akademis yang dipahami semua orang jangan sampai nanti kita dicap primordialis atau rasialis karena sebagaimana yang dikatakan Kang Yudi Latif, bicara Sunda itu berbicara keterkaitan emosi antara seseorang dengan lemah caina. Jadi orang Sunda jangan malu mengaku Sunda tapi harus bangga dengan kasundaanana, bukankah suku-suku itu adalah penyokong tegaknya rumah besar yang bernama Indonesia, “ papar Evie berapi-api.
Makanya kata Evie, suku (etnik) Sunda harus banyak kakinya, kalau kakinya kurang menopang kasundaanana akan pincang dan akan terus terpincang-pincang. “Jadi kalau diibaratkan Indonesia rumah besar harus banyak kaki yang menopangnya dan kalau suku Sunda ada 50 juta jiwa dan semuanya menyokong Indonesia pasti Negara ini akan kokoh tegak berdiri. Jadilah Sunda mulya Nusantara jaya, “ tegas Evie.
Tapi kata Evie, semua itu adalah perbincangan diantara kita (para kaum intelektual, inohong Sunda) yang terdengar membosankan karena dibicarakan berulang-ulang. Sekarang tinggal bagaimana mengkomunikasikan ide-ide besar itu kepada orang lain, terutama kepada sakumna orang Sunda, mereka semua harus paham dan ikut mendukung jangan sampai mencibir karena tidak mengerti persoalan.
“Maka dari itulah sebelum Kongres Sunda berlangsung, panitia sengaja menggelar dulu Sawalamaya pra Kongres Sunda 5-6 kali ditambah beberapa kali sebelum pandemi. Inilah salah satu bentuk sosialisasi atau salah satu komunikasi kita ke masyarakat awam bahwa yang namanya Sunda itu sudah saatnya disatukan tapi bukan disatukan diberi duit oleh Caleg Sunda seperti pada pemilu. Dan ketika sudah jadi Provinsi Tatar Sunda (bukan Jawa Barat lagi), semoga kata Sunda di sini jadi pemersatu, jadi kebanggaan bagi orang Sunda, jadi penyemangat untuk memajukan Ki Sunda dan kejayaan Nusantara“, pungkasnya. (Asep GP.)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment